Om Awignamastu nama sidyem Sang tabeya masiwaya hamba panjatkan puji syukur kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa serta para Hyang Leluhur utamanya Betara Hyang
Kawitan yang telah menyatu dengan Sang Hyang Parama Acintya. Karena asung kerta wara
Lugraha Beliaulah buku ini dapat diselesaikan
Hamba mohon maaf yang sebesar besarnya atas kelancangan hamba telah terlalu berani menyebut dan mengutip Puspatan Pukulun yang sudah bersetana lingga suci dan disakralkan . Semoga hamba terlepas dari upadrawa raja pinulah dan tak terkena kutukan “ cakra bawa “ dari swabawan Paduka Hyang Kawitan.
Namun dalam benak hati hamba bukan niat mencemarkan kesucian manifestasi Pakulun tapi besar hasrat hamba untuk menghimbau “ perti sentanan “ Paduka Betara agar mengenal cikal bakal leluhurnya demi tawaqal dan sujud baktinya tidak nyasar. Selain itu dapat mengenal hubungan krabat saudara dalam bermasyarakat. Sebagai kodrat manusia seperti kata pepatah “ tak ada gading yang tak retak “ sudah barang tentu buku ini banyak kekurangannya. Baik literature caritranya ,kridibilitas silsillahnya kronologis penuturannya banyak yang simpang siur dan campur adur. Hal itu karena keterbatasan kami yang sangat “ minim” pengalaman pengetahuan namun berani mencoba tak kenal malu.
Selanjutnya kepada para pembaca ataupun para “ pakar babad “ tidak lupa kami mohon maaf teriring harapan berkenan kiranya memberikan masukan maupun sangkalan dengan sumber data yang outentik atau argument yang logis untuk penyempurnaan buku ini.
Kemudian sebelum dan sesudahnya atas berkenannnya yang sangat - sangat kami harapkan dan kami terima dengan lapang dada serta kami ucapkan banyak banyak terima kasi.
Om Santhi Santhi Santhi Om.
Tarukan Kaja 23 Desember 2009
Dari Penulis
JATA SAWITUR
Rahina buda kliwon matal Isaka 1931
OM AWIGNAMASTU NAMA SIDYEM
Wiwekenaya
LENYAPNYA KERAJAAN GELGEL Dan Runtuhnya Kekuasaan I Gusti Agung Maruti tahun 1686.
Setelah I Gusti Agung Maruti menguasai kerajaan Gelgel dari th. 1651 - 1686 dengan gelar I Gusti Agung Di Made II yang mengakibatkan Dalem Di Made penguasa Gelgel terakhir ( Raja Gelgel V ) yaitu putra dari prami Dalem Sigening ( Raja Gelgel IV ) melarikan diri dan tetap tingggal dalam pengasingan di daerah Guliang bersama dua orang putranya yang masih muda belia, antara lain ; Dalem Pamayun dan Dalem Jambe yang dikawal oleh abdi puri yang masih setia seperti tereh I Gusti Kebon Tubuh , tereh I Dewa Pamayun ( putra sulung dari Istri selir Dalem Watur Enggong yang berasal dari Den Bukit ,yakni saudara Kiyai Ularan),tereh Ampeh Aji / Puaji ( keturunan Sang Takmung atau perti sentanan I Dewa Anggungan) dan para warih Bagawanta Pedanda Wayahan Bun “ Brahmana Keniten “ yang gugur dalam perlawanan pembrontakan I Gusti Agung Maruti . Lanjut kemudian akhirnya Dalem Di Made wafat dalam persembunyiannya di Guliang dan diupacara pembakaran ( palebon ) oleh I Dewa Gede Kanca Den Bancingah penguasa Taman Bali / Banggli,bersama Dalem Pamayun dan Dalem Jambe beserta rakyat yang ada di Guliang. Selain itu ikut pula Sang Takmung dengan putra putranya dalam upacara tersebut.
Setelah upacara palebon selesai lalu dibangun sebuah pura yang disebut ‘’ PURA DALEM AGUNG’ untuk pemujaan stana Dalem Di Made di Guliang . Adapun Pura Dalem Agung yang dibangun pada bekas Puri Dalem Di Made adalah merupakan sungsungan para warih Dalem Di Made .
Tidak lama kemudian Dalem Jambe bekerja sama dengan sepupunya yaitu putra dari I Dewa Anom Pamayun yang bernama I Dewa Agung Gede Ngurah Agung raja Sidemen Karangasem dengan patih senopatinya bernama I Gusti Agung Anglurah Singarsa dan didukung oleh penguasa penguasa Buleleng, Bangli, Beng( Bengkel ) Gianyar dan Badung sehingga berhasil merebut kembali kerajaan Gegel dari kekuasaan I Gusti Agung Maruti pada tahun 1686.
JALANNYA PENYERANGAN
Kraton Gegel diserang dari segala penjuru arah yaitu; dari arah utara penyerangan dilakukan oleh laskar Buleleng yang dipimpin langsung oleh I Gusti Panji Sakti , bergabung dengan laskar Bangli yang dipimpin oleh I Dewa Gede Kanca Den Bancingah dengan membawa pusaka , Ki Lobar. Dari arah barat penyerangan dilakukan oleh laskar Bengkel/ Gianyar yang disebut dulang mangap “ Pering Gading “ dipimpin oleh I Dewa Anom Kuning (I Dewa Manggis Kuning ) berhadapan dengan laskar Gelgel yang dipimpin oleh Kiyai Dukut Kerta dan berakhir dengan gugurnya Kiyai Dukut Kerta. Dari arah timur penyerangan dilakukan oleh laskar Sidemen / Karangasem yang dipimpin oleh I Gusti Agung Anglurah Singarsa keturunan Arya Wang Bang Pinatih,berhasil menduduki daerah Gunaksa , Sampalan, Dawan , Kusamba dan Pesinggan . Dari arah selatan mulai pantai Klotok sampai Jempai penyerangan dilakukan oleh laskar Badung dengan pasukan dulang mangap yang disebut “ Macan Gading “ dipimpin oleh Kiyai Jambe Pole berhadapan dengan laskar Gelgel yang dipimpin langsung oleh I Gusti Agung Maruti . Terjadilah perang tanding kedua pemimpin perang tersebut di areal “ Cedok Andoga “ dekat Pura Batu Klotok pada tahun 1686 dan berakhir dengan gugurnya kedua pemimpin perang tersebut ( pada jaya = sapih ).
Dengan demikian patahlah kekuatan Gelgel ( I Gusti Agung Maruti ) dan putra - putra I Gusti Agung Maruti yaitu I Gusti Agung Putu Agung beserta I Gusti Ler Pamacekan bersama saudara - saudaranya sempat melarikan diri sampai di daerah Jimbaran . Sedangkan I Dewa Agung Jambe selama penyerangan berlangsung dikawal oleh Kiyai Pikatan.
BERDIRINYA KERAJAAN KLUNGKUNG
Tahun 1710
Setelah jatuhnya kekuasaan I Gusti Agung Maruti ( I Gusti Agung Di Made II ) di Gelgel, kemudian Dalem Pamayun dan Dalem Jambe sepakat membagi warisan wilayah , harta benda , pusaka , dan pengiring . Setelah itu Dalem Pamayun meninggalkan daerah Guliang menuju daerah Bukit / Kulub – Tampaksiring di iring oleh semua tereh – tereh yang mengawal Beliau sejak pelariannya dari Gelgel ke Guliang . Dan Dalem Jambe menuju Gelgel membawa pusaka “ KI BENGAWAN CANGGU “yang dipinjemkan oleh I Dewa Agung Gede Ngurah Agung / raja Sidemen, ketika kerja sama dalam menumbangkan kekuasaan I Gusti Agung Maruti di Gelgel. Hal mana dikemudian hari hal inilah yang menjadi “ bibit “ gep / perselisihan antara Klungkung dengan Karangasem, karena Dalem Jambe bersikukuh tidak mau mengembalikan pusaka “ KI BENGAWAN CANGGGU “ kepada I Dewa Anom Pamayun penguasa Sidemen . Dari sebab permusuhan tersebut akhirnya penguasa Klungkung mendirikan pura penyawangan untuk pemujaan Dalem Sigening di Pedarman Besakih yang dibangun dialokasi daerah Bendul Klungkung yang kemudian disebut PURA KAWITAN DALEM SIGENING ,lantaran perselisihan masalah pusaka Ki Bengawan Canggu yang berlarut – larut dan makin memanas .
Kembali diceritakan setelah I Dewa Agung Jambe tiba di Gelgel , Beliau tidak berkenan kembali ke Kraton Gelgel , melainkan membangun Kraton baru yang disebut SMARA JAYA yang artinya Smara berarti perang dan Jaya berarti menang . Jadi menang dalam peperangan. Berdirilah Puri Kraton Smara Jaya yang tarletak di areal Klungkung pada tahun 1710.
Sementara itu dipihak lain yaitu pada zaman kekuasaan Dalem Di Made /raja Gelgel terakhir , yang mana di daerah – daerah luar Gelgel telah berkuasa saudara - saudara lain ( saudara – saudara tiri ) dari Dalem Di Made yang lahir dari Ibu Selir, namun kekuasaannya masih dibawah pengaruh kekuasaan Gelgel selaku a manca atau a nglurah yang tunduk setia terhadap penguasa Gelgel seperti ; I Dewa Anom Kuning / Dewa Manggis Kuning yang berkuasa di Daerah Bengkel/ Beng , begitu pula I Dewa Kabetan yang ditempatkan di asal kelahiran Ibunya yaitu Daerah Kabetan ,selaku a nglurah terhadap kekuasaan Gelgel. Sama halnya dengan I Gusti Barak Panji menetap di Daerah asal Ibunya yang bernama Ni Luh Pasek Panji adalah putra dari Ki Pasek Gobleg di dusun Panji Buleleng / Den Bukit, dan berkuasa selaku a manca terhadap kekuasaan Gelgel dengan gelar I Gusti Panji Sakti.
I DEWA MANGGIS PENGUASA BENGKEL / B E N G
Diceritakan setelah I Dewa Anom Kuning berhasil meloloskan diri, karena diselamatkan oleh I Gusti Made Bija Bun penguasa daerah Bun wilayah Penatih - Badung, dari rencana akan dibunuh oleh penguasa wilayah Badung /Kraton Pamecutan ,lalu kemudian menetap tinggal di Daerah Bengkel - Gianyar. Adapun I Gusti Made Bija Bun adalah keturunan Arya Wang Bang Pinatih.
Selanjutnya I Dewa Anom Kuning / I Dewa Manggis Kuning membentuk pasukan prajurit yang disebut “ WATEK PENAMUN “ yang diketuai oleh I Gede Mranggidana. Selain itu I Dewa Manggis telah dikenal memiliki beberapa pusaka sakti diantaranya berupa tombak yang dinamai Ki Baru A lis ,anugrah dari Betara di Gunung Jimbar , juga berupa keris yang dinamai Ki Baru Kama anugrah dari Betara di Pura Tugu dan pusaka Ki Baru Obag – obag hadiah dari ayahnda Dalem Sigening.
Disebutkan bahwa sejak masa kekuasaan I Gusti Agung Maruti di Gelgel semua penguasa – penguasa daerah bagian Gelgel , tidak mau mengakui kekuasaan I Gusti Agung Maruti . Maka dari itu mulailah daerah – daerah bagian kekuasaan Gelgel tersebut pada melepaskan diri dan menyatakan berdiri sendiri , dengan kata lain mulailah munculnya kerajaan – kerajaan kecil di Bali , utamanya kerajaan Bulengleng , Badung Bengkel - Gianyar , Tabanan , Karangasem dan lain - lainnya . Masing – masing kerajaan baru itu menyusun kekuatan militer pertahanan masing – masing dan berlomba – lomba untuk memperluas kekuasaan masing – masing dengan merebut daerah kekuasaan penguasa lain .
PERANG DI HUTAN BENGKEL tahun 1730 .
Semenjak berdirinya kerajaan – kerajaan kecil di Bali , timbul persaingan perebutan kekuasaan . Maka dari itu I Gusti Panji Sakti Buleleng ingin mencoba keampuhan wasiat pusaka – pusaka milik I Dewa Anom Kuning Beng dan ingin mengetahui sejauh mana kekuatan pertahanan militer Bengkel . Kemudian pada tahun 1730 M berangkatlah I Gusti Panji Sakti dengan menunggang gajah yang dikawal oleh pasukan penunggang kuda menuju wilayah Bengkel dan berhenti di hutan Bengkel sebelah utara wilayah Desa Kabetan .
Disanalah laskar Buleleng mendirikan perkemahan . Kemudian pada malam harinya tepat tengah malam I Gusti Panji Sakti bersemedi memusatkan “ bayu – sabda – idep “ sambil memegang secangkir air bening ditangannya dan didekapkan di dadanya , sambil komat kamit mengucap mantra – mantra . Tak lama kemudian air dalam cangkir ditangannya dihamburkan ke atas mengarah ke langit . Seketika itu pula langit menjadi gelap gulita oleh mendung yang sangat tebal dan padat . Tak lama kemudian turun hujan lebat yang luar biasa di sekitar hutan Bengkel di batas utara wilayah Kabetan , sehingga terjadi banjir sangat besar dan deras mengalir ke arah selatan menuju Desa Bengkel / Beng .
Disaat bersamaan dengan peristiwa itu , di Puri I Dewa Manggis Kuning terjadi hal yang aneh dimana pusaka keris sakti Ki Baru Kama bergerak – gerak gelisah dengan sendirinya di ruang penyimpanan pusaka – pusaka yang sangat dikramatkan , hingga membuat I Dewa Manggis Kuning terbangun dari peraduannya , lalu bergegas menuju ruang pusaka . Alangkah terkejutnya I Dewa Manggis setelah melihat keris Ki Baru Kama bergerak – gerak gelisah di tempatnya . Dengan rasa hati berdebar – debar bercampur cemas , dengan pelan – pelan dan sangat hati – hati , diambilnya keris Ki Baru Kama . Seketika itu pula I Dewa Manggis Kuning seperti orang kasurupan / setengah sadar lalu menghunus keris pusaka tersebut seraya keluar dengan keris terhunus ditangannya . Sampai di tengah halaman rumah Beliau menghadap ke arah utara / ke ulu . Tanpa disadari tangan kanan yang memegang keris menggoreskan ujung keris Ki Baru Kama di udara dari arah kiri ke kanan sebanyak tiga kali . Sehabis itu I Dewa Manggis Kuning mulai tenang dan sadar seperti keadaan biasanya , lalu masuk ke ruang pusaka , untuk menaruh kembali keris pusaka itu di tempetnya semula .
Berselang beberapa waktu terdengar deburan ; air bah / air banjir ; yang sangat deras dan dasyat dari arah hutan Bengkel di batas utara Desa Kabetan . Dan syukurlah air bah itu tidak melanda Puri I Dewa Manggis ,karena air bah itu mengalir di sebelah timur Desa Beng , berkat pengaruh kekuatan sakti Ki Baru Kama sehingga arah air bah tersebut melenceng dari sasarannya yaitu puri milik I Dewa Manggis Kuning . Maka sampai saat ini air yang mengalir di sungai bekas aliran air bah tersebut dinamai ; SUNGAI CANGKIR ;.
Esok harinya I Dewa Anom Kuning berangkat seorang diri menuju hutan Bengkel dengan menyamar sebagai seorang pemburu ( mapikat titiran ) sambil mencari kayu bakar . Tiba di hutan Bengkel dengan berpura – pura mengumpulkan kayu bakar I Dewa Manggis Kuning / Sang penyamar, dengan jelas dapat melihat perkemahan prajurit Buleleng serta sepak terjang yang dilakukannya . Mereka membakari pondok – podok kebun ( reranggon )milik petani kebun , serta gajah tunggangan I Gusti Panji Sakti yang sangat besar , dengan leluasa mengobrak abrik perkebunan di sekitarnya .
Setelah mengetahui dengan pasti keberadaan musuh , maka Sang Penyamar / I Dewa Manggis Kuning kembali pulang . Dalam perjalanan pulang Sang Penyamar melalui Desa Kabetan . Tiba di jaba Puri penguasa daerah Kabetan ( panglurah Kabetan ) yang bernama I Dewa Kabetan , lalu Beliau / Penyamar , mampir ke Puri I Dewa Kabetan , ingin bertemu dengan saudara tirinya yang dimasa itu sebagai a nglurah atas kekuasaan Gelgel pada zaman Dalem Di Made . Namun pada saat Sang Penyamar telah berada di halaman Puri , kala itu Beliau ( I Dewa Kabetan ) sedang tidur – tiduran bermalas – malasan di bale semanggen / bale dangin .
Ketika itu I Dewa Manggis Kuning disambut suara oleh riuh dari gonggongan dua ekor anjing piaraan puri Kabetan .Mendengar semaraknya gong gongan anjing tersebut secara naluri I Dewa Kabetan mencegah gong gongan anjing : “ Ceekk…..! c eekk…..! namun masih tetap tidur bermalas – malasan sembari menguap “ma uadan “mengencangkan urat - urat di tempat tidur , seraya menyapa ;’’Wiihhh…..! Nyen to ….! Mai malu negak menekang…! lalu ber usaha bangun dari pembaringan .
Lalu dijawab oleh I Dewa Manggis penyamar ; ‘’Beh…uli di Pasarean I Dewa Kabetan matur ‘’, lalu pergi meninggalkan Puri Kabetan . Mendengar ucapan itu sadarlah penguasa Kabetan bahwa yang datang itu bukan salah seorang rakyat abdi Kabetan . Dengan segera Beliau penguasa Kabetan beranjak bangun dari tempat tidur dan bergegas membuntuti langkah kepergian Sang Penyamar ( I Dewa Manggis ) sampai di pintu masuk ‘’ apit lawang ‘’ puri . Namun I Dewa Manggis / Penyamar telah berlalu / lewat , tapi masaih tampak jelas dalam pandangan mata sosok tubuh orang itu .
Sejak pristiwa itu selalu bermunculan pertanyaan – pertanyaan dalam hati I Dewa Kabetan , seperti ; ‘’ Siapa orang itu ? ‘’ , mengapa ucapannya seperti orang ‘’a ngawa rat ‘’ berani menyebut langsung nama I Dewa Kabetan ?‘’ . Mungkinkah itu I Dewa Manggis ?‘’. Bila mungkin , mengapa pakaiannya seperti pakaian orang kebanyakan ? ‘’.Mengapa tanpa pengawal ?”. Bila bukan , mengapa dia bilang ‘’ m a t u r u l I p a s a r e a n ?”. Pertanyaan – pertanyaan itu muncul silih berganti . Namun dalam hati I Dewa Kabetan , lebih cendrung meyakini bahwa orang itu adalah I Dewa Manggis Kuning, karena selain Beliau I Dewa Manggis , belum ada orang yang memanggil langsung nama ,’’I Dewa Kabetan ‘’.
Dari hal itu sadarlah penguasa Kabetan akan diri telah melakukan kesalahan tanpa disengaja , yang memungkinkan berbuntut ancaman , dan mengancam keberadaan penguasa Kabetan , karena diduga menantang atau penghinaan bahkan dianggap ingin merebut daerah kekuasaan Beng , dengan mengadakan hubungan kerja sama dengan penguasa lain ,misalnya Buleleng. Mengingat ‘’ adat istiadat S a n g a ngawa Rat ‘’ sangat tidak benar sikap yang dilakoni itu . Semenjak itulah ucapan ‘’uli di PASAREAN I Dewa Kabetan matur ‘’selalu menghantui pikiran I Dewa Kabetan .
Kemudian pada senja harinya datanglah putra – putra I Dewa Kabetan dari tempat melakukan kegiatan sehari – hari yang bernama I Dewa Gede Oka dan saudara - saudaranya membawa berita tentang terbakarnya pondok – pondok perkebunan milik petani – petani di pinggir hutan Bengkel , ludes dibakar oleh prajurit – prajurit Buleleng serta perkebunan di sekitarnya rusak dimakan oleh se ekor gajah yang amat besar milik I Gusti Panji Sakti . Dan hujan lebat tadi malamnya hingga terjadi banjir sangat besar adalah berkat ,’’ k a w I s e s a n a d n y a n a n ,’’ I Gusti Panji Sakti dengan sarana secangkir air. Berita ini didengar oleh para putra Kabetan dari percakapan petani – petani kebun yang memiliki perkebunan di daerah itu .
Dari berita itu I Dewa Kabetan makin yakin bahwa orang yang mampir itu, tak lain adalah I Dewa Manggis Kuning . Dan dalam penafsiran, sebelum I Dewa Manggis datang mampir ke puri Kabetan , I Dewa Manggis menyamar untuk menyelidiki keadaan dan situasi di hutan Bengkel . Setelah mengetahui dengan jelas,barulah I Dewa Manggis bermaksud untuk mampir di Puri Kabetan . Namun maksud dan tujuannya mampir tak terpikirkan oleh I Dewa Kabetan , karena tak sempat mengadakan pembicaraan .
Saat bercakap - cakap itulah , langsung I Dewa Kabeten menjelaskan kejadian yang dialami tadi paginya , serta mangutarakan kehawatirannnya , mengingat ucapan ‘’ uli di PASAREAN matur’’ ,mengundang banyak pertanyaan yang muncul silih berganti dan sulit dilupakan , bahkan mungkin akan mendatangkan hal – hal yang tak di inginkan .
KELUARGA I DEWA KABETAN BERUNDING
Dari berita hadirnya I Gusti Panji Sakti dengan laskarnya di hutan Bengkel dan mampirnya I Dewa Manggis Kuning di Puri Kabetan , hal mana maksud dan tujuannya I Dewa Manggis tidak terpikirkan oleh penguasa Kabetan , maka pada malam harinya I Dewa Kabetan bersama putra – putranya didampingi oleh seluruh pengabih dari warga A RYA PAMEREGAN / tabeng wijang puri Kabetan , mengadakan rapat kilat untuk membahas situasi prihal kehadiran lascar Buleleng dan mampirnya I Dewa Anom Kuning di Puri Kabetan.
Keputusan yang diambil dalam rapat kilat itu yalah;
A . Kunjungan I Dewa Manggis ke Puri Kabetan kemungkianan besar membuat I Dewa Manggis merasa tersinggung serta menduga penguasa Kabetan ingin berbuat sesuatu, sehingga penguasa Beng menjadi curiga dan mawas diri bahkan bisa jadi mendahului menyerang Kabetan, apabila diyakini Kabetan minta bantuan Buleleng.
B . Penguasa Kabetan tiada niat untuk memperkuat diri dengan memperluas daerah kekuasaan , walaupun Kabetan belum pernah tunduk atau dikuasai oleh penguasa lain , kecuali Gelgel .
C . Mengingat kedua belah pihak ‘’ Buleleng ataupun Bengkel ‘’ masih dalam hubungan saudara tiri dengan I Dewa Kabetan . Maka dari itu lebih baik menghindar dari permusuhan antara Buleleng dengan Bengkel ( G ianyar ).
D . Selain itu mempertimbangkan jumlah prajurit Kabetan , jauh lebih sedikit dari jumlah prajurit Buleleng maupun Bengkel .
E . Maka diputuskan bahwa ; satu – satunya jalan tengah yang terbaik denga ‘’ MENINGGALKAN PURI KABETAN ‘’( MENGUNGSI) dalam arti Puri Kabetan berada dalam posisi tidak aman .
F . Untuk keberangkatan , tidak lagi menunggu waktu yaitu esok harinya pagi – pagi buta , tepatnya hari REBO - WAGE - MERAKIH sasih ka lima tahun 1652 Isaka .
Ternyata esok harinya I Dewa Manggis Kuning dengan prajurit pilihan yang disebut Bala Sikep “ PENAMUN ‘’bersenjata lengkap dipimpin oleh I Gede Mranggidana dan I Dewa Anom Kuning selaku senopati , bersorak – sorai menuju hutan Bengkel di batas utara wilayah Kabetan . Jalan menuju hutan Bengkel, tiada lain hanya melalui daerah Kabetan .
Sebelum laskar Bengkel memasuki tapal batas wilayah Kabetan , Beliau I Dewa Kabetan bersama putra – putranya dan cucu – cucunya sudah lebih dulu meninggalkan Puri Kabetan . Semua harta benda dan pusaka miliknya dibawa pergi , di ikuti oleh kula gotra pengabih puri Kabetan dari warga Arya Pameregan dan para abdi yang masih setia .
Selanjutnya perang antara prajurit Buleleng melawan prajurit Beng pada kala itu adalah tahun 1730 Masehi berlangsung sangat seru , kerena kedua belah pihak sama – sama prajurit pilihan . Dalam perang tersebut gajah besar yang sangat garang merupakan tunggangan I Gusti Panji Sakti tersungkur ke tanah , terkena goresan ujung tombak pusaka anugrah dari Pura Gunung Jimbar oleh I Dewa Anom Kuning . Melihat kejadian itu penguasa Buleleng memerintahkan prajuritnya untuk mundur dan kembali ke Den Bukit( Buleleng) .
BERDIRINYA KERAJAAN TAMPAKSIRING ( 1725) – PEJENG ( 1728) – PAYANGAN(1776).
Sesudah tumbangnya kekuasaan I Gusti Agung Maruti , kemudian Dalem Pamayun dan Dalem Jambe sepakat membagi pengiring dan pusaka . Maka dari itu Dalem Pamayun ( I Dewa Agung Pamayun ) menuju daerah Bukit / Kulub . Entah beberapa lama Beliau tinggal di Bukit , lalu pindah ke daerah Tampaksiring , dengan membawa pembagian pusaka “ Ki Tanda Langlang “,lalu mendirikan kerajaan Tampaksiring pada tahun 1725 .
Disebutkan Dalem Pamayun pendiri kerajaan Tampaksiring nikah dengan Ni Dewa Ayu Bakas , adalah putri dari I Dewa Gede Raka penguasa Taman Bali , yang kemudian menurunkan tiga orang putra bernama ; a + . I Dewa Agung Gede Pamayun Putra ( Cokorda Gede Pamayun Putra ), b + . Yang kedua I Dewa Agung Made Pamayun ( Cokorda Made Pamayun ), c + . dan yang ketiga I Dewa Agung Anom Pamayun ( Cokorda Anom Pamayun ).
Dimasa kekuasaan Dalem Pamayun raja Tampaksiring I , mertua Beliau dari Taman Bali sering berkunjung ke Tampaksiring . Selaku panglingsir ,banyak memberikan bimbingan - bimbingan maupun nasehat – nasehat tentang ke tata Negaraan ,sehingga penguasa Tampaksiringpun merasa memerlukan bimbingan dari penguasa Taman Bali . Maka dari itu ,kadang kala kebijakan I Dewa Gede Raka Taman Balipun banyak dilaksanakan oleh menantu maupun cucunya di Tampaksiring , terbukti dari penempatan putra - putra Dalem Pamayun ( raja Tampeksiring I ) , seperti Cokorda Gede Pamayun Putra ditempatkan di daerah Pejeng dan Cokorda Made Pamayun ditempatkan di daerah Belahbatuh .
Hal itu dilakukan untuk membendung laju pengembangan kekuasaan penguasa Beng . Pada masa itu Beng sudah mulai semakin luas kekuasaannya , setelah pada zaman I Dewa Manggis Pahang ( putra dari I Dewa Manggis Bengkel atau cucu dari I Dewa Anom Kuning) telah menempatkan putra – putranya yaitu I Dewa Kesiman ditempatkan di daerah Bitra ,sedangkan I Dewa Ketut Pinatih ditempatkan di daerah Abianbase , dan I Dewa Made Pinatih ditempatkan di daerah Seronggo .
Tersebut kembali raja Tampaksiring I adalah Dalem Pamayun setelah lanjut usia , lalu diganti oleh putranya yang bernama Cokorda Anom Pamayun sebagai raja Tampaksiring II ,yang kemudian menurunkan tiga orang putra , anatara lain ; # +. I Dewa Agung Gede Griya ( C0korda Gede Griya ) ,# + . yang kedua I Dewa Agung Anom Senetan ( Cokorda Anom Senetan ) dan # + . yang ketiga I Dewa Agung Made Sukawati ( Cokorda Made Sukawati /Cokorda Laplapan ) .
Atas pengaruh Taman Bali , kemudian Cokorda Made Sukawati bersedia pindah ke wilayah Payangan , dan mendirikan kerajaan Payangan pada tahun 1776 , serta Beliau sebagai raja I , dari tahun 1776 – 1795 .
Sedangkan Cokorda Gede Pamayun Putra atas desakan Kakeknya yaitu I Dewa Gede Raka Taman Bali , bersedia ditempatkan di daerah PEJENG ,setelah diberikan keluarga dari Taman Bali untuk membantu ( ngabih) kedudukannya di Pejeng , diantaranya ; keluarga I Dewa Ngakan Kanca Den Bancingah , keluarga I Dewa Ngakan Pasalakan , serta dari warga satrya lainnya seperti keluarga I Dewa Pamayun ( keturunan Dalem Watur Enggong dari istri selir asal dari keluarga Kiyai Ularan ) , keluarga dari I Dewa Undisan dan Ngakan Gedong Artha yang kedua – duanya dari keturunan I Dewa Tegal Besung .
Maka dari itu berdirilah kerajaan Pejeng pada tahun 1728 dengan kratonnya bernama “ SOMA NEGARA “,terletak di sebelah timur Pura Manik Corong dengan raja I.. I Dewa Agung Gede Pamayun Putra ( Cokorda Gede Pamayun Putra ) dengan gelar Dalem Pamayun Putra I.
Adapun pengiring setia dari sejak berada di Guliang sampai ke Pejeng adalah keluarga I Dewa Pamayun , keluarga I Dewa Budi ( keturunan Dalem Di Made dari istri selir ) , keluarga Ampeh Aji ( Puaji ) dari keturunan Sang Takmung ( putra tunggal I Dewa Anggungan ) dan para warih Ida Padanda Wayahan Bun adalah satu – satunya Bagawanta yang sangat setia “ bela pati “ terhadap Dalem Di Made saat berkuasa di Gelgel ,namun Beliau wafat dalam perang melawan pembrontakan I Gusti Agung Maruti.
Setelah tinggal di Pejeng ,para warih Ida Padanda Wayahan Bun lajut sebagai Bagawanta Puri Soma Negara dan Griyanya disebut Griya Kaja Kawuh Pejeng dan setelah Pejeng dikalahkan oleh Ubud tahun 1893 kemudian Griya Kaja Kawuh ditempati oleh para warih Padanda Wayahan Bun ( warga Brahmana Keniten ) yang berasal dari Sanur – Badung sebab penghuni Griya Kaja Kawuh telah mengungsi tinggal menetap di Daerah Nyemban dan semenjak itu Griya Kaja Kawuh disebut Griya SANUR .
Berselang dua tahun kemudian, datanglah menghadap ke Puri Soma Negara serombongan pengungsi dari Kabetan , yang tak lain keluarga dari I Dewa Gede Oka Besar ( putra I Dewa Kabetan ) bersama pengabih pengiringnya dari keluarga Arya Pameregan .
PENGUASA WILAYAH KABETAN
Pada masa kekuasaan Dalem Sigening di Gelgel ,Beliau menjalankan politik perkawinan dalam mempertahankan kekuasaannya di Bali . Dari politik itu Dalem Sigening mempunyai banyak istri selir diantaranya salah satu selirnya berasal dari Daerah Kabetan yang bernama ; Winih Ayu Mayang Kawi ,putri dari “ ANGLURAH “ Kabetan warga Arya Pameregan yaitu Kiyai Anglurah Pameregan .
Dari perkawinan Dalem Sigening dengan Winih Ayu Mayang Kawi menurunkan putra tunggal , dimana masih bayi ( balita) , putra dan ibunya ditempatkan kembali di asal kelahiran ibunya yaitu wilayah Kabetan sebagai “ PACEK DALEM” untuk wilayah Kabetan .
Di sanalah putra Winih Ayu Mayang Kawi dibesarkan dan diasuh oleh Kakeknya yang saat itu menjabat sebagai “ anglurah “ di wilayah kekuasaan Gelgel . Kemudian setelah Kiyai Anglurah Pameregan wafat diganti oleh putra bungsunya menjabat sebagai Anglurah yang tetap setia menghamba ke puri “ SWECA LINGGA ARSA “ kraton kerajaan Gelgel pusat kekuasaan di Bali .
Selanjutnya “ BAYI DALEM “ setelah semakin dewasa dipanggil dengan nama “ I DEWA KABETAN “ yang kemudian dinikahkan dengan saudara sepupunya dari pihak keluarga ibu yang bernama : “ WINIH AYU YONI SENGIN “ .
Dari pernikahan I Dewa Kabetan dengan Winih Ayu Yoni Sengin menurunkan tiga orang putra yakni : +a . I Dewa Gede Oka , yang kedua +b . I Dewa Gede Sekar , dan yang bungsu +c . I Dewa Gede Sana .
Karena I Dewa Kabetan telah dewasa dan dianggap cakap serta mampu menjalankan ( memegang ) kekuasaan , maka jabatan “ ANGLURAH “ diserahkan kepada I Dewa Kabetan oleh pamannya pada tahun 1557 Isaka . Semenjak itu jabatan Anglurah dipegang oleh I Dewa Kabetan dari tahun 1635 – 1684 Masehi .
Kemudian karena usia Beliau I Dewa Kabetan sudah semakin tua , maka tahun 1684 jabatan Anglurah diserahkan kepada putranya yang bernama I Dewa Gede Oka ( Dewa Kabetan II ) dari tahun 1684 – 1730 Masehi .
Sebelum memegang jabatan I Dewa Gede Oka telah nikah dengan Ni Desak Ayu Lugeng dari daerah Susut / Bangli , keturunan I Dewa Pindi Taman Bali , dan menurunkan tiga orang putra – putri adalah : +# .I Dewa Gede Lakes lahir sekitar tahun 1715 , yang kedua +# .I Dewa Tukrukan yang lahir sekitar tahun 1718 ,dan +#. yang ketiga ( bungsu ) wanita bernama Ni Dewa Ayu Munang .
Pada saat terjadi perang antara I Gusti Panji Sakti melawan I Dewa Anom Kuning di hutan Bengkel , karena salah sangka , maka keluarga I Dewa Kabetan meninggalkan Puri Kabetan pada hari Rabu – Wage , _ Merakih - sasih ka lima tahun 1730 Masehi.
PERJALANAN “ PUTRA KABETAN “ MENUJU PEJENG .
Dari keputusan hasil rapat kilat di Puri Kabetan yang memilih langkah meninggalkan Puri Kabetan , maka keberangkatan dibagi menjadi dua rombongan dengan arah perjalanan yang berbeda . Adapun maksudnya dibagi dua adalah untuk memecah perhatian laskar Beng , apabila ingin melakukan pengejaran terhadap rombongan pelarian orang – orang Kabetan .
Rombongan pertama adalah I Dewa Kabetan ( penglingsir ) yang dikawal oleh putranya I Dewa Gede Sekar bersama putra – putranya dan di iring sejumlah abdi Puri maupun warga pengabih yang masih setia . Perjalanan rombongan I, menuju ke arah utara melalui wilayah Madangan , Papadan dan Suwat terus menuju Den Bukit .
Rombongan II, adalah I Dewa Gede Oka bersama ketiga orang putra – putrinya yang masih kanak – kanak ( umur belasan tahun ) . Dan ikut pula bersama I Dewa Gede Sana adik bungsunya yang masih jejaka ( membujang / taruna ) dan dikawal oleh lima keluarga bersaudara dari pengabih Puri Kabetan keturunan Arya Pameregan dengan jumlah keluarga masig – masing . Rombongan kedua ini tanpa iringan panjak / abdi .
Perjalanan rombongan II, menuju arah barat , menyebrangi sungai Pakerisan tiba di suatu daerah yang lapang ( tegalan) berupa semak – semak penuh dengan tumbuhan “ pohon langsat “ , yang sekarang disebut desa Tegalsaat , berasal dari kata “ Tegal – langsat “. Lanjut dari Tegalsaat meneruskan perjalanan ke arah selatan melalui Desa Pesalakan dan Umakuta , sampai di Desa Sawa Gunung terus menuju Desa Gepokan lanjut dengan menelusuri Tukad Tabu , lalu menyebrang dan tiba di Desa Cagaan . Dari simpang empat Cagaan lurus ke arah barat , turun di sungai “ Singa / Tukad Singa “ . Di Tukad Singa sanalah semuanya mengaso melepaskan lelah dan dahaga sambil bermandian di air pancoran yang sangat jernih lagi sejuk .
Konon tempat itu adalah bekas permandian ( beji ) tempat memandikan kuda putih “ Oncer Srawa “ milik Dalem Tarukan pada abad 14 , yang lalu.
Sehabis mandi lalu makan bersama dari makanan yang memang dipersiapkan untuk bekal selama dalam perjalanan . Habis makan bersama , duduk – duduk berkumpul di tepi Tukad Singa , seraya berembug bincang – bincang ( kompromi ) , sama – sama mengeluarkan pendapat ( tukar pikiran ) tentang tujuan perjalanan selanjutnya .
Dalam percakapan yang panjang lebar lagi serius bersama kelima orang warga Pameregan , menghasilkan keputusan yang disepakati oleh I Dewa Gede Oka , sebagai berikut ;
A . Mengingat putra – putra Beliau I Dewa Gede Oka masih kanak – kanak , kemungkinan tidak sanggup melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi .
B . Puri Soma Negara yang baru berdiri , mungkin dapat diharapkan untuk bisa menerima kehadiran Penguasa Kabetan sebagai abdi Sang Penguasa, dengan menjelaskan secara jujur alas an meninggalkan Puri Kabetan .
C . Dari pertimbangan itu I Dewa Gede Oka, positif akan membranikan diri untuk menghadap ke Penguasa Pejeng , guna minta suaka politik dan siap menerima resiko dengan pasrah .
D . Untuk mengenang pristiwa yang menimpa keluarga I Dewa Kabetan , hingga bercerai – berai meninggalkan Puri Kabetan dan tak tentu nasibnya , ber awal dari ucapan “ ULI DI PASAREAN I DEWA KABETAN MATUR “. Jadi tegur sapa di Puri Kabetan , menimbulkan akibat yang sangat patal dan menyedihkan serta menimbulkan penderitaan lahir – batin ( mala petaka ) .
Memang pada umumnya dari ucapan kata – kata dapat mendatangkan sahabat , musuh , keberuntungan , penderitaan atau kematian, seperti seloka yang mengatakan : “Wasita nimitanta nemu mitra , wasita nimitanta nemu duka , wasita nimitanta nemu pati “ . Maka dari itu I Dewa Gede Oka mengambil kata “ PASAREAN “ untuk dibubuhkan pada akhir nama Beliau , sebagai nama family ( fam ), yang selanjutnya dipakai pula pada putra – putra pewaris berikutnya . Semenjak itu nama lengkap Beliau menjadi “ I DEWA GEDE OKA BESAR “.
Ekologi bahasa ; dari kata PESAREAN menjadi PESARE menjadi BESARE “ dan akhirnya menjadi BESAR. Contoh lain , dari kata BALA TUHA menjadi “ BELAH BATUH “ , dari kata gambelan / tabuh BALA LAGA AJUR menjadi BLEGANJUR , dari nama BASANG POPOL menjadi CANGPOL menjadi SEMPOL . Begitulah halnya nama pungkusan BESAR pada keturunan I Dewa Kabetan di daerah Tarukan Pejeng .
Demikianlah semua yang ikut rembug sependapat dengan niat dan maksud I Dewa Gede Oka Besar, termasuk I Dewa Gede Sana juga sependapat . Saat rombongan beranjak akan melanjutkan perjalanan menuju Puri Soma Negara Pejeng , kala itu I Dewa Gede Sana mohon diri untuk berpisah seorang diri tanpa iringan . Namun kemudian I Dewa Gede Oka Besar menyetujui permohonan/ niat I Dewa Gede Sana setelah menimbang alas an yang dikemukakannya antara lain ;
A . Ingin merantau seorang diri menambah pengalaman .
B . Kelak bila telah bosen merantau , tentunya akan kembali menemui keluarga dan saudaranya di wilayah Pejeng .
C .Karena I Dewa Gede Sana telah mengetahui rencana keluarganya akan menghamba di puri Pejeng .
D . Mengingat Beliau ( I Dewa Gede Sana )masih jejaka (membujang ) dalam arti belum ada tuntutan / tanggungjawab di keluarga atau masih bebas tanpa ikatan .
Dalam kesepakatan itu I Dewa Gede Sana menjelaskan rencana perjalanannya untuk meyakinkan perasaan keluarganya dalam melepas kepergiannya yaitu ; dari Tarukan menuruni Pangkung terus melewati persawahan menuju Banjar Sala , lalu turun menyebrangi sungai Petanu sampai di Pengadangan Peliatan lurus ke arah barat tiba di Bencingah Puri Ubud lanjut menyebrangi sungai Campuhan menuju Desa Penestianan / Nestanan lalu belok ke arah selatan. Dari Penestanan melalui dusun Singkerta dan Tebongkang terus ke arah selatan sampai di daerah Kengetan lurus ke arah selatan melewati daerah Singapadu menuju daerah wilayah BADUNG menjadi tujuan akhir .
Lanjut kemudian konon Beliau (I Dewa Gede Sana ) menghamba sebagai abdi pada penguasa wilayah Banjar Bun yang bernama I Gusti Ngurah Made Bija Bun (warga Arya Wang Bang Pinatih). Dan kala kemudian pada saat wilayah Banjar Bun diserang oleh I Gusti Agung Munggu ( raja Mengwi ) sagai balas dendam, karena sebelumnya I Gusti Agung Mayun ( Cok. Munggu) adik kandung raja Mengwi tewas di Banjar Bun . Dalam perang tersebut Puri Banjar Bun di bumi hangus oleh laskar Mengwi dan I Gusti Ngurah Made Bija Bun melarikan diri ke Tainsiat / Badung . Ketika itu para warih ( pertisentana ) I Dewa Gede Sana pada lari menyelamatkan diri tanpa arah tujuan. Ada yang sembunyi dengan “ nyineb wangsa”, ada pula yang masih bayi belita dipunggut oleh I Kaki Kepasekan dari Batubulan.Konon bayi tersebut ditemui tertindih papan “ parba” sedang tertidur di sebuah dipan bale semanggen yang ada di Puri Banjar Bun. Sementara para warih lainnya yaitu tiga bersaudara yang bernama I Dewa Gianyar dan saudaranya lari ke daerah Munggu bersama panjak pengiring yang setia dari Banjar Bun dan menetap tinggal di Munggu.
Diceritakan Beliau tiga bersaudara warih Dewa Kabetan tiba di Munggu , mereka merambah hutan belantara untuk mendirikan pemukiman yang dikemudian harinya disebut Br. Pemaron – Munggu – Badung. Lagi pula telah mendirikan Marajan Agung dengan nama” PURA DALEM SURYA KEPAKISAN” yang artinya; DALEM adalah warih Dalem ( Satrya Dalem ). SURYA adalah asal dari keturunan Brahmana . KEPAKISAN adalah tosning warih Empu Kepakisan. Selama menetap di Munggu,ada salah seorang warih Dewa Kabetan Munggu diangkat senopati oleh raja Munggu saat dikirim ikut membantu raja Mengwi dalam penyerangan ke Belambangan ( Jawa Timur ).Dalam penyerangan tersebut Belambangan dapat dikuasai oleh Mengwi.
Kembali dilanjutkan hasil perembugan di Tukad Singa , lalu mereka sama – sama berangkat menuju tujuan masing – masing . Dan rombongan I Dewa Gede Oka Besar melalui dusun Pedapdapan tiba di bencingah Puri Soma Negara Pejeng .
MENGHADAP KE PURI SOMA NEGARA PEJENG .
Tersebut rombongan I Dewa Gede Oka Besar tiba di bencingah puri Soma Negara Pejeng ,setelah mendapat izin dari pengawal puri atau penjaga pintu gerbang , maka rombongan Kabetan masuk menghadap Dalem penguasa Pejeng diantar oleh salah seorang pengawal sampai di Pendopo ( ruang persidangan ) . Di sana rombongan menunggu beberapa saat dan kemudian datanglah I Dewa Agung Gede Pamayun Putra ( Dalem Pamayun Putra I )bersama putra mahkota Puri Soma Negara yang bernama I Dewa Agung Putu Pamayun Bukit menemui rombongan pengungsi dari Kabetan .
Setelah Putra Kabetan dengan sangat hormat matur sembah subakti dan memperkenalkan diri menjelaskan identitas ,mulailah percakapan – percakapan yang cukup lama mengenai maksud dan tujuan , sampai dengan alas an – alas an rombongan Kabetan meninggalkan daerah wilayahnya .
Dari percakapan yang panjang lebar dan sangat detail tersebut penguasa Pejeng menyatakan menerima dengan senang hatikehadiran rombongan Kabetan untuk mengabdi di wilayah Pejeng . Dan beliau ( penguasa Pejeng ) menjelaskan bahwa , kita adalah satu darah leluhur Kawitan , dimana Kakek Beliau adalah Dalem Di Made masih hubungan saudara tiri dengan I Dewa Kabetan , dalam arti ayah Beliau ( Penguasa Pejeng ) yaitu Dalem Pamayun masih dalam hubungan bersepupu ( misan ) tiri dengan I Dewa Gede Oka Besar . Hal mana Dalem penguasa Pejeng teringat akan pristiwa masa lalu , yang dialami oleh Kakek Beliau yaitu “ Dalem Di Made “ bersama ayahnya yaitu “ Dalem Pamayun dan Dalem Jambe”,tatkala meninggalkan kekuasaan Puri Gegel menuju daerah Guliang , ketika pembrontakan I Gusti Agung Maruti . Pada masa itu ayah Beliau ( Penguasa Pejeng ) yaitu Dalem Pamayun masih kanak – kanak ,hampir sebaya dengan putra – putra I Dewa Gede Oka Besar .
Akan bayangan kenangan masa lalu yang dialami oleh kedua orang tua dari penguasa daerah Pejeng ,membuat Beliau ( Penguasa Pejeng dan Putra Mahkota ) merasa “ iba hati “ menyaksikan putra – putra I Dewa Gede Oka Besar yang masih kanak – kanak telah ikut merasakan derita yang menimpa keluarganya .
Kemudian Cokorda Gede Pamayun Putra bersabda : “ Bapa !! (begitulah panggilan langsung dari penguasa Pejeng saat itu ) , sudah jelas bagi saya bahwa Bapa adalah satu darah Kawitan Leluhur dengannnn saya , karenanya saya sangat bersenang hati menerima kedatangan Bapa . Dari hal itu saya punya kewajiban menghargai Bapa dan sebaliknya Bapa punya kewajiban menghormati saya . Untuk hal itu saya ajak Bapa , marilah bersama – sama kita menjaga dan menegakan “ KEWIBAWAAN “ puri Soma Negara , utamanya melindungi panjak ( rakyat ) dari haro – hara kekacauan yang tidak kita inginkan .
Mendengar sabda penguasa Pejeng , lalu I Dewa Gede Oka Besar menjawab ( matur ) dengan sangat hormat ; “ Inggih !!...Paduka Dalem !! atas segala kemurahan hati Paduka , hamba pribadi dan atas nama rombongan sangat berterima kasi yang sedalam – dalamnya.Begitu juga halnya warga pengabih Meregan ikut mengucapkan terima kasi ( matur suksma ) . I Dewa Gede Oka Besar melanjutkan aturnya ; “ Kemuliaan hati paduka Dalem, hamba junjung di atas ubun – ubun hamba . Karena Paduka telah menyelamatkan dan menyambung kelangsungan hidup keluarga hamba , yang tak mungkin terbalaskan oleh hamba “. Maka dari itu hamba berjanji bahwa : “ Hamba siap sedia dan tetap setia kepada semua keluarga Puri Soma Negara , dengan darah dan nyawa taruhan hamba. Janji hamba ini akan hamba titipkan pula kepada semua keturunan hamba “. Begitulah atur I Dewa Gede Oka Besar .
Mendengar ucapan Putra Kabetan demikian, penguasa Pejeng percaya dan yakin akan kesetiaan I Dewa Gede Oka Besar seraya Beliau bersabda ; “ Nah !!...Bapa !!...saya percaya dengan ucapan Bapa . Janji Bapa ini saya pegang sebagai “”peneduh / penenang” hati saya . Karena Bapa adalah saudara saya, maka ….Bapa saya angkat sebagai pengabih tertua ( pengabih werda )Puri Soma Negara yang membawahi pengabih Agung dan pengabih Muda ( Anom ) maupun pengabih – pengabih pembantu yang lainnya dari Ngakan – ngakan Taman Bali , Ngakan Gedong Artha dan yang lainnya . Untuk Bapa ketahui ,….pengabih – pengabih Puri Soma Negara yang sudah ada ,yang juga ber asal dari satu Kaw itan Leluhur seperti warga I Dewa Pamayun ( putra dari Dalem Di Made dengan istri selir saudara Kiyai Ularan ), I Dewa Budi ( putra dari Dalem Di Made dengan istri selir tosning Satrya Taman Bali / putri I Dewa Pering penguasa wilayah Nyalian) dan I Dewa Undisan , ditambah lagi yang sekarang warga Bapa sendiri ….soroh Dewa Kabetan .Kesemua itu pengabih – pengabih puri , merupakan pengabih “ KAPIANDEL “ atau disebut “ SATRYA KANDEL PURI SOMA NEGARA “ Pejeng . Jadi mari kita bersama – sama ngayom ( nyungsung ) Mrajan Agung Puri Pejeng . Selain itu Bapa …saya tugaskan untuk mengawasi batas utara dan barat laut wilayah kekuasaan Pejeng ,yang berbatasan dengan Tampaksiring dan Tegalalang . Maka dari itu saya serahkan daerah bagian atas yaitu ; Dusun Tarukan , Belusung ,Sembuwuk, Umahanyar da n Melayang menjadi wilayah kekuasaan pengawasan Bapa , yang tetap berada di bawah pengaruh kekuasaan Puri Soma Negara Pejeng , dengan istilah “ MA PARO PAMUKTIAN”. Untuk jelasnya …Bapa “ A MANCA “ terhadap puri Pejeng. Mengenai daerah Tarukan, Bapa akan dibantu oleh soroh Ampeh Aji ( Puaji ) dalam mengayomi rakyat ( panjak) . Karena puri Soma Negara telah menempatkan soroh Puaji selaku “ PANGULU “ atau ketua masyarakat Tarukan . Jadi merekalah pasangan Bapa untuk diajak kerja sama dan bahu membahu dalam menjalankan tugas kemasyarakatan , baik suka maupun duka “.
Begitulah keputusan penguasa puri Soma Negara Pejeng. Karena pembicaraan sudah sepakat ( nemu gelang ),maka akhirnya rombongan Kabetan mohon diri untuk menuju ke tempat yang telah ditentukan .
PUTRA KABETAN MENETAP DI T A R U K A N
(Puri Keraton Kabetan di Tarukan )
Percakapan antara Cokorda Gede Pamayun Putra denga I Dewa Gede Oka Besar sudah mencapai kesepakatan ( nemu gelang ) lalu rombongan Kabetan mohon diri menuju ke tempat yang telah ditetapkan.
Perjalanan melalui dusun Pedapdapan menuju ke daerah Tarukan . Sepanjang perjalanan Beliau ( I Dewa Gede Oka Besar ) bercakap – cakap dengan kelima warga pengabihnya, membicarakan tentang tempat yang akan dipilih untuk pemukiman , terutama tempat yang strategis dan dekat dengan puri Soma Negera demi lancarnya dalam berhubungan dengan puri Pejeng . Dalam percakapan itu akhirnya disepakati untuk tinggal tetap di Tarukan ,dengan pertimbangan ; pasangan dalam mengemban amanah ( pengabdian ) terhadap puri Pejeng, yaitu warga Ampeh Aji, adalah patner yang akan diajak kerja sama dalam pengabdian , berada tinggal di Tarukan. Dengan demikian hubungan persaudaraan dengan warga Puaji bisa lebih akrab ( kuma nyama ).
Tanpa dirasakan perjalanan,akhirnya tibalah di Daerah Tarukan . I Dewa Gede Oka Besar bersama putra – putranya mengaso sejenak di lapangan ( alun – alun ) yang ada di seberang jalan raya di jaba Pura Desa / Bale Agung dusun Tarukan ,sementara kelima orang pengabih melakukan peninjauan situasi giografis dusun Tarukan .
Tak lama kemudian mereka kembali berkumpul di jaba Pura Desa / Bale Agung . Berbincang – bincang sebentar , lalu diputuskan lokasi yang dipilih adalah di sebelah utara Pura Desa . Jadi berdekatan dengan jajaran perumahan warga Puaji atau di seberang jalan raya ( numbak ) dengan perumahan warga Puaji.
Selanjutnya atas kerja keras Warga Arya Pameregan dalam membangun Puri Kraton, akhirnya Puri I Dewa Gede Oka Besar segera dapat diselesaikan secara bergotong – royong ,dan purinya disebut “PURI KERATON DEWA KABETAN “. Dan tak lama kemudian menyusul datang dan tinggal bersama – sama menetap di Tarukan yalah warga I Dewa Undisan , mendirikan perumahan di batas utara Puri Keraton ( selat tembok panyengker ).Hal ini mungkin karena ditugaskan untuk mengawasi sepak terjang putra Kabetan di Tarukan oleh penguasa Pejeng. Dilain pihak Cok. Putu Pamayun Bukit (Dalem Pamayun Putra II)Raja Soma Negara II,juga menempatkan adiknya yang bernama I Dewa Gede Manikan untuk menetap di Dsn. Belusung, guna membawahi I Dewa Gede Oka Besar dalam mengemban tugasnya di Tarukan ,Belusung, Sembuwuk,Umahanyar dan Melayang. Karena I Dewa Gede Manikan menetap di Belusung, maka Beliau dijuluki Cokorda Belusung. Namun di tahun – tahun kemudian ,pada waktu Pejeng diserang oleh Ubud dan Belahbatuh tahun 1893, semua keturunan Cok . Belusung lari menyelamatkan diri ke daerah Benawah dan tinggal menetap disana bersama keluarga Cok. Oka Guliang (putra ke II dari I Dewa Agung Pamayun Ratu ).
Lanjut pada rombongan pangungsi Kabetan tiba di Tarukan . Dari laporan pengabih Arya Pameregan,yang telah meninjao ke setiap plosok lokasi,maka I Dewa Gede Oka Besar mengatur strategi penempatan rumah – rumah tinggal dari masing – masing warga Pameregan .
Adapun masing – masing perumahan dari mereka adalah :
Warga I Ketut Bintit / Nang Bintit berumah tinggal di sebelah utara jajaran perumahan warga Puaji ( bertetangga dekat ),yang kelak kemudian di depan rumahnya (pada tegak sanggahnya ) didirikan pura “ PANTI MEREGAN “.
Warga I Nyoman Dompolan / Nang Dompolan berumah tinggal di sebelah utara Panti Meregan.
Warga I Made Ringsun /Nang Ringsun berumah tinggal paling utara ( di sebelah utara rumah Nang Dompolan ( selat tembok panyengker ).Hal ini dimaksudkan agar hubungan dengan warga Puaji lebih dekat , akrab dan ke keluargaan .
Warga I Wayan Minab / Nang Minab berumah tinggal di sebelah utara alun – alun, yaitu di belakang Panti Salahin / Pura Griya,dengan maksud agar hubungan dengan Pasek Salahin lebih dekat dan akrab. Adapun Pasek Salahin adalah kelompok pengiring Dalem Tarukan pada abad 14 . Selain itu juga ada kelompok Pasek Bali ( Bali Aga ) warga Bujangga Wisnawa yang merupakan pangiring Rsi Markendya pada abad 7 dulu kala , dengan Pura Pantinya yang disebut “ Pura Taman Sari “.
Warga I Wayan Berata / Nang Berata berumah tinggal di sebelah selatan pura DALEM KETUT, dengan maksud agar lebih dekat dan akrab dalam berhubungan dengan pihak Puaji yang tinggal di sebelah utara pura Dalem Ketut atau bersebrangan ( numbak ) jalan raya dengan Panti Puaji . Selain itupula lebih cepat dan akrab dalam berhubungan dengan warga Bali Age ( Bujangga Wisnawa ), walaupun jumlah warganya tidak lebih dari 10 KK.
Setelah beberapa tahun kemudian, sepertinya keluarga I Wayan Berata meras terpencil,sendirian jauh dari saudara – saudaranya yang lain , maka dari itu salah satu warga Meregan dari keluarga I Ketut Bintit, dipindahkan berumah tinggal di sebelah selatan Panti Puaji selat rurung.
Dari kelompok – kelompok tersebutlah penghuni daerah Tarukan pada zaman kekuasaan Puri Soma Negara penguasa wilayah Pejeng.
TOMBAK PUSAKA KI POLE GENI
Tersebutlah I Dewa Gede Oka Besar setelah menetap di Tarukan dan selaku “ manca “ Puri Soma Negara, Beliau sangat taat melaksanakan ibadah persembahyangan di tempat – tempat suci yang berada di wilayah Tarukan,seperti Pura Dalem Pamijilan,Ratu Balian,Dalem Setra, Pura Dalem Ketut ( Dalem Alit /Penataran Alit),Pura Pucak ( Pura Batan Ancak / Pura Kaja ).
Tiap – tiap hari suci antara lain ; hari purnama / tilem ,siwa latri dan hari – hari suci lainnya tak pernah B eliau lupakan dalam melakukan ibadah persembahyangannya yang dilakukan pada malam hari saat tengah malam /tengah latri .
Pada suatu hari I Dewa Gede Oka Besar berburu ( mapikat) burung titiran di pinggir utara dusun Tarukan , dekat dengan lokasi Pura Kaja . Burung titiran di dalam sangkar yang dipakai umpan mapikat , ditambatkan di sebuah pohon kecil yang tumbuh dekat di bawah pohon Ancak . Tidak jauh dari tempat itu ada sebuah pohon beringin yang sangat besar dan di samping pohon beringin ada pula pohon POLE yang cukup tinggi lagi besar pohonnya.
Sedangkan I Dewa Gede Oka Besar mengawasi pikatannya dari kejauhan. Beliau duduk di pingiran jalan raya ( di jaba Pura Kaja ). Berselang beberapa lama pikatannya ternyata membuahkan hasil. Se ekor burung TITIRAN BRUMBUN bertengger di atas sangkar pikatan yang telah di isi “ engket “ ( alat perekat )dari getah pohon tehep.
Dilihatnya sangkar pikatan berhasil , bergegas Beliau I Dewa Gede Oka Besar menuju ke arah pikatan. Namun…”a s t a g a …..! “sebuah dahan pohon pole sebesar batang pinang dan banyak cabangnya,terlepas dari pohonnya karena sudah kering dan lapuk, jatuh hampir menimpa kepala Beliau .Hal itu membuat I Dewa Gede Oka Besar kaget terperanjat karena terkejut sehingga burung titiran brumbunpun terlepas dari “engket “ pikatan lalu terbang karena juga terkejut dan takut .
I Dewa Gede Oka Besar menarik nafas panjang dan sangat menyesal karenanya .Kemudian dengan tenang diambilnya burung pikatannya dan batang kayu pole yang terjatuh itupun diambil dan dipikulnya dibawa pulang untuk kayu bakar .
Sampai di Puri kayu pole itu diletakan di belakang bale semanggen (bale dangin),tepatnya di sebelah selatan Merajan . Sampai ber bulan – bulan kayu itu geser kanan – geser kiri belum juga dijadikan kayu bakar .Hanya cabang – cabang yang kecil – kecil saja sudah habis dipatahkan pakai “belakas” oleh istrinya untuk kayu bakar sehari – harinya .
Menjelang hari “Wodalan di Merajan “kayu itu dicacah (dibelah) oleh abdi Beliau dari warga Pameregan,pakai “kandik” . Hampir habis kayu itu tercacah,hanya tinggal lagi satu potong saja dan pendek adanya. Saat memecah potongan kayu terakhir ,terjadilah suatu kejadian yang aneh, dimana disaat besi kandik menancap pada kayu pole terakhir itu,keluarlah api menyala,hingga membakar habis potongan kayu yang terakhir itu.
Karena kejadian itu I Dewa Gede Oka Besar tergesa – gesa menuju ke belakang Bale Dangin.Dilihatnya nyala api sudah hampir padam, karena potongan kayu telah habis terbakar. Beliau tertegun memperhatikan api menyala sampai api itu padam. Setelah api padam,Beliau agak tercengang melihat sesuatu benda yang tak habis dilalap api,tergeletak di atas abu arang kayu pole itu. Benda aneh itu lalu digeser – geser(dikutik – kutik) pakai tongkat kayu kecil,agar benda aneh itu menjauh dari bara api panas. Setelah diperhatikan ternyata benda itu , adalah sebuah besi karatan, yang tak ubahnya seperti besi barang rongsokan yang berada di kandang babi bertahun – tahun.
Kemudian besi itu dirawat dengan baik, semua karatannya dibersihkan, lalu diasah (disangih) dibuat tajam,hingga jelas bentuk aslinya, berupa sebuah besi TUMBAK.Selanjutnya besi tombak itu dibikinkan tangkai dari kayu”PANGGAL BUAYA “. Pada ujung besi tombak,dilengkapi tutup ( sarung)/saung sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti kayu tongkat(tungked) teteken biasa yang layak dipakai tongkat oleh orang lanjut usia.
Sesudah itu pada hari padewasan yang baik yaitu “ Tumpek Landep nemonin Purnama Kapat” tombak itupun diupacarai (( dipasupati) dan dikramatkan sebagai senjata Pusaka dan diberi nama “ KI POLE GENI “. Semenjak memiliki pusaka tersebut ,kemanapun Beliau I Dewa Gede Oka Besar pergi,tombak Pusaka Ki Pole Geni selalu ada ditangan sebagai tongkat (teteken),seolah – olah meniru seorang Padanda Brahmana Wiku,setiap bepergian selalu membawa tateken ( tongkat ).
MENDIRIKAN MERAJAN GEDE ( MERAJAN AGUNG )
Tersebutlah I Dewa Gede Oka Besar telah menetap di Tarukan selaku “ a nglurah “terhadap Puri Soma Negara Pejeng , dimana Purinya telah dibangun lengkap tri mandala yaitu ; tegak saren , tegak rangki , maupun tegak semanggen serta dilengkapi pula tegak Merajan dan Ancak Saji serta purinya disebut Puri Kraton Kabetan .
Selanjutnya hari demi hari , situasi di Tarukan semakin berbeda dengan konsep pemikiran yang direncanakan dan diharapkan sebelumnya seperti dalam percakapan di Puri Pejeng lalu .Mulailah muncul gejala – gejala cemburu sosial dari kelompok warga yang dianggap tokoh, pemuka masyarakat di Tarukan,dengan menunjukan sikap antipasti terhadap warga Satrya Kabetan ,terlihat dari tingkah laku /tindak tanduk samar – samar (silib),seperti ilmu blek mejik , ilmu batin maupun isu – isu fitnah. Namun hal demikian tidak menjadi halangan/hambatan bagi satrya Kabetan dalam menjalankan kewajibannya ( swadharmanya).
Sementara itu putra – putri Beliau I Dewa Gede Oka Besar sudah semakin dewasa, tapi sayang …..salah satu pitra nya yang bernama I Dewa Gede Lakes wafat dalam usia jejaka ( truna bunga). Dan Ni Dewa Ayu Munang menjalankan yasa brahmacari ( Kanya ). Sedangkan I Dewa Gede Tukrukan Besar kawin dengan Ni Desak Ketut Nyentok dari desa Petak , menurunkan empat putra – putri antara lain ;
Ni Dewa Ayu Putu Saplug Kanya,diduga lahir sekitar tahun 1744.
I Dewa Gede Made Sedan Besar, diduga lahir sekitar tahun 1749 .
I Dewa Gede Nyoman Gemuh,diduga lahir sekitar tahun 1753.
I Dewa Gede Ketut Sengkor , diduga lahir tahun 1758
Setelah ketiga orang putranya bersuami – istri dan sudah pada menurunkan putra ( sentana), maka tahun 1842 Puri Kraton Kabetan dibagi tiga lokasi yaitu ;
A.Lokasi I ,adalah tegak Saren sebagai PURI PUSAT.
B. Lokasi II,adalah tegak Rangki , sebagai PURI RANGKI / TENGAH.
C . Lokasi III, adalah tagak Semanggen, sebagai PURI SEMANGGEN /PURI KELODAN.
Dari ketiga bagian Puri tersebut,masing – masing pada mendirikan “Merajan Pengantenan” dengan satu Merajan Pusat yaitu Merajan di Puri Pusat ( milik Puri Pusat).
Beberapa lama kemudian setelah dari masing – masing tiga lokasi tegak puri tersebut, pada telah benyak menurunkan putra (keturunan) dan sudah pada membangun rumah tangganya sendiri – sendiri,maka untuk merajan bersama ( merajan perkumpulan ),selain Merajan Pusat, pada tahun 1871 di dirikan satu Merajan Para Hyangan yang disebut MERAJAN GEDE . Namun Merajan Pusat adalah Merajan bagi kolompok pertisentana (para warih) I Dewa Gede Oka Besar ( Satrya Kabetan ),merupakan cikal – bakal Dewa Kabetan di Tarukan.
Adapun Parahyangan Merajan Gede bermakna sebagai “ SUNGSUNGAN/ PEMUJAAN “bersama dengan warga I Dewa Undisan (cikal – bakal Puri Batan Wani ) dan warga I Dewa Putu Jental ( cikal – bakal puri Dukuh ) . Hal mana hubungan Puri Batan Wani dengan Puri Pusat ada jalinan ikatan “warang,..mertua,..menantu,..ipar “,begitu pula hubungan dengan Puri Dukuh ada jalinan ikatan “ mertua ,…menantu “,sehingga tali persaudaraan ( keluarga)tetap berada dalam satu warga( satu Dadya/Paibon/Pemaksaan) yaitu “Pamaksaan MERAJAN GEDE Satrya Kabetan di Tarukan,dengan lokasi terletak di antara Puri Pusat dengan Puri Rangki.Jadi ada perbedaan makna dengan Merajan Pusat.
Sebagai Pemangku I , DI Merajan Gede Satrya Kabetan adalah I Dewa Gede Made Sedan Besar dari Puri Pusat.Selanjutnya setiap Wali Patirtan di Merajan Gede,maupun pembangunannya ,semua biaya dari dana tiga Puri pemula yaitu ; Puri Pusat , Puri Rangki dan Puri Semanggen ,dengan kata lain “Puri Penyandang Dana “. Tetapi selaku “Pangayah /Pakandel /Pangoreg “selalu dilaksanakan oleh semua warga pengabih puri yaitu dari warga Pameregan,bersama warga Puri Batan Wani dan warga Puri Dukuh.
Setelah Pemangku Merajan Gede I wafat,lalu diganti oleh I Dewa Nyoman Suwe dari Puri Rangki ( cikal – bakal Puri Kanginan) selaku Pemangku Merajan Gede yang ke II.
Semenjak Puri Keraton Kabetan ( Puri Keraton A nglurah Tarukan ) dibagi menjadi tiga Puri,lalu masing – masing cikal – bakal tiga Puri tersebut menghilangkan pungkusan nama “ GEDE” terhadap setiap nama keturunannya,..atas pengertian pandangan Leluhur terdahulu, karena bentuk Puri “ Keraton “ sudah berubah menjadi bentuk Puri “Jajaran “,yang mana bentuk Puri Keraton lengkap dengan areal bangunan Saren, Rangki , Semanggen dan yang lengkap ada areal “ ancak saji / pamedal Agung. Sekarang berubah menjadi ; tegak Saren berubah menjadi Puri Pusat , tegak Rangki berubah menjadi Puri Tengah /Rangki,tegak Semanggen berubah menjadi Puri Kelodan / Semanggen dan tegak Ancak Saji berubah menjadi perumahan I Gusti Ketut Bona.Semenjak itulah pungkusan Gede dihapuskan bagi keturunan Satrya Kabetan di Tarukan.
Untuk Pemangku berikutnya adalah I Dewa Putu Tilem dari Puri Pusat ( cikal – bakal Puri Kawan ) selaku Pemangku yang ke III. K emudian Pemangku yang ke VI adalah I Dewa Made Besar ( putra pemangku III),kemudian diganti oleh I Dewa Nyoman Togog dari Puri Rangki, selaku Pemangku yang ke V. dan selanjutnya Beliau diganti oleh I Dewa Nyoman Ngurah Swastika ,selaku Pemangku yang ke VI,dari Puri Duwur Pangkung ( cikal – bakal Puri Ancut).
Pemangku yang ke ;I ,III,IV,dan VI,berasal dari bencahan puri Pusat. Pemangku yang ke ;II dan V,berasal dari bencahan Puri Rangki .
MEMBETUK P E M A K S A N
Setelah masing – masing dari tiga Puri pemula ( pusat,rangki,dan semanngen ) pada berkembang menjadi beberapa Kepala Keluarga ( KK) dan sudah pada membangun Puri baru di luar Puri Pemula tersebut ,dimana salah seorang Pewaris ( silih di i) dari tiga Puri Pemula atau puri penyandang dana ,mengajukan usul keberatan menjadi penyandang dana di Merajan Gede hanya oleh tiga puri pemula saja,dengan alas an bahwa ; saudara – saudaranya yang telah bersuami – istri dan sudah pada keluar puri pemula serta telah pada sama – sama memiliki tempat perumahan masing – masing , juga telah punya tanah garapan sendiri – sendiri . Lagi pula Merajan Gede itu adalah Parahyangan seluruh keluarga ( warga sameton ) ,pamaksaan..
Usul itu dapat diterima dan dibenarkan oleh keluarga yang lain , sehingga disepakati “ Pendanaan di Merajan Gede “ menjadi tanggung jawab semua warga pemaksaan terutama yang sudah bersuami – istri ( KK ).
Akhirnya dibentuklah “ MAKSAN “ ,yang ekologi bahasanya ber akar kata RAKSA ,yang bermakna memiliki hak tanggung jawab ,menjadi kata “ ma me – RAKSA- an “, lalu menjadi “ME-RAKSAN”, kemudian ucapan umum menjadi “ M A K S A N “ dan anggotanya disebut “ PE-MAKSAN “.Selanjutnya Merajan Gede sameton Kabetan merupakan Merajan Pemaksan Satrya Kabetan.Jadi semua babad ( prasasti) yang dimiliki oleh anggota maksan ,boleh dikumpulkan jadi satu untuk di sungsung di Mrajan Gede. Namun di Merajan Gede Satrya Kabetan Tarukan , sampai saat ini hanya nyungsung satu babad (prasasti) yaitu babad / prasasti I Dewa Kabetan ( Satrya Kabetan ), sedangkan babad yang lainnya belum ada.
Jumlah pemaksan saat itu baru berjumlah 12 KK, diantaranya ;
I Dewa Putu Tilem cikal – bakal Puri Kawan.
I Dewa Ketut Gesiuh pewaris Puri Pusat.
I Dewa Putu Raka cikal – bakal Puri Kajanan.
I Dewa Made Badoh cikal – bakal Puri Pondok.
I Dewa Putu Tunas Besar pewaris Puri Rangki.
I Dewa Nyoman Suwe cikal – bakal Puri Kanginan.
I Dewa Putu Kandel pewaris Puri Semanggen .
I Dewa Nyoman Suta cikal bakal Puri Parwa .
I Dewa Ketut Cinikan dari Puri Semanggen.
I Dewa Made Kenting cikal – bakal Puri Dauh Telabah.
I Dewa Made Rai pewaris Puri Batan Wani .
I Dewa Putu Jental cikal – bakal Puri Dukuh.
Sebagai ketua ( kelian I ) Tanpa dipilih yaitu I Dewa Putu Tunas Besar dari Puri Rangki ,yang kemudian diganti oleh putranya,juga tanpa dipilih yaitu I Dewa Made Jaksa Besar ( kelian II ).Kedua kali kelian ini , tidak dibantu oleh sekretaris ( penyarikan) dan bendahara ( juru raksa ), hanya sendirian.Selanjutnya kelian III (JURU KELIH) atas pilihan sameton adalah I Dewa Made Karya cikal – bakal Puri Duwur Pangkung,yang dibantu oleh I Dewa Putu Kalik dari Puri Semanggen selaku sekretaris ( penyarikan) merangkap bendahara ( juru raksa ) . Kemudian diteruskan oleh I Dewa Ketut Diran ( juru kelih IV ) dari puri Kanginan, dibantu oleh Toklok Jata Sawitur dari Puri Semanggen (penyarikan merangkap juru raksa ). Selanjutnya setelah I Dewa Ketut Diran wafat, pelaksanaan “ juru kelih , penyarikan ,dan juru raksa “ dirangkap se orang diri oleh JATA SAWITUR ( I Dewa Ketut Ubud ) dari tahun 1986 - 1988.Walaupun JATA berkali – kali mohon pembantu (petajuh) dalam rapat sameton,namun selalu ditangguhkan ( ditunda – tunda ) oleh anggota Pamaksan terutama dari usul seorang penglingsir dari Puri Pusat yaitu I Dewa Made Asta ( Pugig ),sehingga Jata Sawitur menjadi pengurus tunggal mulai I Dewa Ketut Diran jatuh sakit ( mulai 1981 - wafat 1986 ). Kemudian karena rasa mangkel,lalu dalam rapat bulanan Sameton, Jata Sawitur membuka rapat dan menyerahkan semua buku – buku administrasi,seraya mengucapkan “ saya mengundurkan diri “ dan langsung pergi meninggalkan rapat.Kendatipun diteriak – teriaki memanggil, kembali….namun Jata tak hirau. Kali itu rapat tanpa pengurus dan langsung memilih pengurus saat itu juga serta terpilih I Dewa Nyoman Subadhi dari Puri Pondok selaku Kelian, dan I Dewa Ketut Oka Mertha ( sekretaris merangkap bendahara ) dari Puri Duwur Pangkung. Selanjutnya tahun 2009 diganti oleh I Dewa Putu Oka Suwardi dari Puri Kanginan ( juru Kelih), dibantu oleh I Dewa Gede Widhi Astu / Sempol,dari Puri Semanggen ( Penyarikan), dan I Dewa Putu Oka Suwadi ( Cople),dari Puri Pusat ( juru raksa ). Mulai kali ini pengurus di Marajan Gede , lengkap adanya yaitu ada Kelian,Sekretaris dan Bendahara .
KELUARGA PURI DUKUH BERPISAH DARI MERAJAN GEDE DEWA KABETAN
Bermula dari ketika I Dewa Ketut Rai Dukuh gagal cintanya dengan Ni Desak Putu Rentet dari Puri Dangin Telabah yaitu putri dari I Dewa Putu Degeng. Tatkala itu I Dewa Ketut Rai mohon bantuan kepada warga semeton Merajan Gede untuk membujuk rayu Ni Desak Putu Rentet agar mau bersuami – istri dengan dirinya. Karena hal itu tidak kesampaian atau gagal , bahkan Ni Desak Putu Rentet kawin lari dengan I Dewa Made Lebeng dari Puri Parwa. Maka dari itu diduga Sameton Merajan Gede sengaja mensiasati perlakuan kawin lari tersebut dan merasa warga tereh Dukuh tidak dianggap satu ikatan keluarga warga Sameton Merajan Gede. Semenjak itulah warga tereh Dukuh tidak lagi kompak tedun “ memaksan” di Merajan Gede Tarukan, dengan kata lain berhenti “ memaksan” atau menarik diri, dengan alas an bahwa mereka hanya ikut memaksan di Merajan Gede Sarya Kandel Pejeng saja , karena mereka tidak sanggup “ NEGEN AYAH “ atau tak sanggup ikut memaksan di dua Merajan Gede.
Demikianlah kisahnya berpisah.
PERTISENTANA PURI P U S A T
Diantara tiga putra I Dewa Gede Tukrukan Besar, yang menetap di Puri Pusat adalah putra pewaris (mahkota ) bernama ;I Dewa Gede Made Sedan Besar kawin dengan Ni Desak Putu Luhin dari Sawa Gunung, menurunkan lima orang putra – putri; 1 . I Dewa Kompyang Besar diduga lahir tahun 1798 Masehi .
2 .I Dewa Ketut Gesiuh diduga lahir 1806 .
3. I Dewa Putu Raka diduga lahir tahun 1810.
4 . I Dewa Made Badoh diduga lahir tahun 1815.
5 . Ni Dewa Ayu Munang diduga lahir 1819 ,dikawinkan dengan I Dewa Putu Jental dari Dusun Dukuh Pejeng, yang memang diasuh di Puri Pusat oleh I Dewa Gede Made Sedan Besar ,sebagai anak angkat di Puri Pusat setelah sebelumnya ditemukan di persawahan daerah Tengkulak,( Mas – ubud ) sebagai pekerja “ pengangon bebek “ milik orang tua asuhnya ( Wong Sudra ) dari Tengkulak . Selanjutnya pasangan itu menjadi cikal – bakal PURI DUKUH ,yang lokasi purinya terletak di sebelah sudut Timur Laut (kaja kangin)Pura Desa / Bale Agung Tarukan (sebelah timur tanah kosong di sebelah utara pura Desa).
Tersebutlah putra I (pertama ) puri Pusat yang bernama I Dewa Kompyang Besar kawin pertama dengan Ni Desak Putu Soka dari Dusun Belusung ,tetapi tidak menurunkan putra. Berikutnya pernikahan kedua dengan Ni Luh Wayan Antab dari warga Ampeh Aji ( Puaji) yang rumahnya terletak di seberang jalan raya ( numbak pamesu dengan Puri Pusat ),namun juga tidak menurunkan putra. Kemudian kawin yang ketiga kalinya dengan Ni Dewa Ayu Ketut Geliling dari Puri Rangki ( putri I Dewa Nyoman Gemuh ),menurunkan putra tunggal bernama I Dewa Putu Tilem,diduga lahir tahun 1838 Masehi.
Adapun I Dewa Kompyang Besar diangkat sebagai panglima perang Puri Soma Negara Pejeng.Satu – satunya patih yang cukup tangguh,prawira katong lagi jujur serta setia dan pembrani dengan pusaka tombak sakti “ KI POLE GENI “selalu di tangan sebagai tongkat( tateken ) kemanapun Beliau pergi.
PERANG PEJENG MELAWAN TAMPAKSIRING
( Tahun 1836 )
Disebutkan I Dewa Agung Anom Pamayun ( Cokorda Anom Pamayun) raja Tampaksiring ke II ,menurunkan tiga orang putra yaitu : 1 . Cok . Putu Griya , 2. Cok . Anom Senetan dan 3 .Cok .Made Sukawati ( Cok . Laplapan ). Dari ketiga putra tersebut, Cok Made Sukawati pindah ke PAYANGAN ,mendirikan kerajaan Payangan pada tahun 1776 , atas inisiatif penguasa Taman Bali .
Selanjutnya setalah berakhirnya kekuasaan Cok Anom Senetan di Tampaksiring,maka kekuasaan selanjutnya mengalami kekosongan,karena tidak ada pengganti berikutnya ( putung ).Dari hal itu I Dewa Agung Rai Malinggih ( Cok Rai Malinggih ) Penguasa Payangan dengan segera mengangkat I Gusti Kebon ( warga Arya Kebon Tubuh ) adalah patih pengabih kerajaan Tampaksiring,untuk mengisi kekosongan itu ,dengan maksud agar tidak didahului oleh Penguasa Pejeng ( Soma Negara ).
Dengan demikian Tampaksiring berada dibawah pengaruh kekuasaan Payangan. Dari pristiwa itu I Dewa Agung Pamayun Guliang (Dalem Pamayun Putra VI ) bersama adik kaddungnya yang bernama Cok. Rai Pinatih dari Puri Soma Negara berkeyakinan bahwa ;
1 .Payangan menggunakan siasat “ lempar batu sembunyi tangan “ artinya: secara tak langsung (diam – diam) Payangan telah menguasai Tampaksiring .
2 .Penguasa Pejeng menganggap Payangan telah memonopoli kekuasaan leluhur Kawitannya di Tampaksiring dengan mengangkat I Gusti Kebon Pepatih Tampaksiring yang sangat setia terhadap Penguasa Tampaksiring dan juga terhadap Penguasa Payangan sebagai penguasa raja boneka .
3 .Payangan memang menyadari bahwa,penguasa Pejeng juga punya hak atas kekuasaan di Tampaksiring , bahkan hendaknya Pejeng yang lebih dominan .
Dengan pertimbangan itu, lalu penguasa Soma Negara Pejeng (I Dewa Agung Pamayun Guliang, memerintahkan I Dewa Kompyang Besar ( panglima perang Soma Negara Pejeng ) untuk menyerang Tampaksiring,sebagai pertanda protes atas kebijaksanaan Cok . Rai Malinggih penguasa Payangan .
Akhirnya meletus perang antara Pejeng ( Soma Negara) melawan Tampaksiring ( dibawah I Gusti Kebon ) pada tahun 1758 Isaka, dengan pertempuran sengit terjadi di Daerah Bukit /sebelah barat Dusun Kulub,antara laskar Pejeng yang disenopati i oleh I Dewa Kompyang Besar dengan bersenjata tombak pusaka sakti “ Ki Pole Geni”,melawan laskar Tampaksiring yang dipimpin oleh I Gede Dangin (Kula Gotra Pulasari ) keturunan Dalem Tarukan.
Tidak diceritrakan serunya pertempuran , akhirnya berkat pusaka Ki Pole Geni ,I Dewa Kompyang Besar berhasil menghancurkan pasukan Tampaksiring dan I Gede Dangin tewas di ujung tombak Ki Pole Geni,kendatipun dua orang prajurit Tarukan dari warga Pasek Salahin yang rumahnya berjajar tepat bersebrangan dengan Pura Panti Salahin (delodan) yang bernama Nang Gangsar dan Nang Limbak,juga tewas dalam pertempuran di daerah Bukit itu.
Sebelum penyerangan sampai ke Keraton Tampaksiring,namun I Gusti Kebon telah lebih dulu menyelamatkan diri bersama keluarganya menyamar ( nyineb wangsa ) berbaur dengan rakyat petani biasa.
POLITIK MEMPERLUAS KEKUASAAN
Berita penyerangan Pejeng ke Tampaksiring sampailah kepada Cok Rai Malingih,lalu penguasa Payangan itu segera mengangkat salah satu dari keluarganya yaitu Cok . Anom Tunjung putra dari Cok . Made Karang ( adik kandung Cok Rai Malinggih) di Puri Kelodan Payangan,untuk berkuasa di Tampaksiring,pengganti I Gusti Kebon .
Sementara pada saat itu di kerajaan Gianyar yang berkuasa bernama I Dewa Manggis Jorog ( raja Gianyar ke II ),adalah putra dari raja Gianyar I , yaitu pendiri Puri Kraton Griya Anyar tahun 1771, yang bernama I Dewa Manggis Geredeg bergelar I Dewa Manggis Api atau I Dewa Manggis Sakti,dan kemudian Griya Anyar diresmikan sebagai kota Gianyar tahun 1871 .Dimana kala itu I Dewa Manggis Jorog ( I Dewa Manggis ke V ), sedang berusaha memperkuat pertahanan dengan memperluas kekuasaan .
Pri hal kemelut Pejeng lawan Tampaksiring , sebagai petunjuk bahwa;warga Dalem Pamayun tidak bersatu ( pecah adanya ).Maka kesempatan itu dimanfaatkan oleh Gianyar untuk menguasai wilayah Pejeng. Berikutnya I Dewa Manggis Jorog mengirimkan utusan ke Puri Soma Negara Pejeng untuk “ melamar /meminang “ putri Cok . Rai Pinatih di Puri Soma Negara. Tapi lamaran Gianyar tersebut ditolak mentah – mentah oleh Cok Rai Pinatih dengan alas an tidak etis “soroh pra dewa , melamar soroh Cokorda “. Karena ditolak,lalu utusan Gianyar kembali menghadap ke penguasa Gianyar dan melaporkan secara detail yang dialami di Puri Soma Negara.Dari pristiwa itu Gianyar dapat alas an ( peluang) untuk menyerang Puri Soma Negara Pejeng .
PUTRA SATYA KABETAN DIBUANG KE NUSA PANIDA
( tahun 1838 )
Setelah lamaran Gianyar ( I Dewa Manggis Jorog) ditolak oleh Soma Negara Pejeng ( Cok. Rai Pinatih) ,mulailah penguasa Gianyar merencanakan penyerangan ke Puri Soma Negara Pejeng.Namun perlu mendapat perhitungan / pertimbangan akan ketangguhan ( kesaktian) senopati Soma Negara yang bernama I Dewa Kompyang Besar dari Puri Tarukan dengan senjata pusaka sakti “ tombak Ki Pole Geni “ yang telah dangan mudah menaklukan Tampaksiring.
Berselang beberapa bulan kemudian,muncul isu – isu sumbang yang tak jelas ujung – pangkalnya,berbau fitnah berhembus makin hari makin santer bahwa; I Dewa Kompyang Besar berencana merebut kekuasaan Puri Soma Negara atau akan merencanakan “ cup deta “,bahkan di isukan sedang giat – giatnya melatih prajurit – prajurit pilihan nya di Tarukan .
Berdasarkan isu – isu tersebut, maka pada tahun 1838 , I Dewa Kompyang Besar dipanggil menghadap ke Puri Soma Negara .Memang Beliau I Dewa Kompyang Besar adalah sosok kesatrya sejati,selalu taat dan setia serta bakti kepada junjungannya, maka datanglah menghadap ke Puri Soma Negara,dengan Ki Pole Geni tiada lepas dari tangannya karena merupakan tongkat ( tateken ) dalam bepergian.
Sampai di Puri Soma Negara,Beliau Putra Kabetan langsung menuju Bale Paseban . Sebelum mengambil tempat duduk , Ki Pole Geni disandarkan pada dinding ( Tembok )Bale Paseban dan Beliau sendiri lalu duduk di lantai ( bataran )Bale Paseban, tak jauh dari Ki Pole Geni disandarkan sambil menunggu kehadiran penguasa Pejeng .
Tiba – tiba ada anjing berkelahi ( mekerah ) kena menyentuh tangkai tongkat “ Ki Pole Geni “ hingga tongkat terjatuh dan menimpa salah se ekor dari anjing itu. Tak terduga – duga anjing itupun mati terkapar di tanah seketika itu juga di sebelah Ki Pole Geni.Lalu Putra Kabetan mengambil Ki Pole Geni dan kembali di sandarkan di dinding seperti semula . Dengan kejadian itu I Dewa Kompyang Besar merasakan hal itu sesuatu pirasat ( ciri – ciri ) buruk yang akan menimpa dirinya .
Pada saat bersamaan dengan matinya anjing itu, penguasa Pejeng ( Dalem Pamayun Putra VI) tiba pula di Bale Paseban dan kebetulan pula secara tak sengaja Beliau Penguasa Pejeng sempat melihat kejadian aneh itu.
Melihat pristiwa matinya anjing tersebut ,Penguasa Pejeng ( I Dewa Agung Pamayun Guliang) baru tahu bahwa tongkat ( tateken ) yang selalu dibawa oleh I Dewa Kompyang Besar ternyata pusaka yang membuat pasukan Tampaksiring berantakan kacau belau. Dengan demikian penguasa Pejeng makin yakin dan percaya akan ke ampuhan wasiat kesaktian tongkat pusaka milik Putra Kabetan yang luar biasa . Jadi bertambahlah kecurigaan Dalem Penguasa Pejeng terhadap Putra Kabetan yang membuat Dalem Pamayun Pejeng s a n g a t yakin dan percaya akan laporan isu – isu bahwa , Tarukan ( I Dewa Kompyang Besar ) akan berbalik guna merebut kekuasaan Puri Soma Negara Pejeng, apalagi ternyata rakyat makin simpati serta menghormati keberadaan Putra Kabetan , teruma rakyat Tarukan , Melayang , Umahanyar dan Sembuwuk .
Sementara Putra Kabetan melihat Dalem Pamayun junjungannya sudah tiba, secara reflek Putra Kabetan bersikap hormat dengan sedikit membungkukkan badan, serta kedua telapak tangan tercakup di dekat dada,sebagaimana layaknya seorang abdi terhadap junjungannya. Disambut pula oleh Penguasa Pejeng dengan sikap tangan yang sama sambil tersenyum ramah dan menganggukkan kepala.
Setelah sama – sama duduk dengan baik, lalu percakapan dimulai oleh Penguasa Pejeng .Pembicaraan ber awal dari tentang situasi ke amanan dan kecintaan rakyat terhadap kekuasaan Soma Negara Pejeng yang ada di bawah wawenang I Dewa Kompyang Besar . Namun pada akhirnya pembicaraan mengarah berujung pada “ Ki Pole Geni “. Hal mana Dalem Pamayun Penguasa Pejeng,minta agar Putra Kabetan sudi kiranya menyerahkan dengan iklas Ki Pole Geni guna disimpan di Puri Soma Negara, untuk disatu tempatkan dengan pusaka – pusaka milik Puri Pejeng dan sama – sama di kramatkan ( disungsung ),di Merajan Agung Puri Pejeng .
Mendengar permintaan tersebut , sejenak Putra Kabetan tertegun dan manundukan kepala karena kaget ( ka megmegan) lalu menjawab dengan sopan dan hormat . Dengan nada bicara agak kurang lancar,namun lembut dan halus, I Dewa Kompyang Besar mohon maaf yang se besar – besarnya berulang – ulang kali, menyatakan tidak dapat memenuhi permintaan Penguasa Pejeng dengan alas an bahwa ,Ki Pole Geni adalah jiwa premana Beliau Putra Kabetan yang tak mungkin diserahkan kepada siapapun juwa. Dan untuk membuktikan kesetiaannya kecuali menyerahkan “ Ki Pole Geni “apapun tugas yang dititahkan, I Dewa Kompyang Besar siap melakukan dengan sepenuh hati sesuai dengan segala kemampuan yang dimilikinya.
Dari jawaban Warih Dewa Kabetan itu,Dalem Pamayun Penguasa Pejeng tetap berusaha menunjukan raut muka yang berseri – seri ,seolah – olah dapat memahami dan menerima alas an tersebut,lalu menjawab dengan tenang dan sabar sambil tersenyum menunjukan dihatinya tak ada masalah atas penolakan Warih Kabetan,sabdanya:”Nah….buat ento,sara elah Ida….to…nak…duwen Ida. Dihati….yen dadi idih Gelah papineh Idewane…depang dini..linggihang pusakan I Dewane, dadi a besik ajak duwen Purine dini,duwaning pusaka duwen Idane, dahat luwih mautama…melahang dini sungsung di Puri” .Begitulah sabda Dalem Penguasa Pejeng , tetapi I Dewa Kompyang Besar tetap pada pendiriannya. Setelah percakapan usai maka putra Kabetanpun mohon diri lalu pulang ke Tarukan.
Dihari kemudian, belum berselang beberapa bulan berlalu, pada kala itu tahun 1838, I Dewa Kompyang Besar dipanggil lagi untuk menghadap ke Puri Soma Negara.Panggilan kali ini I Dewa Kompyang Besar ditugaskan ( diutus ) untuk menghantarkan surat ( sewala patra ) dari Dalem Pamayun penguasa Pejeng,kepada penguasa ( raja ) Klungkung, serta dengan pesan yang tegas dari Cok. Rai Pinatih( adik bungsu penguasa Pejeng ) agar Putra Kabetan secara langsung menyerahkan surat itu kepada alamat orang yang di tuju. Karena warih I Dewa Kabetan memang berjiwa besar dan jujur, taat lagi setia terhadap junjungannya, maka dengan senang hati surat tersebut diterima untuk dihantar ke Puri Klungkung.
Ke esokan harinya pagi – pagi buta I Dewa Kompyang Besar berangkat di iring oleh se orang pengabih dari warga Pameregan yang bernama I Made Putih ( lokasi rumah tinggalnya di sebelah barat Pura Panti Meregan ) guna mengantar surat Puri Pejeng ke Puri Smara Pura Klungkung.
Pada masa itu yang bertahta di kerajaan Klungkung adalah I Dewa Agung Putra , menggantikan ayahnya yang bernama; I Dewa Agung Sakti ( I Dewa Agung Smara bawa ).
Dalam masa kekuasaan I Dewa Agung Putra ( Putra ke II dari I Dewa Agung Sakti ),hanya Beliau merupakan simbul penguasa Klungkung, yang mana roda politik pemerintahan dijalankan atas “ PERWALIAN “ kekuasaan. Dan sebagai wali kekuasaan kerajaan Klungkung adalah I Dewa Agung Istri Bale Mas Kanya (perawan tua ),adik kandung dari I Dewa Agung Sakti ( almarhum ).
Disebut setibanya I Dewa Kompyang Besar bersama I Made Putih di Puri Smara Pura Klungkung, surat tersebut langsung diserahkan kepada I Dewa Agung Istri Bale Mas Kanya,dan surat itupun segera dibaca oleh I Dewa Agung Istri, serta kemudian setelah surat habis terbaca, tanpa basa – basi ( dialog ) Sang Ratu segera memanggil pengawal kerajaan dan setelah pengawal tiba, lalu para pengawal melucuti segala barang ( benda ) yang dibawa oleh Si Pembawa surat. Selanjutnya I Dewa Kompyang Besar digiring ( dikawal ) menuju pantai Kusamba, dan I Made Putih pun tetap setia “ ngiring Panembahannya “kemanapun dibawa,sebab dalam hati kecilnya ada niat sehidup – semati bersama JUNJUNGAN nya.
Pejalanan dengan naik kereta berkuda dari Klungkung ke arah timur , menyebrangi sungai Unda, tiba di daerah Sampalan terus ke arah timur sampai di wilayah Kusamba.Tiba di pantai Kusamba sudah siap sebuah sampan spesial yang menunggu , guna mengangkut Putra Kabetan ke Nusa Panida untuk menjalani masa hukuman dibuang ( di selong ).
Dengan jiwa kesatrya utama I Dewa Kompyang Besar menerima hukuman itu tanpa pembelaan diri apapun,walaupun Beliau merasa tidak pernah melakukan kejahatan ataupun penghianatan apapun terhadap penguasa / atas kekuasaan Puri Soma Negara.Sebelum naik ke sampan I Dewa Kompyang Besar, menyuruh I Made Putih kembali pulang ke Tarukan, ucapnya :” Nah !!..Deweke kema suba mulih malipetan ! Depang “ I cang “ padidi kema ke Nusa,..awak ngelah pianak liu….pianake runguang jumah !”
Tetapi I Made Putih tetap bersikeras mohon agar di izinkan ikut ngiring ke Nusa Panida .Namun Putra Kabetan melarangnya dan berkata agak keras;” Mulih cai!!...eda milu bareng ke Nusa…..atur unungin sameton I cange,buat I cang kaselong ke Nusa Panida…apang tusing ati – atina teken sametone jumah!!”
Setelah itu Putra Kabetan langsung naik ke jukung ( sampan) dikawal oleh dua orang pengawal kerajaan berlayar menuju Nusa Panida dan berlabuh (turun ) di pantai Mentigi Nusa Panida . Sedangkan I Made Putih kembali pulang ke Tarukan dengan rasa kecewa bercampur duka nestapa,mengenang nasib yang dialami Putra Kabetan.
MENETAP DI DUSUN D U N G K A P
Setibanya I Dewa Kompyang Besar di pantai Mentigi,terus dikawal berjalan kaki,melalui jalan setapak ke arah selatan dan jalan mendaki ke atas perbukitan sampai di daerah “JURANG PAHIT “lanjut mendaki melalui ( melewati) daerah “GLAGAH “menuju ke daerah “TULAD “. Dari Tulad melanjutkan perjalanan menuju daerah “ BINGIN “,terus melanjutkan perjalanan dan akhirnya tiba di daerah (dusun ) “ DUNGKAP” (lokasi Dsn. Dungkap agak ke bawah dari pura Pucak Mundi ).
Disanalah Beliau I Dewa Kompyang Besar menetap menjalani hukuman selama kurang – lebih 13 tahunan.Memang daerah Dungkap adalah tempat khusus untuk orang – orang yang menjalani hukuman buangan. Jadi penghuni yang berada di daerah Dungkap, semuanya ber asal dari orang – orang buangan.
Keadaan tanahnya kering bebatuan dan sulit mendapatkan air ( tak ada air ),hanya mengandalkan air hujan yang turun dari langit,bahkan hujanpun jarang turun di sana. Sehingga hanya menggunakan air hujan yang tersimpan pada “ bak penampungan” air hujan yang disebut “ CUBANG “. Air tersebut betul – betul digunakan dengan sangat irit se irit – irit mungkin.
Selama tinggal di Dungkap Warih Satrya Kabetan sangat dicintai dan dihormati orang – orang penduduk Dusun Dungkap, bahkan dianggap sebagi “ PACEK DALEM “ selaku pangulu junjungannya.
Disana I Dewa Kompyang Besar tinggal bersama seorang abdi (panyeroan ) dibawah umur , kurang – lebih berumur 10 tahunan,ber asal dari Dusun Bingin . Panyeroan (abdi ) gadis kecil itu sangat rajin dan sangat taat serta setia dalam melayani segala kepentingan hidup se hari – hari bagi Beliau I Dewa Kompyang Besar selama bermukim di wilayah Dungkap,dan dibantu oleh semua penduduk dalam usaha memenuhi sandang – pangan maupun air mandi dan minum .Beliau memimpin penduduk untuk bekerja sama secara gotong – royong kala mengerjakan lahan pertanian yang gersang dan tandus berbatu karang. Berkat pola tanam yang mengikuti sistim “ padewasan “ atau berdasarkan “ tika / wariga “ yang dikembangkan oleh putra Satrya Kabetan,hingga hasil cocok – tanampun lebih baik dari sebelumnya,bahkan boleh dikatakan lipat ganda.Begitu pula dalam peternakan unggas maupun yang lainnya meningkat,dalam arti angka kematian ternak sangat sedikit, hampir tidak ada , berkat tatacara memelihara ternak dari Beliau Putra Kabetan . Dari sebab itulah kebutuhan sandang pangan penduduk dapat terpenuhi /berkecukupan,dengan kata lain musim paceklik tidak pernah datang lagi . Adapun makanan pokok /utama di daerah itu adalah jagung tektek ( jagung yang ditumbuk mirip seperti beras ) ,dicampur “ cacah sela sawi”( umbi ketela pohon yang di iris kecil – kecil lalu dikeringkan).Tentang hidangan special ,namun irit bahannya, yaitu “ LEDOK “ yalah tektek jagung yang direbus dicampur cacah ,kacang – kacangan seperti biji kacang panjang,kara,undis,buncis dan kacang lainnya ,ditambah pula daun sayur – sayuran seperti daun singkong ,daun kacang, pucuk bunut dan daun – daunan yang lain, yang bisa dimakan ternak sapi,serta dibubuhi bumbu, dan kadang kala ditambah daging ayam. Semua itu dimasak diaduk jadi satu ,layaknya seprti “ bubuh ma basa “ atau bubur ayam bila ditambah daging ayam.Kebutuhan minum hangat dipagi hari yalah minum serbuk kopi dari biji jagung.
I DEWA KOMPYANG BESAR WAFAT DI DUNGKAP NUSA PANIDA
( sekitar tahun 1851 )
Setelah penguasa di kerajaan Klungkung mengalami banyak pergantian penguasa,yangmana I Dewa Agung Istri Bale Mas Kanya,yang menjatuhkan hukuman terhadap I Dewa Kompyang Besar,sudah diganti oleh I Dewa Agung Ketut Agung berkuasa dari tahun 1840 - 1850,yang selanjutnya diganti oleh I Dewa Agung Gede dengan gelar “ I DEWA AGUNG PUTRA III “.
Pada masa berkuasanya I Dewa Agung Putra III ,maka sejak itu Warih Satrya Kabetan merasa hukumannya sudah habis waktunya,karena penguasa yang menjatuhkan hukuman telah tiada ( wafat ).Begitu pula penguasa di kerajaan Gianyar,sudah banyak mengalami pergantian,hal mana disaat Putra Kabetan dibuang ke Nusa Panida,penguasa Gianyar saat itu adalah I Dewa Manggis Jorog ( raja Gianyar II,atau I Dewa Manggis V ), yang berkuasa dari tahun 1814 - 1839,sudah digantikan oleh putranya, yang bernama I Dewa Manggis Rangki ( raja Gianyar III,atau I Dewa Manggis VI ),berkuasa dari 1839 - 1848. Selanjutnya raja Gianyar III diganti oleh putranya yang bernama I Dewa Gede Putra ( raja Gianyar IV , atau I Dewa Manggis VII ),berkuasa dari tahun 1848 - 1882,dan beliau setelah wafat disebut “ DEWA AGUNG MANTUK DI SATRYA “,karena wafatnya saat dalam tahanan di Satrya Klungkung pada tahun 1882.
Jadi Klungkung maupun Gianyar telah banyak mengalami pergantian penguasa.Sedangkan penguasa Pejeng yang bernama I Dewa Agung Pamayun Sudha ( Cok .Agung Pamayun Sudha ) sudah sebagai penguasa “boneka “ dari Gianyar, dengan kata lain, Pejeng sudah tunduk dibawah pengaruh kekuasaan Gianyar.
Dari pertimbangan itulah I Dewa Kompyang Besar berniat kembali pulang ke Tarukan Pejeng. Lalu niatnya itu disampaikan di depan rapat umum masyarakat Dungkap,bahwa Putra Kabetan hendak kembali pulang ke Bali ( Tarukan ). Tetapi masyarakat Dungkap serempak memohon agar I Dewa Kompyang Besar membatalkan niatnya untuk kembali pulang ke Bali. Begitulah masyarakat Dungkap silih berganti memohon sambil memeluk kaki Putra Kabetan, ucapnya :” jangan tinggalakan kami …wantah I Ratu sebagai “PACEK DALEM” di wilayah Perbekel Batu Kandik, utamanya di Dusun Dungkap. Jangan biarkan kami “bagai anak ayam kehilangan induk “. Begitulah kecintaan rakyat Dungkap terhadap I Dewa Kompyang Besar ,namun dengan rasa sedih dan duka ,Beliau Putra Kabetan lalu berkata dengan bicara tersedat – sendat seraya meneteskan air mata karena terharu :” Kola….sangat terpaksa meninggalkan Siga …karena dulu waktu Kola kesini,belum sempat pamitan dengan sanak keluarga maupun mohon pamit di Hyang Guru Marajan dan di Pura Kahyangan Tiga. Belakang hari bila ada waktu, Kola….akan kembali ke sini berkumpul lagi bersama Siga…sekalian. Memang permohonan pamit Kola..dulu,hanya dengan komat – kamit dari atas jukung.Begitulah alas an I Dewa Kompyang Besar menyatakan ,tetap harus kembali pulang ke Bali.
Karena niat Putra Kabetan tetap kukuh,sehingga rakyat Dungkap tiada berani menghalanginya.Setelah ditentukan hari yang tepat (baik) untuk keberangkatan kembali pulang bagi I Dewa Kompyang Besar,maka pada malam terakhirnya diadakan “PESTA PERPISAHAN “ besar – besaran dan sangat meriah semalam suntuk ,lengkap tari – tarian untuk menghibur dan penghormatan yang terakhir kalinya bagi Rakyat Dungkap / Batu Kandik terhadap I Dewa Kompyang Besar.
Ke esokan harinya tiba waktunya Putra Kabetan untuk berangkat kembali pulang,yang mana semua peralatan maupun segala perlengkapan bekal sandang – pangan milik I Dewa Kompyang Besar sudah pada siap dan rapi, namun sampai matahari menunjukan “ dauh telu “ (kira – kira pukul 11 siang ),Putra Kabetan belum juga bangun dari peraduannya.Tiba – tiba gadis pembantu (dayang ) Beliau dari Bingin ( saat itu gadis cilik “ dayang “ sudah menjadi “gadis Dewasa “,tapi masih tetap setia selaku “ pa nyeroan “) menjerit hesteris minta tolong, sehingga warga berdatangan dan langsung masuk ke peraduan Putra Kabetan ,ternyata Beliau sudah tak bernyawa. Akhirnya semua warga yang datang pada kaget,menyaksikan junjungannya telah kembali ke alam baka.Banyak masayarakat yang menangisi kepergian nya,karena Beliau wafat tanpa menderita sakit apa pun.
Kemudian “layonnya “ di upacarai ( prateka pabersihan ),sesudah itu lalu di usung ke tempat pemakaman yaitu di daerah pantai “SENTAL “. Di sanalah PEKAK KOMPYANG MANTUK DI NUSA dimakamkan , dan sejak itu Beliau bernama “ Pekak Kompyang Mantuk di Nusa,menurut panggilan para sameton Tarukan.
Setelah berselang “satu abad lebih “,tepatnya pada tahun 1956,barulah Pekak Kompyang Mantuk di Nusa di upacarai “palebon “ langsung upacara “ ngasti “ oleh keluarganya di Tarukan dengan sistim “ ngaben Sawa Prenawa “( nglanglang ) artinya; upacara tanpa melakukan “ ngagah” ke Nusa. Cukup dengan “ ngendagin / ngulapin “dari pempatan Agung/ Salwa Agung dusun Tarukan. Berikutnya pada tahun 1989,dilakukan upacara “ MAMENDAK “,secara langsung “ pedek tangkil “ ke Pura Dalem Peed Nusa Panida, oleh para sameton satrya Kabetan Tarukan.
Keberangkatan warga Tarukan dari Padangbai dengan naik “skoci/ but “ menuju pelabuhan pantai “ Buyuk “ Nusa Panida . Dari pantai Buyuk terus menuju Dalem Peed pakai mobil sewaan ( carter an ). Warga Tarukan nangkil/ makemit semalam di Pura Dalem Peed, selanjutnya ngiring kembali “ Dewa Hyang Pekak Kompyang Mantuk di Nusa “,dari pantai Buyuk naik skoci/ but yang dicarter kembali berlabuh di Padangbai,terus pakai kendaraan bermotor ( mobol angkutan) tiba di rumah ( puri) Tarukan,langsung malinggih di Marajan Puri Pusat katuran Piodalan dan Ngenteg Linggih. Pada malam hari itu, banyak hinggap kupu-kupu,besar,kecil,sedang dan bentuk serta jenisnya segala macam,lagi aneh-aneh pula rupanya bertengger memenuhi setiap pelinggih Marajan Pusat.
GIANYAR MENYERANG SOMA NEGARA PEJENG
( Tahun 1839 )
Setelah kekuatan “ tulang punggung” puri Soma Negara yang bernama I Dewa Kompyang Besar dibuang ke Nusa Panida ,maka penguasa Gianyar yaitu I Dewa Manggis Jorog ( raja Gianyar II) mengirim utusan ke Puri Soma Negara untuk melamar putri I Dewa Agung Pamayun Putra III ( I Dewa Agung Rai Pinatih / Cok. Rai Pinatih ),untuk dinikahkan dengan putra mahkota Gianyar yang bernama I Dewa Manggis Rangki . Namun lamaran tersebut ditolak oleh pihak Puri Soma Negara ( Cok .Rai Pinatih ).
Maka dari itulah pada tahun 1839 Pejeng ( Soma Negara) diserang oleh Gianyar dengan alas an ; bahwa Soma Negara telah mengadakan hubungan kerja sama dengan penguasa Taman Bali .Sedangkan Taman Bali dikala itu ,masih menahan dendam terhadap Gianyar , begitu pula sebaliknya Gianyar terhadap Taman Bali ,gara – gara penyerangan Taman Bali dibawah I Dewa Gede Raka terhadap penguasa wilayah Bangli dibawah kekuasaan seorang Ratu , bernama Ni Dewa Ayu Den Bancingah pada tahun 1798 ,hal mana yang membuat Ratu Bangli tersebut lari ke Gunung Kehen .Selain itu Gianyar maupun Taman Bali, sama – sama ingin memperkuat diri dengan memperluas kekuasaan .
Dari sebab itulah Puri Soma Negara dikepung oleh prajurit Gianyar dan berkecambuk perang dasyat di sekitar puri Soma Negara . Karena kekuatan yang tak seimbang, dimana dari pihak warga Soma Negara yang tinggal di luar tembok panyengker Puri Soma Negara tidak ada yang membantu , dalam arti warga Dalem Pamayun tidak bersatu atau pecah kedalam ,hingga akhirnya pihak Puri Soma Negara menyerah tanpa syarat.
Dengan demikian Puri Soma Negara dikuasai oleh Gianyar, serta Cok. Rai Pinatih bersama istri ,putra - putra dan cucunya dibuang ke Nusa Panida dan menetap tinggal di daerah Maos sampai akhirnya Beliau ( Cok . Rai Pinatih ) wafat di Nusa Panida serta dimakamkan di Maos sehingga oleh keluarganya Beliau dinamai “ Cokorda Mantuk di Nusa ‘’.
Setelah penguasa Soma Negara terbuang, lalu beberapa tahun kemudian kekuasaan wilayah Pejeng ,dipercayakan oleh Penguasa Gianyar kepada I Dewa Agung Pamayun Sudha ( Cok . Agung Pamayun Sudha keturunan ke VII dari raja Soma Negara I) untuk memegang kekuasaan di wilayah Pejeng. Namun kemudian pada tahun 1893, Cok Agung Sudha pun , diserang
oleh Cok Gede Sukawati dari Ubud bersama I Gusti Jelantik dari Belah batuh atas suruhan penguasa Wilayah Gianyar . Kemudian sekitar tahun 1898 semua keluarga Cok Rai Pinatih (almarhum)kembali pulang ke Pejeng Bali.Setibanya di Pejeng , ditemukan bekas Puri Soma Negara sudah dihuni oleh pihak keturunan I Dewa Agung Pamayun Sudha ( Cok. Agung Pamayun Sudha ) dari daerah Petak dan keturunan Cok . Anom Suci ( Anak Agung Anom Suci) dari Tati api. Sedangkan Penguasa Pejeng dikala itu yang bernama I Dewa Agung Rai Suci ( Cok Rai Panggul ) dari Puri Kajanan selaku “ MANCA “ ke Penguasa Wilayah Ubud dan Beliau tetap tinggal di Puri Agung Kraton Pejeng yang lokasinya di sebelah selatan Pura Manik Corong . Akhirnya karena belas kasihan Penguasa Pejeng ( Manca Ubud ) terhadap para warih Cok. Mantuk di Nusa , lalu mereka diberikan tempat tinggal “ NOMPLENG “ di tepi barat Puri Agung Pejeng yaitu hanya di areal “ SAREN KAUH “. Dan selanjutnya keturunan Cok . Mantuk di Nusa , dalam hubungan ke agamaan , masih tetap “ ma – siwa “ pada Bagawanta yang sejak dulu kala yaitu Griya Sanur ( Padanda Wayahan Bun ) .
DESAK KETUT GELILING BERSAMA PUTRA TUNGGAL
Kembali diceritrakan I Made Putih , kembali pulang ke Tarukan se orang diri dari pantai Kusamba dengan perasaan terharu campur sedih dan duka.
Setibanya di Tarukan , I Made Putih langsung masuk ke Puri Pusat dan menceritrakan dengan detil segala yang dialami bersama I Dewa Kompyang Besar ,mulai dari pembicaraan di Puri Soma Negara sampai ke Klungkung dan akhirnya sampai I Dewa Kompyang Besar naik jukung berlayar menuju Nusa Panida.
Dari berita yang disampaikan oleh I Made Putih , membuat Ni Desak Ketut Geliling sangat bersedih hati mengenang nasib yang menimpa suaminya. Dan hari – hari berikutnya Ni Desak Ketut Geliling lebih sering tinggal di rumah orang tuanya di Puri Rangki bersama putra tunggalnya yang masih bayi .
Berikutnya setelah I Dewa Made Jaksa Besar ( putra keponakan Ni Desak Ketut Geliling ) diangkat sebagai “ ANGLURAH” menggantikan ayahndanya oleh penguasa wilayah Ubud, yang mana dalam memegang jabatan “ anglurah “ nama Beliau dilengkapi dengan nama pungkusan “ BESAR “,maka mulai saat itu nama lengkapnya menjadi I Dewa Made Jaksa Besar.
Pada masa – masa itulah Ni Desak Ketut Geliling sering ikut ke Puri Ubud ngaturang ayah, tat kala di puri Ubud ada upacara yadnya, bahkan dalam upacara tertentu, misalnya upacara ‘”palebon’” atau upacara lainnya, sering Ni Desak Ketut Geliling tinggal ( menginap) menetap di Puri Ubud sampai upacara usai. Dari hal itulah Ni Desak Ketut Geliling,sempat memedu kasih dengan se orang tukang bade kapiandel Puri Ubud yang bernama I Dewa Putu Kantun ,yang rumah tinggalnya di “tempek” Muwa ,Br. Ubud Kelod, tepatnya paling ujung selatan (sebelah utara lapangan sepak bola )Ubud . Dan hubungan cinta kasih itu berlanjut sampai pada perkawinan ,dimana Ni Desak Geliling sebagai istri ke II ( selir),karena istri I dari I Dewa Putu Kantun berasal dari Sawa Gunung sudah menurunkan putra bernama I Dewa Putu Purna ( Pak Populeer).
Kendatipun demikian halnya,namun I Dewa Putu Kantun tidak berkeberatan , bahkan dengan senang hati menerima putra tunggal Ni Desak Ketut Geliling diajak tinggal bersama di Tempek Muwa Ubud. Selama tinggal di Muwa , putra tunggal Ni Desak Ketut Geliling yang bernama I Dewa Putu Tilem,sangat disayangi oleh ayah tirinya, sampai – sampai I Dewa Putu Tilem sangat betah tinggal di Ubud dan ayah tirinya sudah dianggap sebagai ayah kandungnya sendiri, begitu sebaliknya Sang ayah tiri menumpahkan kasih sayangnya kepada putra tirinya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.Itulah sebabnya I Dewa Putu Tilem sampai menginjak umur dewasa ( truna pekas ) tetap tinggal di Ubud , hingga berkali – kali dijemput oleh keluarganya ( paman – pamannya ) dari Tarukan ,agar kembali pulang ke Tarukan, namun akhirnya Beliau terpaksa mau mengikuti kehendak keluarganya atas saran (nasehat) ayah tirinya di Ubud.
Tersebutlah dari perkawinan I Dewa Putu Kantun dengan Ni Desak Ketut Geliling menurunkan se orang putri bernama Ni Desak Putu Limbur,yang selanjutnya setelah gadis dewasa kawin dengan I Dewa Putu Godeg dari Dusun Melayang ( Pejeng) ,yang lokasi rumah tinggalnya paling ujung selatan Dsn. Melayang ( sebelah selatan jalan raya di pengkolan menuju ke setra Melayang). Dan kemudian Beliau sebagai ibu kandung I Dewa Putu Dana (Melayang).
BERDIRINYA PURI KAWAN
Tersebutlah I Dewa Putu Tilem putra tunggal dari I Dewa Kompyang Besar ( Pekak Kompyang Mantuk di Nusa ) dari perkawinannya dengan Ni Desak Ketut Geliling yang sejak masih kanak – kanak sampai dewasa (jejaka) tinggal di Muwa Ubud Kelod.
Setelah dewasa I Dewa Putu Tilem berkali – kali dijemput oleh Sang Paman ( adik kandung Pekak Kompyang Mantuk di Nusa) ke tempek Muwa Ubud Kelod,akhirnya Beliau I Dewa Putu Tilem bersedia kembali pulang ke Tarukan Pejeng.
Sesudah menetap di Tarukan kemudian I Dewa Putu Tilem dikawinkan dengan Ni Desak Putu Keweh dari Dsn. Cagaan Pejeng Kangin,yalah kakak kandung dari I Dewa Made Kali yang “nyentanin” di Puri Sor Pura.
Berikutnya I Dewa Putu Tilem ditawarkan memilih tiga lokasi ( tegak rumah ) oleh paman – pamannya di Puri Pusat yaitu ; di seberang puri Semanggen ( dauh telabah ), tegak Puri Sor Pura , di belakang Pura Desa ( dangin bingin). Lalu diantara tiga lokasi tersebut yang dipilih adalah di seberang Puri Semanggen (di seberang jalan raya ,dauh telabah ) dengan alas an agar dekat dengan keluarga.
Mulailah pasangan I Dewa Putu Tilem dengan Ni Desak Putu Keweh mendirikan Puri di tempat yang telah di pilihnya dan selanjutnya purinya disebut PURI KAWAN ,serta pasangan Beliulah sebagai cikal – bakal Puri Kawan . Pasangan I Dewa Putu Tilem dengan Ni Desak Putu Keweh menurunkan tujuh putra – putri yaitu ;
1 . Ni Desak Made Rosi ,diduga lahir tahun 1916,yang kemudian kawin dengan I Dewa Made Toplo dari Puri Batan Bingin.
2 .Ni Desak Nyoman Teblun ( Resi ),diduga lahir tahun 1920,yang kemidian kawin dengan I Dewa Nyoman Ruken dari Puri Pondok.
3 .Ni Desak Ketut Ngook Kanya ( sakit mental ),diduga lahir tahun 1924.
4 . I Dewa Putu Togog ,diduga lahir tahun 1928.
5 . I Dewa Made Besar ,diduga lahir tahun 1933
6 . I Dewa Nyoman Suta ( Nik),diduga lahir tahun 1937 dan wafat tahun 1965 , selagi masih muda jejaka ( masalah dalam situasi politik ).
7 . I Dewa Ketut Asta ( Ceng ), diduga lahir tahun 1942.
Diceritrakan pewaris puri Kawan yang bernama I Dewa Putu Togog kawin dengan Ni Desak Nyoman Rebo dari Puri Dangin Telabah ( warga Dukuh Pejeng Kawan), menurunkan empat orang putra – putri bernama ;
I Dewa Putu Bawa Susila.
Ni Desak Made Sini,yang kemudian kawin dengan I Dewa Made Putra dari Puri Madya ( bencahan Puri Pondok).
I Dewa Nyoman Giri .
I Dewa Ketut Astara ( Dus ).
. Selanjutnya I Dewa Putu Bawa kawin debgan gadis Kupang (NTT) bernama Lussy menurunkan dua putra bernama ;
4.1.1. I Dewa Gede ……
4.1.2 . I Dewa Gede ……
Begitu pula I Dewa Nyoman Giri kawin dengan Ni Wayan Kicen dari Dsn. …….. Bangli menurunkan dua putri yaitu ;
4.3.1. Ni Dewa Ayu ……
4.3.2. Ni Dewa Ayu ……
Sedangkan I Dewa Ketut Astara kawin dengan Ni Desak Made Sari dari Dsn. Lebih Gianyar,menurunkan ….putra yalah;
………..
…………
Tersebut sentana Puri Kawan yang bernama I Dewa Made Besar kawin dengan Ni Desak Made Martini ( Kalam),menurunkan tiga putra – putri antara lain ;
Ni Dewa Ayu Putu Sunarti ( Timor),yang kemudian kawin dengan I Dewa Nyoman Ngurah Swastika dari Puri Duwur Pangkung.
I Dewa Gede Made Putra ( Meng).
I Dewa Gede Nyoman Sujana ( Guwer).
Selanjutnya I Dewa Gd. Made Putra kawin Ni Wayan Darsini dari Tabanan,menurunkan ….putra bernama ;
5.2.1. ……..
5.2.1..
Berikutnya I Dewa Gd, Nyoman Sujana kawin dengan Ni Desak …….. dari Banjar Sala Pejeng Kawan. Menurunkan ……putra bernama ;
5.3.1 ………
5.3.2 …………
Namun sentana Puri Kawan yang bernama I Dewa Ketut Asta ( Ceng) kawin dengan Ni Desak Putu Muter ( Tu Galuh ) dari Puri Kajanan,menurunkan tiga putra bernama;
7.1. Ni Dewa Ayu Putu …….. kawin dengan I ……… dari Br. …….. Gianyar.
7.2. I Dewa Gede Made …………
7.3. I Dewa Gede Nyoman …….
Kemudian I Dewa Gede Made …….. kawin dengan Ni ……. Dari Dsn. Sampalan – Klungkung, menurunkan …….putra bernama;
………..
………..
Begitu pula I Dewa Gede Nyoman ………( Mang Bangli) kawin dengan Ni Desak …….. dari Dsn. Katiklantang – Ubud, menurunkan …..putra bernama;
7.3,1. ……….
7.3.2. ………..
PEWARIS PURI PUSAT
Disebutkan selaku pewaris di Puri Pusat adalah I Dewa Ketut Gesiuh kawin dengan Ni Desak Putu Dawan dari Puri Batan Wani menurunkan enam putra – putri antara lain ;
I Dewa Made Oka Tokolan
I Dewa Nyoman Kipit,kawin dengan status (Nyentana),dengan Ni Desak Putu Cuklek dari banjar Bendul – Klungkung,menurunkan putri tunggal bernama Ni Desak Putu Oka Jantuk,yang kemudian kawin dengan Anak Agung ……. dari Dsn. Akah – Klungkung,tapi sayang tak menurunkan sentana (putung ).
Ni Desak Ketut Gedor kawin dengan I Dewa Putu Binder dari Puri Semanggen.
Ni Desak Putu Tamas,kawin dengan I Dewa Putu Balik dari Puri Tanggu ( Tempek Kelod – Tarukan ).
I Dewa Made Pokel.
Ni Desak Nyoman Ceper,kawin pertama dengan Cok. Buta dari Puri Tanggu - Ubud Kaja,namun belum menurunkan putra sudah berpisah dengan Cok. Buta karena (ngambul),pulang ke Tarukan.Lama kemudian lalu kawin (dimadu) oleh I Dewa Nyoman Mendir dari Puri Semanggen.
Selanjutnya diceritrakan pewaris puri Pusat yang bernama I Dewa Made Oka Tokolan kawin dengan Ni Desak Nyoman Basug dari Br. Puseh – Pejeng,menurunkan dua putra – putrid yaitu ;
1.1.I Dewa Putu Rukin, namun wafat dalam usia muda (truna bunga ).
1,2. Ni Desak Made Cuklek kawin dengan I Dewa Kompyang Gading dari puri Jungut ( Tempek Tengah – Tarukan )
Sedangkan putra pewaris yang bernama I Dewa Made Pokel kawin pertama dengan Ni Desak Putu Cuklik dari puri Kanginan,menurunkan dua putra yalah ;
5,1.I Dewa Putu Raka ( Pugeg)
5.2. I Dewa Made Asta (Pugig).
Kemudian I Dewa Made Pokel kawin kedua dengan Ni Made Rida dari Dsn. Serongga – Gianyar,menurunkan putri tunggal bernama ;
5.3 .Ni Desak Putu Suwati ( Kapri),kawin dengan I Dewa Nyoman Sena dari Puri Dukuh ( Tempek Kaja – Tarukan).
Berkutnya I Dewa Made Pokel kawin ketiga dengan Ni Made Narwi dari Dsn. Dungkap – Nusa Panida,menurunkan putri tunggal bernama;
Ni Desak Made Kerti ( Nusa),kawin dengan orang Ambon( agama Kristen).
Lalu kemudian I Dewa Made Pokel kawin ke empat dengan Ni Desak Putu Seleh dari Puri Rangki menurunkan putri tunggal bernama;
5.5 . Ni Desak Made Murni Kanya ( Niang Anom).
Diceritrakan kembali I Dewa Putu Raka Pugeg kawin dengan Ni Ketut Genjong( jro Tut Sekar) warga Ampeh Aji (Puaji) dari tempek Kelod bucu kelod kauh Br. Tarukan – Kelod,menurunkan lima putra – putri antara lain ;
5.1.1. I Dewa Putu Gede Mataram.
5.1,2. Ni Desak Made Wati kawin dengan I Dewa Ketut Samba dari Puri Batan Wani .
5.1.3. I Dewa Nyoman Tawan.
5.1.4. Ni Desak Ketut Mariani kawin dengan I Ketut Sukiana dari Dsn. Kayu Mas – Denpasar.
5.1.5. I Dewa Putu Oka Suwadi ( Cople ).
Selanjutnya I Dewa Gede Putu Mataram kawin dengan Ni Desak Ketut Suwarni ( Tut Geg) dari puri Semanggen menurunkan putra tunggal bernama;
5.1.1.1. I Dewa Gede Putu Indrayana kawin dengan Ni Dewa Ayu Nyoman Setiawati (Mang Cis) dari puri Batan Wani ((putri Ni Desak Made Wati ).
Begitu pula I Dewa Nyoman Tawan kawin dengan Ni Desak Nyoman Suweni ( Mang Ping ) dari Puri Abing menurunkan tiga putra – putrid bernama ;
5.1.3.1. Ni Dewa Ayu Putu Sri Intan Wandini.
5.1.3.2. I Dewa Gede Made Angga Pratama.
5.1.3.3 I Dewa Gede Nyoman Dwipa Pranata.
Namun kemudian I Dewa Putu Oka Suwadi kawin pertama dengan Ni Ketut Widhi Ari asih dari Dsn. Banyu Ning - Singaraja menurunkan putra tunggal bernama;
5.1.5.1. I Dewa Gede Putu Bayu Mahesa, namun masih kanak – kanak, keburu ditinggal cerai oleh Ibunya,sehingga kemudian Sang Ayah ( I Dewa Putu Oka Suwadi ) kawin kedua dengan Ni Desak Ketut Astiti ( Menor ) dari Puri Abing , menurunkan ……putra bernama;
5.1.5.2. ………
5.1.5.3. ……….
Diceritrakan kembali I Dewa Made Asta Pugig kawin dengan Raden Ayu Marya …..dari Jawa( tetap memeluk agama Kristen Katholik) menurunkan empat putra – putri bernama’;
5.2.1. I Dewa Putu Oka Saputra.
5.2.2. I Dewa Made Santosa.
5.2.3. Ni Dewa Ayu Ketut Wiwik Winarni kawin dengan Mas …….( orang Jawa).
5.2.4. Ni Dewa Ayu Putu Lilik Puspa kawin dengan I Dewa Nyoman Mudra dari Puri Batan Wani.
Adapun putra pertama yang bernama I Dewa Putu Oka Saputra kawin dengan Ni Gusti Ayu Sinar Mandini(Pudak)dari Br, Teges - Gianyar,menurunkan dua putra putri yaitu;
5.2.1.1. I Dewa Gede Putu Rama Putra (Sambru ).
5.2.1.2. Ni Dewa Ayu Made Intan Utari.
Begitu pula I Dewa Made Santosa kawin dengan gadis Kupang( Rote ) NTT,bernama EMIK ,menurunkan dua putra – putri bernama ;
5.2.2.1. I Dewa Gede Putu Ari.
5.2.2.2. Ni Dewa Ayu Made Ira,kawin dengan orang Irlandia.
Kemudian I Dewa Gede Putu Ari kawin dengan Ni ………….dari Dsn. Suwat,menurunkan putra bernama ;
5.2.2.1.1. ………
5.2.2.1.2. ……….
CIKAL - BAKAL PURI KAJANAN
Tersebutlah putra ke tiga dari pasangan I Dewa Gede Made Sedan Besar dengan Ni Desak Putu Luhin di Puri Pusat, yang bernama I Dewa Putu Raka kawin dengan Ni Desak Putu Celeng (warga Cagaan)dari Puri Tanggu ( Tempek Kelod – Tarukan),yang kemudian pindah dari Puri Pusat , menempati “ tegak Puri I Dewa Undisan”di sebelah utara Puri Pusat selat tembok panyengker Puri(ma pisaga) hal mana I Dewa Putu Undisan bersidia dan iklas digeser agak ke utara,yang kemudian Puri I Dewa Putu Undisan disebut PURI BATAN WANI.Sedang bekas tegak purinya yang ditempati oleh I Dewa Putu Raka bersama istrinya Ni Desak Putu Celeng disebut Puri KAJANAN dan pasangan Beliaulah sebagai cikal – bakal puri Kajanan yang menurunkan lima putra - putri yang selamat hidup bernama ;
Ni Desak Putu Munik kawin dengan I Dewa Putu Baruk asal dari Dsn. Dukuh Pejeng Kawan.
Ni Desak Made Munek kawin dengan I Dewa Putu Binder dari Puri Semanggen,namun bercerai sebelum menurunkan putra dan kembali pulang ke Puri Kajanan.
I Dewa Ketut De.
Ni Desak Putu Rai Belad,kawin pertama dengan I Dewa Made Kari dari Puri Batan Wani,namun cerai sebelum ada keturunan,lalu kemudian kawin lagi dengan I Dewa Putu Goyor dari puri Semanggen.
I Dewa Made Knator.
Selaku pewaris Puri Kajanan adalah I Dewa Ketut De kawin pertama dengan Ni Nyoman Sukani (warga Pasek Salahin/ Sale) menurunkan enam putra – putri yang selamat hidup yalah ;
3.1.Ni Desak Putu Kerti (Liyong) kawin pertama dengan I Dewa Nyoman Meja dari puri Batan Bingin.Dan pada tahun 1965 suaminya wafat karena masalah politik saat itu,lalu kemudian kawin kedua dengan I Dewa Putu Panta dari Dsn Katiklantang – Ubud, yang berdomisili di daerah Busungbiyu – Buleleng.
3.2. I Dewa Made Kirta Kabetan.
3.3. I Dewa Ketut Lara.
3.4. I Dewa Nyoman Anom.
3.5. Ni Desak Ketut Dari kawin dengan I Gede Made Arka warga Senggu (Bujangga Wisnawa) dari Sesetan - Badung/Denpasar.
3.6. I Dewa Putu Widnyana ( Penyu).
Berikutnya mana kala I Dewa Ketut Lara masih dalam kandungan ibunya (Jro Nyoman Sukani),pada masa itu I Dewa Ketut De kawin ke dua dengan janda kembang dari Dsn. Sawa Gunung bernama Ni Desak Made Leset, menurunkan putri tunggal bernama;
3.7. Ni Desak Putu Muter ( Galuh),yang kemudian kawin dengan I Dewa Ketut Asta ( Ceng) dari Puri Kawan.
Antara Ni Nyoman Sukani dengan Ni Desak Made Leset sering bertengkar sengit karena saling cemburu – mencemburui,sehingga akhirnya Ni Desak Made Leset mengalah dan kembali pulang ke Sawa Gunung.
Diceritrakan putra puri Kajanan yang bernama; I Dewa Made Kirta Kabetan kawin dengan Ni Desak Putu Suri dari Puri Lor,menurunkan dua putra – putri yaitu :
3.2.1. I Dewa Gede Parwata.
3.2.2. Ni Dewa Ayu Made Parwati kawin dengan I Dewa Putu Sumardika ( Pacul) dari Puri Batan Wani. Sementara itu I Dewa Gede Putu Parwata kawin dengan Ni ……… dari Gilimanuk ( Negara ) menurunkan dua putra bernama ;
3.2.1.1. I Dewa Gede ……( Gita ).
3.2.1.2.. I Dewa ………….
Sedangkan Putra puri Kajanan yang bernama I Dewa Ketut Lara kawin dengan Ni Desak Putu Wenten dari puri Batan Wani,menurunkan tiga putri yalah:
3.3.1. Ni Dewa Ayu Putu ……kawin dengan I Wayan ……dari Dsn. Kubu (Karangasem).
3.3.2. Ni Dewa Ayu Made …..( Dek Bit) kawin dengan I Dewa Gede Suarembawa ( Lolak) dari puri Rangki.
3.3.3, Ni Dewa Ayu Nyoman ……….
Begitu pula putra puri Kajanan yang bernama I Dewa Nyoman Anom kawin dengan Ni Desak Putu Siti ( janda kembang ) dari Dsn. Klusa (Payangan) menurunkan ….putra bernama:
3.4.1. I Dewa ……
3.4.2. I Dewa ……..
Namun putra puri Kajanan yang bungsu bernama I Dewa Putu Widnyana(Penyu) kawin Ni Dewa Ayu …..(warga I Dewa Manggis Kuning asal Pusat di Bitra Gianyar,keturunan I Dewa Kesiman) dan rumah lahirnya di Batubulan – Sukawati yaitu soroh kula gotra “ Dewa Ambregan,yang kemudian menurunkan …..putra antara lain :
3.5.1. I Dewa ………
3.5.2. I Dewa ……
TINGGAL DI KEMBANG MERTA - BULELENG
Tersebutlah putra bungsu dari pasangan I Dewa Putu Raka dengan Ni Desak Putu Celeng (cikal - bakal Puri Kajanan)yang bernama I Dewa Made Kantor kawin pertama dengan Ni Made Rati dari Dsn. Nyalian , Banjar Rangkan , Klungkung,namun tidak menurunkan putra ( bekung). Maka dari hal itu I Dewa Made Kantor kawin kedua dengan Ni Desak Nyoman …………( Biyang Nyoman Bangli ) dari daerah Taman Bali,namun juga tidak menurunkan putra (bekung).
Adapun I Dewa Made Kantor orang yang ulet dan semangat mencari kerja demi bekal hidup dimasa depannya.Walaupun Beliau sudah beristri dua ,tapi Beliau sering merantau sendirian mencari kerja / nafkah hidup di Negeri orang sebagai buruh “ angkut kayu balok “ maupun buruh bangunan dan lain – lainnya.
Ketika Beliau merantau di daerah Kembang Merta, Buleleng, I Dewa Made Kantor sempat memadu kasih dengan Ni Desak Made Sayang dari Dsn. Kembang Merta,sehingga berlangsung perkawinan nya yang ketiga kalinya.
Sementara itu Ni Made Rati,sakeng tak tahan dimadu dua orang,apalagi semenjak suaminya pergi merantau hingga sekali pulang , datang – datang membawa istri .Dari sebab itu Ni Made Rati kembali pulang ke orang tuanya di Nyalian. Namun Biyang Nyoman Bangli masih bertahan di Puri Kajanan walaupun suaminya hidup rukun dengan istri ketiganya di Kembang Merta,namun lama kelamaan akahirnya istri keduapun menyusul istri pertama kembali pulang ke rumah orang tuanya di Taman Bali,karena suaminya sama sekali tak pernah pulang ke Tarukan.
Selanjutnya I Dewa Made Kantor dengan istri yang ketiga menurunkan lima orang putri antara lain :
Ni Desak Putu Merti,yang kemudian kawin dengan I Dewa Gede Putra Dsn. Sembung.
Ni Desak Made Sri Widari kawin dengan ………… dari ……..
Ni Desak Nyoman Siti,kawin dengan I Wayan Widana dari Dsn. Pedungan - Badung.
Ni Desak Ketut Suwarsiki ( membujang/kanya).
Ni Desak Putu Sucita ( membujang / kanya ).
Diceritrakan I Dewa Made Kantor wafat semasih ke lima putrinya dalam masa anak – anak remaja,tapi Sang Ibu lima putri itu tidak mau pulang ke rumah suaminya (di Tarukan ),bahkan sampai wafatnyapun di Kembang Merta.
Setelah Sang Ibu wafat dan tiga orang dari putrinya telah kawin keluar, namun putri ke empat dan ke lima masih tetap tinggal di rumah Almarhum ibunya di Kembang Merta. Lalu kemudian pada tahun 2007 kedua kakak beradik tersebut kembali pulang ke Tarukan ( di Puri Kajanan) ,sudah barang tentunya meninggalkan Daerah dimana kedua orang tuanya di makamkan.
KISAH WAFATNYA NI DESAK MADE MUNEK
Disebutkan putri kedua dari pasangan I Dewa Putu Raka dengan Ni Desak Putu Celeng yang bernama Ni Desak Made Munek kawin dengan I Dewa Putu Binder dari Puri Semanggen, tapi belum menurunkan putra lebih dulu bercerai dan kembali pulang membujang ke Puri Kajanan berkumpul dengan keluarganya. Dikala itu putri pertama yang bernama Ni Desak Putu Munik telah kawin dengan I Dewa Putu Baruk pengembara dari Dsn. Dukuh – Pejeng Kawan . Karena tidak punya tempat tinggal tetap di Tarukan, maka dari itu mereka suami – istri diajak tinggal serumah di Puri Kajanan.
Penghidupan I Dewa Putu Baruk dikala itu hanya sebagai petani penggarap ( penyakap). Disamping itu juga menjual arak ( dagang arak) dan menjajakan minuman araknya sampai ke desa – desa luar Tarukan bahkan sampai ke Daerah Buleleng dengan berjalan kaki ( ngalu ). Dalam berjualan ( ngalu) selalu bersama ibu mertua dan adik ipar yang bernama Ni Desak Made Munek. Karena menempuh perjalanan jauh,hingga sering bermalam di Desa orang(menginap di rumah penduduk Desa). Jadi disaat – saat demikian banyak kesempatan untuk memadu kasih dengan Sang Adik ipar secara gelap dan rahasia. Dari hubungan gelap tersebut akhirnya Ni Desak Made Munek terlambat bulan( hamil/ ngidam). Prihal kehamilannya itu dapat diketahui oleh Ni Desak Putu Munik ( istri dari I Dewa Putu Baruk ),bahwa kehamilannya itu ,berkat hubungan gelapnya dengan I Dewa Putu Baruk. Kemudian dengan ramah – tamah tanpa mencurigakan Ni Desak Putu Munik berhasil membujuk adiknya yaitu Ni Desak Made Munek agar mau dibikinkan rujak kuwud ( kelapa muda). Lantaran rasa cemburu yang membara maka rujak kuwud tersebut diramu oleh Ni Desak Putu Munik, dimana rujak tersebut dicampur dengan beberapa tes- tes air keras ( air aqi) dengan maksud untuk menggugurkan kandungan adiknya. Adapun air aqi itu didapatkan oleh Ni Desak Putu Rai Belad adik kandung ke empat dari Ni Desak Putu Munik yang saat itu baru berusia delapan tahun, adalah dari hasil mencuri air aqi milik I Dewa Made Oka Tokolan di puri Pusat,atas suruhan kakaknya yakni Ni Desa Putu Munik. Di massa – massa itu I Dewa Made Oka Tokolan bekerja sebagai tukang cuci bokoran slaka yang banyak menggunakan air aqi.
Setelah rujak siap saji,lalu rujak ramuan tersebut diberikan kepada adiknya yang sedang hamil muda untuk diminum. Tanpa rasa curiga sedikitpun rujak itu diminum oleh Ni Desak Made Munek dengan lahapnya karena sedang ngidam. Sehabis minum rujak , mendadak sontak Ni Desak Made Munek sakit perut tak tertahankan hingga menghembuskan nafas terakhir bersama janin yang berada dalam kandungannya. Setelah menyaksikan saudaranya tak bernyawa lalu Ni Desak Putu Minik dan Ni Desak Putu Rai Belad sangat bersedih hati dan menyesal atas kepergian Ni Desak Made Munek (namun apa boleh buat “ nasi sudah jadi bubur”.
Kendatipun demikian musibah yang dialami di keluarga Puri Kajanan,namun pasangan I Dewa Putu Baruk dengan Ni Desak Putu Munik masih tetap diajak tinggal bersama di Puri Kajanan sampai menurunkan lima putra yang bernama :
1. Ni Desak Putu Kompyang yang selanjutnya kawin dengan I Dewa Nyoman Sonolan dari Puri Parwa sebagai istri pertama.
2. I Dewa Made Glibeg yang selanjutnya kawin dengan Ni Desak Putu Ngenes dari Puri Batan Wani.
3. I Dewa Ketut Mita yang selanjutnya kawin dengan Ni Desak Putu Raka Nyempeng dari Puri Bucu Br. Tempek Tengah Tarukan.
4, I Dewa Ketut Puja ( Tut Patokan ) yang selanjutnya kawin dengan Ni Nengah ….. dari Karangasem.
5. I Dewa Putu Karsa yang selanjutnya kawin kedua dengan Ni Made …… dari Mangwi.
Dan kelak dikemudian hari keluarga ini membangun puri ABING yang terletak di belakang Puri Bucu (abing milik Puri Bucu dibeli dan didirikan rumah keluarganya).
CIKAL BAKAL PURI PONDOK
Disebutkan kembali putra ke empat dari pasangan I Dewa Gede Made Sedan Besar dengan Ni Desak Putu Luhin di Puri Pusat yang bernama I Dewa Made Badoh kawin dengan Ni Dewa Ayu Ketut Gendor dari Puri Semanggen,menurunkan delapan putra – putri diantaranya:
Ni Desak Putu Renteb Kanya
Ni Desak Made Kelepon, kawin dengan I Dewa Putu Degeng asal dari Dsn. Dukuh – Pejeng,yang kemudian diberikan tegak Puri oleh pemilik Puri Pondok,berlokasi di sebelah timur Telabah,dan selanjutnya perumahannya disebut Puri Dangin Telabah serta pasangan tersebut sebagai cikal – bakal Puri Dangin Telabah.
I Dewa Nyoman Goyoh.
Ni Desak Ketut Longker kawin dengan I Dewa Putu Gudug dari puri Batan Wani.
Ni Desak Putu Ipin kawin dengan I Dewa Nyoman Gejer dari Br. Intaran – Pejeng yang lokasi purinya di batas selatan Pura Ibu / di sebelah selatan Pura Penataran Sasih - Pejeng.
I Dewa Made Karya
I Dewa Nyoman Ruken.
I Dewa Ketut Pater.
Berikut kemudian pasangan I Dewa Made Badoh dengan Ni Desak Ketut Gendor pindah tempat ke tanah tegalan di bagian atas Dsn. Tarukan (di sebelah utara “ Jengkuwung / mangkalan”) dan purinya disebut PURI PONDOK serta pasangan tersebut sebagai cikal – bakal Puri Pondok.
PEWARIS PURI PONDOK
Tersebut selaku pewaris Puri Pondok adalah I Dewa Nyoman Goyoh kawin dengan Ni Desak Nyoman Dapet dari Dsn. Melayang – Pejeng Kaja yang lokasi rumah lahirnya di sebelah selatan Pura Penataran - Melayang,menurunkan enam putra – putri bernama:
3.1. I Dewa Putu Mustika ( Lanus )
3.2. I Dewa Made Oka Kabetan.
3.3 . I Dewa Nyoman Subadi ( Sero ).
3.4. I Dewa Ketut Subroto ( Sere ).
3.5. Ni Desak Putu Tirta (Tu Melayang) kawin dengan I Gusti Ngurah …….. ( ketrunan I Gusti Agung Manginte, warga (soroh) I Gusti Agung Ler Pranawa) dari daerah Sibang - Badung.
3.6. I Dewa Made Kaderusman ( De Kader).
Diceritrakan putra tertua yaitu I Dewa Putu Mustika kawin dengan Ni Gusti Ayu Jegeg Winten dari Dsn. Tegal – Gianyar menurunkan dua putra – putri bernama :
3.1.1. Ni Dewa Ayu Putu Dewi Suryani kawin dengan Ida Bagus …..dari Dsn. Batuan - Sukawati.
3.2. I Dewa Gede Made Dewa Raditya kawin dengan Ni ………( Yeni ) dari …..menurunkan putra bernama :
3.1.2.1. I Dewa ……..
3.1.2.2. ……………
Berikutnya putra kedua yang bernama I Dewa Made Oka Kabetan kawin dengan Ni Gusti Made Remi ( adik kandung dari istri I Dewa Putu Mustika ) menurunkan putra – putri bernama :
3.2.1. I Dewa Gede Putu ……kawin dengan Ida Ayu …..dari Pacung – Bitra.
3.2.2. Ni Dewa Ayu Made Wulandari kawin dengan Ida Bagus …….. dari ………
3.2.3. Ni Dewa Ayu Nyoman ………..
Sedangkan putra ketiga yang bernama I Dewa Nyoman Subadi kawin dengan Ni Desak Putu Siti dari Puri Kanginan menurunkan tiga putra – putri bernama :
3.3.1. I Dewa Gede Putu Susila.
3.3.2. I Dewa Gede Made Indra Kusuma.
3.3.3. Ni Dewa Ayu Nyoman Sri Eka Marwati kawin dengan Mas …….dari Jawa ( Agama Islam ).
Kemudian I Dewa Gede Putu Susila kawin dengan Ni………….. dari Dsn. ………menurunkan putra bernama :
3.3.1.1. …………….
3.3.1.2 …………..
Sedangkan I Dewa Gede Made Indra Kusuma kawin dengan ……….dari Dsn……….menurunkan putra bernama:
3.3.2.1 ……….
3.3.2.2………
Tersebut putra ke empat pewaris puri Podok yang bernama I Dewa Ketut Subroto kawin pertama dengan sepupunya (misan) dari Dsn Melayang, yaitu Ni Desak Putu Sukerti menurunkan lima putra – putri bernama :
3.4.1. Ni Dewa Ayu Putu Ariani.
3.4.2. I Dewa Gede Made ………
3.4.3. Ni Dewa Ayu Nyoman ……
3.4.4. Ni Dewa Ayu Ketut …….
3.4.5. I Dewa Gede Putu Panca Yoga,yang mana masih dalam keadaan bayi (balita) ditinggal wafat oleh ibunya,lalu Sang Bayi diasuh sebagai anak kandung oleh I Dewa Nyoman Subadi.Setelah I Dewa Ketut Subroto menduda,kemudian kawin kedua dengan Ni Gusti Ayu Putu Resi dari Dsn, Tegal Tugu – Gianyar( masih hubungan satu darah keturunan dengan istri I Dewa Putu Mustika),menurunkan putra bernama :
3.4.6. I Dewa Gede Putu Angga.
Berikutnya putra bungsu puri Pondok yang bernama I Dewa Made Kaderusman kawin dengan Ni Gusti Putu Asih dari Br. Puseh – Pejeng menurunkan dua putra – putri bernama :
3.6.1. I Dewa Gede Putu Aditya kawin dengan Ni Desak ……….dari Dsn. Cagaan - Pejeng Kangin.
3.6.2. Ni Dewa Ayu Made Dewi .
CIKAL BAKAL PURI DUWUR PANGKUNG (BETENAN KANGIN ).
Disebutkan putra ke enam pasangan cikal bakal puri Pondok yang bernama I Dewa Made Karya kawin dengan Ni Desak Ketut Raka dari puri Rangki,dan kemudian pindah dari puri Pondok,mendirikan Puri di sebelah atas pangkung yang dalam lagi curam,hingga purinya disebut Puri DUWUR PANGKUNG (Puri Betenan Kangin ),serta sebagai cikal – bakal puri Duwur Pangkung,menurunkan enam putra – putri bernama :
Ni Desak Putu Rusni ( Nori ),kawin I Dewa Nyoman Alit dari Dsn. Beng – Gianyar soroh Dewa Sidemen ( satrya Taman Bali ).
Ni Desak Nyoman Yapen, meninggal usia muda.
I Dewa Ketut Oka Merta ( Tut Ding).
Ni Desak Putu Kasih kawin dengan sepupunya dari Br. Intaran – Pejeng yang bernama I Dewa Nyoman Oka (putra dari Ni Desak Putu Ipin ).
I Dewa Nyoman Ngurah Swastika ( Man Gur ).
Ni Desak Ketut Suprapti ( Tut Yeyut ), kawin dengan orang Ambon (Agama Kristen).
Selanjutnya selaku pewaris Puri Duwur Pangkung adalah I Dewa Ketut Oka Merta,kawin pertama dengan sepupunya dari Puri Rangki yang bernama Ni Desak Made Puri ( Cenong),dengan status” NYEBURIN / PEKIDIH)”. Adapun selisih umur yang sangat jauh berbeda denga Sang Istri,dimana Ni Desak Made Puri adalah merupakan kakak yang jauh lebih tua dari Ni Desak Putu Rusni( putra sulung Puri Duwur Pangkung),namun perkawinan pasangan tersebut didasari atas cinta sama cinta atau mungkin cinta apa. Belum sempat menurunkan putra,namun tanpa alas an yang jelas, I Dewa Ketut Oka Merta kembali pulang ke Puri Duwur Pungkung , yang bahasa lumrahnya “ MAMENTER “ artinya : Cerai bukan,….rujukpun tidak (tak jelas statusnya).
Setelah cukup lama “mamenter “(tingal kembali di puri Duwur Pangkung),lalu kemudian I Dewa Ketut Oka Merta kawin kedua dengan Ni Desak Nyoman Tirta ( Unyil) dari Puri Kanginan,menurunkan tiga putra bernama :
6.3.1, I Dewa Gede Made Tomi Karya Putra.
6.3.2. Ni Dewa Ayu Nyoman ……..
6.3.3. I Dewa Gede Ketut Ari……….
CIKAL BAKAL PURI ANCUT PANGKUNG
Tersebutlah putra kelima dari pasangan cikal – bakal Puri Duwur Pangkung yang bernama I Dewa Nyoman Ngurah Swastika kawin dengan Ni Dewa Ayu Putu Sunarti ( Timor), menurunkan tiga putra bernama ;
6.5.1. Ni Dewa Ayu Putu Evi Cahyani ( Epik), kawin dengan I Dewa Gede ……. Dari Dsn Tusan – Klungkung.
6.5.2. I Dewa Gede Made Surya Damanik
6.5.3. Ni Dewa Ayu Nyoman Gayatri.
Selanjutnya pada awal tahun 2001 pasangan tersebut pindah dari Puri Duwur Pangkung dan mendirikan puri baru di sebelah selatan Puri Duwur Pangkung selat tembok panyengker karang, yang disebut PURI ANCUT PANGKUNG serta pasangan Beliau berdualah sebagai cikal – bakal Puri Ancut Pangkung.
Kemudian pada tanggal 31 - 10 - 2001,purnama kapat , hari Buda – Kliwon – Pahang, dikala itu puja wali “ NYATUR” di Mrajan Agung Satrya Kabetan di Tarukan,hal mana pada saat itu pasangan I Dewa Nyoman Ngurah Swastika dengan Ni Dewa Ayu Putu Sunarti diupacarai “ MAWINTEN” sebagai pemangku yang ke enam di Mrajan Agung Tarukan menggantikan Ni Desak Made Oka janda dari pemangku yang ke lima yaitu I Dewa Nyoman Togog dari Puri Rangki.
BERDIRINYA PURI LOR
Disebutkan putra ke tujuh dari pasangan cikal – bakal Puri Pondok yang bernama I Dewa Nyoman Ruken kawin dengan Ni Desak Nyoman Teblun dari Puri Kawan menurunkan lima orang putra adalah :
7.1. Ni Desak Putu Suri kawin dengan I Dewa Made Kirta Kabetan dari puri Kajanan.
7.2. I Dewa Made Oka Sura.
7.3. Ni Desak Ketut Alit kawin dengan I Dewa Made Wirata ( Topi ) dari puri Batan Wani.
7.4. I Dewa Putu Dana Murja.
7.5. Ni Desak Made Rati kawin dengan orang Ambon ( Kristen ).
Selanjutnya I Dewa Made Oka Sura kawin dengan Ni Desak Putu Murni dari Dsn. Sawa Gunung ( adalah putri Ni Desak Made Leset / mantan istri kedua dari I Dewa Ketut De dari Puri Kajanan , yang telah kawin ketiga kalinya dengan keluarganya dari Sawa Gunung), kemudian menurunkan tiga orang putra bernama:
7.2.1. I Dewa Gede Putu Sutrisna.
7.2.2. Ni Dewa Ayu Made Setia Wati Utami kawin dengan I …….dari Dsn. Grokgak – Buleleng.
7.2.3. I Dewa Gede Nyoman Adi Putra.
Sedangkan I Dewa Putu Dana Murja kawin dengan Ni Gusti Ayu Widastri dari Desa Sidemen – Karangasem, menurunkan dua putra bernama :
7.4.1. I Dewa Gede Putu ……….
7.4.2. I Dewa Gede Made ………..
Lalu dikemudian harinya pada tahun 1996 mereka berdua ( I Dewa Made Oka Sura dengan I Dewa Putu Dana Murja )mendirikan puri di paling ujung utara batas tegal pekarangan milik Puri Pondok,yang dinamai PURI LOR. Berselang dua tahun kemudian yakni tahun 1998, I Dewa Putu Dana Murja wafat dan meninggalkan dua orang putra yang masih kanak – kanak bersama ibunya ( Ni Gusti Ayu Widastri ) , yang tetap setia mengasuh putra - putranya hingga mencapai usia dewasa di Puri Lor.
CIKAL BAKAL PURI MADYA
Tersebutlah putra bungsu dari pasangan cikal – bakal Puri Pondok yang bernama I Dewa Ketut Pater kawin dengan Ni Desak Made Gembrong dari Puri Semanggen dan menurunkan enam putra bernama :
Ni Desak Putu Murni ( Cenik) kawin dengan I Wayan Kajeng ( warga Pasek Salahin ) dari Br. Tarukan Tengah .
I Dewa Nyoman Putra ( Bendi).
Ni Desak Ketut Alit ( Saplug), kawin dengan I Dewa Ketut Grejag dari Br. Intaran – Pejeng ( putra dari Ni Desak Putu I pin). Jadi masih sepupu.
I Dewa Putu Arsawan ( Lemes ).
I Dewa Made Putra ( De Luk ).
I Dewa Nyoman Ukir
Selanjutnya pasangan I Dewa Ketut Pater dengan Ni Desak Made Gembrong berpindah tempat dari Puri Pondok, dan mendirikan puri di antara Puri Pondok dengan Puri Lor, serta purinya disebut PURI MADYA. Jadi pasangan tersebut sebagai cikal – bakal Puri Madya.
Lama dikemudian harinya,lalu I Dewa Nyoman Putra Bendi kawin dengan “ Wiwin “dari daerah Jogja ( Jawa ),menurunkan dua putra bernama :
8.2.1. I Dewa Gede Putu Yaas
8.2.2. I Dewa Gede Made Yayak.
Namun pada tahun 1977 I Dewa Nyoman Pura Bendi wafat,dimana istri dan kedua putranya lanjut merantau di Kalimantan Tengah.
Kemudian putra ke empat Puri Madya yang bernama I Dewa Putu Arsawan kawin dengan gadis Banyuwangi ( Jatim),bernama “ E t i k “ dan menurunkan lima putra yakni
8.4.1 Ni Dewa Ayu Putu …………kawin dengan I Wayan Suma dari Munduk Temu – Tabanan.
8.4.2 Ni Dewa Ayu Made ……….kawin dengan …………..dari Negeri Belanda.
8.4.3. Ni Dewa Ayu Nyoman …………
8.4.4. I Dewa Gede ………
8.4.5. I Dewa Gede ………
Namun putra ke lima Puri Madya yang bernama I Dewa Made Putra kawin dengan Ni Desak Made Sarini ( De Sini ) dari puri Kawan,menurunkan dua putra yitu:
8.5.1. I Dewa Gede Putu Yuda Artana( Uda ).
8.5.2, I Dewa Gede Made Joni Parnata.
Sedangkan putra ke enam yang bernama I Dewa Nyoman Ukir kawin dengan Ni Desak Ketut Gestori dari Puri Jungut( putri Ni Desak Made Cuklek ),kemudian menurunkan tiga purta bernama :
I Dewa Gede Putu ……….( Jedat).
Ni Dewa Ayu Made ……….. ( Ayuk).
I Dewa Gede Nyoman ………( Okik).
CIKAL BAKAL PURI RANGKI
Kembali diceritrakan putra ke tiga dari pasangan I Dewa Gede Tukrukan Besar dengan Ni Desak Ketut Nyentok yang bernama I Dewa Gede Nyoman Gemuh kawin denga Ni Desak Nyoman Kawi dari Dsn. Cagaan yang kemudian menempati Puri Rangki sebagai cikal – bakal Puri Rangki. Pasangan cikal – bakal Puri ini cukup lama tidak menurunkan putra, namun berkat ketekunannya bersemedi “ nunas sentana “ di Pura Ukur – ukuran ( Sawa Gunung) akhirnya Sang Istri hamil dan menurunkan enam putra bernama :
I Dewa Putu Tunas Besar diduga lahir tahun 1840.
I Dewa Made Gambir ,namun Beliau wafat dalam usia muda.
Ni Desak Nyoman Anom kawin dengan Anak Agung Gede Raka dari Br. Pande – Pejeng,kemudian putranya dinamai Anak Agung Gede Rai yang selanjutnya juga ngambil istri dari Tarukan yakni dari Puri Dukuh Tarukan.
Ni Desak Ketut Geliling kawin dengan I Dewa Kompyang Besar dari Puri Pusat sebagai istri ke tiga.
Ni Desak Nyoman Rati wafat usia muda.
Ni Desak Made Rakti kawin dengan Cok. Alit Sunteg dari Puri Madangan. Menurut Cok. Putra ( Puri Petak ), Ni Desak Made Rakti, di sana ( Petak / Madangan ) dipanggil Desak Rai Besar atau Desak Rai Tarukan .
Diceritrakan setelah I Dewa Kompyang Besar dibuang ke Nusa Panida,lalu kemudian I Dewa Putu Tunas Besar ( Puri Rangki ) diangkat sebagi patih pengabih di Puri Agung – Pejeng yang saat itu berkuasa I Dewa Agung Pamayun Sudha ( Cok. Agung Sudha ) yang diserahi untuk melanjutkan kekuasaan Puri Soma Negara oleh penguasa Gianyar setelah cukup lama diduduki Gianyar.
PERANG PEJENG MELAWAN UBUD
Tahun 1893
Berawal dari kekosongan penguasa ( vakum) di Tampaksiring, dan dengan diangkatnya I Gusti Kebon ( tosning Arya Kebon Tubuh ) sebagai penguasa , mengisi kekosongan di Tampaksiring, oleh I Dewa Agung Malinggih ( Cok. Agung Malinggih) penguasa wilayah Payangan, yang mengakibatkan rasa tersinggung dipihak penguasa Pejeng ,sehingga meletuslah perang Pejeng melawan Tampaksiring pada tahun 1836. Laskar Pejeng dipimpin oleh I Dewa Kompyang Besar dari Dsn. Tarukan dan laskar Tampaksiring dipimpin oleh I Gede Dangin tabeng wijang I Gusti Kebon. Terjadilah pertempuran di Daerah Bukit / Kulub dengan kejayaan ada dipihak Pejeng .
Setelah perang Pejeng melawan Tampaksiring , dengan menghilangnya I Gusti Kebon ( nyineb wangsa) lalu kemudian penguasa Payangan segera mengangkat I Dewa Agung Rai Tunjung ( Cok. Rai Tunjung ) dari puri Kelodan Payangan untuk berkuasa di Tamapaksiring, menggantikan I Gusti Kebon.
Sesudah itu pada tanggal 25 April 1837 diadakan perjanjian antara Gianyar , Klungkung, Taman Bali / Bangli , dan Payangan, mengingat seringnya terjadi perselisihan karena niat /nafsu memperluas kekuasaan dan tahta seperti contoh – contoh di masa lalu, antara lain ;
Perang Taman Bali melawan Bangli tahun 1978 yang mengakibatkan Ni Dewa Ayu Den Bancingah ( penguasa Bangli ) mengungsi ( bersembinyi ) di Gunung Kehen, pada hal penguasa kedua wilayah tersebut masih dalam hubungan ipar ( istri dari adik kandung penguasa Taman Bali ).
Penyerangan ulang I Dewa Gede Raka ( Taman Bali )ke Gunung Kehen ( Ni Dewa Ayu Den Bancingah bersama I Dewa Gede Tangkeban ) yang mengakibatkan gugurnya Cok. Agung Mas dari Dsn Mas Ubud di daerah Sidan. Dengan gugurnya Cok. Agung Mas ( senopati dulang mangap Gianyar ) maka raja Gianyar I ( I Dewa Manggis Api ) meninggal puri Taman Bali, kembali ke Gianyar,karena mewaspadai Ni Dewa Ayu Den Bancingah dan I Dewa Gede Tangkeban melanjutkan penyerangannya ke Gianyar. Hal ini membuat penguasa Taman Bali merasa ditipu oleh Gianyar.
3 Penyergapan I Dewa Gede Raka( Taman Bali ) terhadap I Dewa Agung Putra Kusamba ( putra Raja Klungkung ) disaat dalam perjalanan untuk berkunjung ke Gianyar,yang mengakibatk an gugurnya I Dewa Agung Putra Kusamba di Belah Pane.
4 Perang Klungkung melawan Taman Bali tahun 1809 . Karena I Dewa Agung Sakti ( I Dewa Agung Smarabawa ) menuntut balas atas wafatnya Putranya di Belah Pane,dimana Klungkung dibantu oleh Ni Dewa Ayu Den Bancingah dan I Dewa Gede Tangkeban ( Gunung Kehen ) yang sama – sama ingin menuntut balas kepada I Dewa Gede Raka Taman Bali. Juga Gianyar ukut membantu Klungkung,yang mengakibatkan I Dewa Gede Raka Taman Bali tewas ditangan Ni Dewa Ayu Den Bancingah di Puri Gaga ( di puri I Dewa Pindi).
Dari hal – hal demikianlah,perjanjian 1837 menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
Sama – sama sepakat dalam :
A .Menghindari terjadinya konflik antar keluarga penguasa dalam perebutan perbatasan maupun memperluas kekuasaan.
B . Menjaga perbatasan masing – masing dari pihak yang ikut dalam perjanjian.
Berdasarkan perjanjian tersebut ,lalu Payangan menempatkan petugas pengawasan perbatasan yang berasal dari orang – orang abdinya atau para “ manca” yang berlokasi di daerah sebelah selatan Dsn. Bukit / Kulub – Tampaksiring. Berikutnya menyusul Klungkung , Bangli , dan Gianyar menugaskan abdi dari manca Sukawati dan Ubud juga ikut menempati lokasi tersebut. Jadi di satu daerah tersebut ada lima kelompok abdi dari manca penguasa yang berbeda. Maka dari itu daerah tersebut dinamai Dusun MANCA WARNA , karena dimukimi oleh para “ manca” dari lima penguasa yang berbrda.
Kemudian perjanjian tahun 1837 menjadi makin kurang dipercaya dengan munculnya perang yang dikenal dengan perang UWUG PAYANGAN pada tahun 1843. Dimana puri Payangan dibakar angus oleh lascar Buleleng yang dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik patih utama kerajaan Buleleng dibawah kekuasaan raja I Gusti Made Karangasem ,atas suruhan raja Klungkung yang bernama I Dewa Agung Ketut Agung ( Cok . Gelgel ) pengganti Ni Dewa Agung Istri Bale Mas Kanya.
Pada saat perang uwug Payangan itu, yang berkuasa di Payangan adalah I Dewa Agung Oka ( Cok . Oka ), dibantu oleh adiknya yang bernama I Dewa Agung Rai ( Cok . Rai ) yang kedua – duanya putra kandung dari I Dewa Agung Malinggih ( Cok . Malinggih ).
Adapun alas an perang uwug Payangan yakni ;lamaran putra mahkota Klungkung yaitu I Dewa Agung Putra ( putra kandung Cok . Gelgel ) ditolak oleh penguasa Payangan,malahan Payangan menikikahkan putrinya dengan putra mahkota Taman Bali / Bangli. Dengan runtuhnya Payangan , maka sejak tahun 1843 Payangan berada dibawah kekuasaan Klungkung dan penguasa Klungkung mengangkat I Dewa Agung Ancak ( Cok . Ancak ) selaku penguasa di Payangan sebagai “ manca “ penguasa Klungkung. Selanjutnya di bawah Cok . Ancak ,Payangan menjadi daerah perebutan perluasan kekuasaan silih berganti antara Gianyar dengan Mengwi.
Dengan situasi yang demikian , raja Gianyar dibawah I Dewa Gede Putra pengganti I Dewa Manggis Rangki ( raja Gianyar III ) mengangkat I Dewa Agung Putra ( Cok . Putra ) yakni putra kandung I Dewa Agung Rai ( Cok . Rai ) atau cucu dari Cok . Malinggih, untuk berkuasa di Tampaksiring pada tahun 1854 , menggantikan Cok . Tunjung.
Untuk mengawasi Pejeng dengan Tampaksiring , lalu Gianyar ( I Dewa Gede Putra ) menempatkan keluarganya di perbatasan Tampaksiring dengan Pejeng,antara lain :
A . Dari keluarga yang menetap Abianbase ( keturunan I Dewa Ketut Pinatih ).
B . Dari keluarga yang menetap di Seronggo ( keturunan I Dewa Made Pinatih ).
C . Dari keluarga yang menetap di Bitra ( keturunan I Dewa Kesiman ) yakni warga Dewa Kedaton.
D. Dari warga patih utama puri Gianyar ( dari Gianyar ),keturunan I Made Pasek Cedok,yang ditugasi mendeteksi kontak hubungan Taman Bali / Bangli dengan Pejeng maupun Tampaksiring. Sejak itulah daerah yang menjadi pemukiman keluarga I Dewa Manggis itu disebut Desa SANDING.
Selanjutnya pada tahun 1862 Cok . Tunjung dibuang ke Nusa Panida oleh Gianyar dengan alas an bahwa Cok Tunjung merencanakan pembrontakan untuk menumbangkan kekuasaan Cok .Putra dengan minta bantuan ke Taman Bali / Bangli.
Begitu pula halnya dengan puri Agung Pejeng dibawah kekuasaan I Dewa Agung Pamayun Sudha ( Cok. Pamayun Sudha ) dengan tabeng wijang utama bernama I Dewa Putu Tunas Besar ( Puri Rangki - Tarukan ),juga mendapat tuduhan telah mengadakan kontak hubungan kerja sama dengan Taman Bali / Bangli.Maka dari itu Gianyar dibawah I Dewa Ngurah Pahang (putra pertama dari I Dewa Gede Putra ( Dewa Agung Mantuk di Satrya) menyuruh panglima perangnya yakni Cok. Gede Sukawati ( puri Ubud ) dibantu oleh manca Belahbatuh untuk menyerang Pejeng.
Berikutnya pada tahun 1893 Pejeng diserang dari dua penjuru arah yaitu :
Dari arah selatan penyerangan dilakukan oleh lakcar Belahbatuh dipimpin oleh I Gusti Ngurah Jelantik.
Dari arah barat penyerangan dilakukan oleh lakcar Ubud dipimpin oleh Cok . Gede Sukawati dengan membawa pusaka Ki Baru Mussen ( Ki Baru Gunung Lebah ).
Di arah tenggara ( di tepi sungai Pekerisan ) siap siaga bala wadwa ( antek – antek ) penguasa Bitra. Tidak diceritrakan serunya pertempuran, akhirnya Pejeng terdesak.
Dengan situasi yang demikian,penguasa Pejeng ( Cok. Pamayun Sudha ) berniat perang puputan menghadapi musuh. Namun berkat saran Bagawanta Pedanda Wayahan Bun ( Brahmana Keniten ) bahwa ,bila penguasa Pejeng tetap bertahan menghadapi musuh yang jumlah bala wadwanya jauh lebih banyak, lagi pula kekuatan musuh jauh lebih besar dari bala wadwa Pejeng ,tak elak lagi penghuni puri Agung Pejeng akan jadi korban pembunuhan. Bertepatan dengan itu ( hampir terlambat ) datang utusan dari Taman Bali / Bangli membawa pesan, agar penguasa Pejeng meninggalkan Puri Agung Pejeng dan segera datang berlindung ke Bangli.
Maka dari hal demikian, sebelum laskar Ubud berhasil masuk ke jantung kota Pejeng, penguasa Pejeng ( Cok . Pamayun Sudha ) bersama seluruh keluarganya dengan membawa semua barang – barang dan pusaka – pusaka miliknya, dan di iring oleh panjak / abdi puri yang masih setia menuju daerah Bangli.
Perjalanan melalui Dsn . Panglan terus ke Sawa Gunung lalu menuruni /menyebrangi sungai Pekerisan sampai di daerah Siangan , menuju ke arah utara melewati Suwat, Kabetan, Papadan – Mantring dan sampai di Daerah Soonglandak belok ke timur lalu menuruni jurang akhirnya tiba wilayah Bangli . Disana tinggal sementara dibawah naungan penguasa Bangli.
Begitu pula halnya dengan pengabih utama Puri Agung Pejeng yang bernama I Dewa Putu Tunas Besar dari Tarukan ( puri Rangki ) ikut pula mengungsi ke Bangli mengikuti junjungannya,bersama semua istri dan putra –putranya . Dilain pihak keturunan I Dewa Gede Manikan ( Cok. Belusung ) mengungsi ke Benawah dan menetap di sana . Sedangkan keluarga Bagawanta Pedanda Wayahan Bun ,meninggalkan Griya Kaja Kawuh – Pejeng mengingsi ke Nyemban dan menetap di sana. Namun keluarga Anak Agung Gede Raka ada yang mengungsi ke Tohpati – Banjarangkan,serta keluarga Ngakan Gedong Arta ada yang mengungsi ke Pangosekan.
Kembali diceritrakan pengungsi di Bangli.Lebih kurang tiga bulan lamanya tinggal dibawah naungan Penguasa Bangli lalu diberikan tempat tinggal di daerah hutan dekat Pura Dalem Belingkang oleh penguasa Bangli. Atas se izin Penguasa Bangli ,lalu Cok. Pamayun Sudha penguasa Pejeng bersama rombongannya menuju tempat yang ditunjuk. Disaat keberangkatan itu Penguasa Pejeng mengizinkan para pengiringnya untuk kembali ke rumah masing – masing ( ke Pejeng ) bagi pengiring – pengiring yang sebagian keluarganya masih tertinggal di Pejeng . Disamping itu mengingat wilayah Pejeng sudah aman adanya. Maka dari itulah I Dewa Putu Tunas Besar bersama keluarganya kembali pulang ke Tarukan.
Sedangkan rombongan yang menuju ke sekitar Pura Dalem Belingkang ,setelah tiba disana segera menebas hutan dan mendirikan tempat pemukiman . Di kala itu keadaan Pura Dalem Belingkang sudah rusak berat,hanya tinggal berupa bebaturan yang dipenuhi tumbuhnya pepohonan ,layaknya seperti semak belukar. Dari keadaan Pura yang demikian maka atas keluhuran budi Penguasa Pejeng yang sangat perhatian dengan bangunan suci dari leluhur – leluhur kita di abad yang lalu, maka dibangun kembali Pura Dalem Belingkang hingga kebali megah seperti yang kita lihat sekarang . Setelah itu karena kesulitan hasil – hasil pangan ,maka penguasa Pejeng bersama rombongan dan atas se izin penguasa Bangli ,lalu berpindah tempat dan menetap di Petak.
Kembali diceritrakan tentang situasi di Puri Pejeng, dimana Cok . Gede Sukawati ( U bud ) tidak menduduki Puri Pejeng , namun kekuasaan diserahkan kepada adik bungsu Cok. Pamayun Sudha di Puri Kajanan Pejeng yang bernama Cok . Rai Suci ( Cok. Rai Panggul ),selaku “ a manca “ ke Puri Ubud. Dan kemudian Cok. Rai Panggul dinikahkan dengan putri dari puri Ubud. Selain itu, hubungan “ siwa pamuput yadnya “ dengan Bagawanta Padanda Wayah Bun di Griya Kaja Kawuh – Pejeng hendaknya diputuskan,kendatipun Griya tersebut telah dihuni oleh keluarga Pedanda Wayahan Bun yang berasal dari Sanur – Badung dan sekarang Griya tersebut dinamai Griya Sanur. Karena demikian adanya lalu Puri Ubud memberikan Bagawanta yang berasal dari Griya Tegalinggah – Belahbatuh yang kawitannya di Griya Gede Wayahan Buruan Manuaba bertempat di Dsn, Kutri – Belahbatuh. Selanjutnya Pedanda Gede Wayahan Buruan mendirikan Griya di sebelah timur laut ( kaja kanginan ) dari bekas Puri Soma Negara yang disebut Griya Gede – Pejeng . Adapun Griya Gede Pejeng masih satu darah keturunan dengan Griya Peling – Padangtegal – Ubud yakni Bagawanta Puri Ubud.
Lama kemudian warga I Dewa Manggis – Gianyar yang bermukin di daerah Sanding, memohon salah seorang putra Griya Gede – Pejeng untuk diupacarai “ Sulinggih “ dan dibuatkan Griya di Sanding berlokasi di sebelah utara simpang empat Sanding Gianyar. Dikemudian harinya tanpa alas an yang jelas , Griya Manuaba Sanding berpindah kembali ke Pejeng dan mendirikan Griya di sebelah selatan simpang empat Br. Puseh – Pejeng (di sebelah selatan Griya Sanur ) yang disebut Griya Sanding.
Sementara itu I Dewa Putu Tunas Besar diangkat selaku “ anglurah” yang mengabdi ke Puri Ubud. Untuk mendeteksi sepak – terjang Manca Pejeng dan Anglurah Tarukan , lalu penguasa Ubud menempatkan Cok. Bima bersama keluarganya dari Ubud dan Petulu serta beberapa orang abdi ( panjak Ubud dan Petulu),menetap di B elusung. Dilain pihak Puri Petek juga menempatkan orang – orangnya di Belusung untuk mendeteksi ( memata-matai) situasi suasana di Pejeng dalam rangka persiapan rencana Puri Petak untuk merebut kembali daerah Pejeng dari cengkraman penguasa Ubud .
Mendengar kabar tentang konflik Ubud dengan Mengwi ,maka kesempatan itu dimanfaatkan oleh penguasa Petak untuk memulai serangan dengan merebut beberapa wilayah Gianyar .Penyerangan dari Petak ke arah selatan ,namun baru sampai di Daerah Madangan ,lalu penyerangan dihentikan dengan pertimbangan , kiranya dibelakang Ubud dan Gianyar ada Belanda yang membekingi. Selain itu wilayah Kabetan telah ditempati oleh keluarga I Dewa Manggis. Maka dari itu akhirnya hanya Madangan tetap diduduki dengan menempatkan adik kandungnya Cok . Sudha tinggal di Madangan, yang bernama Cok .Alit Sunteg bersama istrinya Ni Desak Made Rakti dari Tarukan ( puri Rangki ) dan putra – putranya.
I GUSTI PUTU BONA dan I GUSTI MADE MALONG di TARUKAN
Dikisahkan mulai dari I Dewa Putu Tunas Besar sekeluarga melarikan diri ke wilayah Bangli,mengikuti pelarian junjungannya ( I Dewa Agung Pamayun Sudha) penguasa Pejeng.
Setalah mendapat izin dari Cok. Agung Pamayun Sudha maka I Dewa Putu Tunas Besar sekelurga kembali pulang ke Tarukan. Dimana kala itu untuk memegang kekuasaan di Pejeng diangkatlah Cok. Rai Panggul dari Puri Kajanan Pejeng selaku ‘ MANCA” terhadap Penguasa Ubud, artinya Pejeng tidak di duduki oleh Ubud. Tetapi kekayaan Puri Pejeng berupa sawah dan ladang dimiliki (dirampas) oleh penguasa Ubud dan Belahbatuh usai penyerangannya tahun 1893.
Dengan demikian I Gusti Jelantik penguasa Belahbatuh,mengangkat keluarganya dari Dsn. Bona yang bernama I Gusti Putu Bona sebagai “sedan abian” untuk kepemilikan Penguasa Belahbatuh yang berada di wilayah Tarukan. Dalam hal itu I Gusti Putu Bona dibantu oleh adik kandung nya yang bernama I Gusti Made Malong. Selanjutnya selaku sedan di Tarukan, mereka berdua dari Bona sering melayat ke Tarukan dalam mengawasi hasil – hasil sawah ladang milik penguasa Belahbatuh. Setiap melayat ke Tarukan, mereka berdua selalu mampir ke Puri Rangki untuk menghadap pada I Dewa Putu Tunas Besar dan bergaul akrab ( me mata – me matu) dengan kelurga Puri Rangki , bahkan sampai dengan semua sameton Tarukan pun mereka berdua sangat akrab dan sangat intim. Apa lagi mereka berdua sangat gemar berjudi ( matajen) hingga dengan sameton Puri Batan Binginpun sangatlah intim. Pada suatu hari di tahun 1908,semua para manca dan lurah di wilayah kekuasaan Gianyar, dipanggil ikut rapat di Puri Gianyar oleh I Dewa Gede Raka ( regent) Gianyar, untuk membahas tentang “ eksekusi “ hukuman mati bagi dua orang penghianat kekuasaan Regent. Maka dari itu I Dewa Putu Tunas Besar sebagai lurah penguasa Ubud,ikut pula menghadiri rapat dimaksud. Setelah pertemuan berlangsung I Dewa Putu Tunas Besar sangat terkejut dan kaget ,karena tahu yang rencana dihukum mati itu adalah I Gusti Putu Bona dan adiknya I Gusti Made Malong. Pada hal lurah Tarukan sangat kenal baik sekali , baik watak maupun sifat - sifat mereka berdua terhukum mati . Disana Beliau lurah Tarukan sadar akan mereka berdua kena fitnah. Karena itu lalu I Dewa Putu Tunas Besar memberanikan diri dan meminta mereka berdua terhukum mati untuk dibina, dijadikan abdi ( juru kurung ayam aduan ) di Puri Rangki Tarukan, serta sebagai taruhannya adalah I Dewa Putu Tunas Besar menyatakan siap sebagai gantinya ,apabila dikemudian hari dua orang terpidana mati tersebut ternyata lagi melakukan perbuatan jahat yang dapat meresahkan rakyat. Dengan demikian akhirnya tali borgol pengikat mereka berdua dilepaskan dan kembali bebas pulang ke Tarukan bersama I Dewa Putu Tunas Besar , lalu sementara menetap di Puri Rangki. Setelah kemudian mereka berdua diberi tempat tinggal ( karang – catu ), berlokasi di sebagian bekas “ancak saji” Puri Kraton Satrya Kabetan yaitu disebelah selatan Puri Semanggen ( selat tembok panyengker) atau di antara Puri Semanggen dan Puri Batan Bingin.
Sementara itu dilain pihak yakni I Dewa Putu Degeng dari Dsn. Dukuh Pejeng adalah masih ada hubungan keluarga dengan Puri Batan Bingin maupun Puri Dukuh. Beliau I Dewa Putu Degeng sudah cukup lama berada di Tarukan, terutama sering membantu Puri Pondok,sebagai juru arit ,bahkan akhirnya dinikahkan dengan putri Puri Pondok yang bernama Ni Desak Made Kelepon dan diberi tegak karang – catu berlokasi “ dangin telabah “ serta selanjutnya Purinya disebut Puri Dangin Telabah (sebelah utara Puri Duwur Pangkung selat tembok penyengker)
Entah bagamana ceritanya, setelah I Gusti Putu Bona dan I Gusti Made Malong dipecat sebagai sedan abian Belahbatuh , lalu diangkatlah I Dewa Putu Degeng ( Puri Dangin Telabah ) sebagai sedan abian Belahbatuh menggantikan dua orang dari Bona ( terpidana mati) tersebut. Dengan demikian I Dewa Putu Degeng semakin betah tinggal di Tarukan bersama adik kandungnya yang bernama Ni Desak Made Kerog Kanya ( bajang tua ).
MEMBUAT JEMBATAN GANTUNG DI CAMPUHAN UBUD TAHUN 1909
Disebutkan bahwa pemerintah India – Belanda membuat “ jembatan gantung “ di sungai Woos,tepatnya di sebelah depan Pura Gunung Lebah – Ubud atau di sungai Campuhan – Ubud,untuk memudahkan hubungan lalu lintas antara Gianyar – Ubud – Payangan dan Mengwi. Tenaga kerja ( buruh kasar ) diambil dari rombongan tenaga kerja rodi ( tanpa upah ) secara bergilir,dimana tiap – tiap manca atau panglurah yang ada dibawah kekuasaan Ubud ,harus mengirimkan tenaga kerja rodi sesuai jadwal untuk bagian pekerjaan dan giliran waktu bagi masing – masing manca dan anglurah.
Adapun persyaratan tenaga kerja rodi adalah; bagi orang – orang ( rakyat) yang memiliki “ karang catu “,diwajibkan menjalani kerja rodi ( ayahan karang catu ). Apabila ada rakyat pemilik karang catu tidak sanggup menjalani wajib kerja rodi,maka sawah catunya dicabut ( diambil alih) oleh penguasa wilayahnya,dan dipindahkan kepada lain orang yang sanggup menjalani kerja rodi. Maka dari itu I Dewa Putu Tunas Besar selaku anglurah puri Ubud,diwajibkan mengirim tenaga kerja rodi sejumlah “ ayahan karang cartu” yang ada di wilayahnya terutama di Tarukan, untuk membantu pekerjaan pembuatan jembatan gantung ( titi gantung ) di sungai Campuhan Ubud. Karena itulah setiap giliran wajib rodi, 99 orang wajib rodi Tarukan menjalani kewajibannya di Campuhan Ubud ( pembuatan jembatan gantung ).
Setiap keberangkatan rombongan kerja rodi Tarukan,selalu diantar langsung oleh putra I Dewa Putu Tunas Besar yang bernama I Dewa Made Jaksa. Perjalanan dengan jalan kaki ( pulang – pergi ) melalui persawahan Subak Tubuh menuju Banjar Sala,lalu disebelah Pura Bukit Buwung,melewati “ pangkung yang sangat dalam )dengan jembatan dua potong bamboo ( tiying ampel),terus menurun dan menyebrangi sungai Petanu sampai di Br. Ambengan ( pengadangan Peliatan ),terus melewati bencingah Puri Ubud tiba di Sungai Campuhan (lokasi kerja ) .Perlunya rombongan rodi tersebut diantar langsung,demi keamanan selama dalam perjalanan,mengingat jalan yang dilalui sangat rawan dari kejahatan pembunuhan ( perampokan ) yang sering terjadi di sekitar Pura Bukit Buwung,terutama di jembatan bamboo pada pakung yang curam dan dalam tersebut,karena lokasinya sangat rahasia dan sangat baik untuk melakukan pembunuhan,sebab mudah untuk melenyapkan / menghilangkan mayatnya. Lagi pula tempat tersebut sangat terkenal merupakan tempat melenyapkan nyawa se seorang.
Oleh sebab selalu diantar,maka semua rombongan rodi terselamatkan sampai finis pekerjaan jembatan gantung. Sementara itu Penguasa Ubud menyaksikan langsung,bagai mana semangat dan taat serta setianya pekerja rodi Tarukan terhadap pimpinannya yaitu I Dewa Made Jaksa.Karena begitu adanya,kemudian I Dewa Made Jaksa diangkat sebagai “ anglurah “ oleh penguasa Ubud,menggantikan ayahnya yang sudah lanjut usia. Sesudah jadi panglurah Ubud,nama Beliau dilengkapi dengan “ pungkusan BESAR “ pada akhir nama, menjadi I Dewa Made Jaksa Besar.
PEWARIS PURI RANGKI
Kembali diceritrakan pertisentana Puri Rangki yang bernama I Dewa Putu Tunas Besar selaku pewaris puri Rangki kawin pertama dengan Sang Ayu Darma dari Br . Intaran – Pejeng ( warga Ngakan Taman Bali ),tapi tidak menurunkan putra ( bekung ). Lalu kemudian I Dewa Putu Tunas Besar kawin ke dua dengan Sang Ayu Alus ( adik kandung dari istri pertama),menurunkan empat putra bernama :
1.Ni Desak Putu Kompyang kawin dengan I Dewa Putu Tarukan dari Dsn .Cagaan dengan status “ nyentana “ dan diberikan tegak karang catu yang berlokasi di sebelah selatan Pura Desa ( selat rurung). Selanjutnya mendirikan puri, yang disebut “ PURI SOOR PURA “ serta pasangan Beliau berdua menjadi cikal – bakal Puri Sor Pura.
1.2 . I Dewa Made Jaksa, diduga lahir tahun 1873.
1.3. I Dewa Nyoman Suwe ,diduga lahir tahun 1878.
1.4. Ni Desak Ketut Monteg kawin dengan I Dewa Nyoman Suta dari Puri Semanggen.
Adapun I Dewa Putu Tunas Besar sangat tekun mempelajari dan melaksanakan isi “ Pusaka Rontal Usada Sakti “ warisan Leluhur,apa lagi Beliau diangkat sebagai patih/ tabeng wijang utama di Puri Agung Pejeng,pada saat berkuasanya I Dewa Agung Pamayun Sudha. Dari hal itulah I Dewa Putu Tunas Besar berhasil menylamatkan keluarga Satrya Kabetan dari situasi politik masyarakat, baik itupun bernuansa fitnah maupun berupa perang mejik ( gelap).
Berikut kemudian putranya yang bernama I Dewa Made Jaksa ( pewaris puri ) kawin dengan Ni Desak Putu Tombong dari Puri Dukuh – Tarukan menurunkan lima putri bernama :
Ni Desak Putu Seleh,diduga lahir tahun 1913, kawin dengan I Dewa Made Pokel dari puri Pusat,sebagai istri ke empat.
Ni Desak Made Oka ( pewaris puri ) diduga lahir tahun 1916 ,
Ni Desak Nyoman Bentek diduga lahir tahun 1919,namun wafat dalam usia gadis dimasa menjadi abadi ( panyeroan ) di Puri Ubud.
Ni Desak Ketut Raka,diduga lahir tahun 1922 ,kawin dengan I Dewa Made Karya dari Puri Pondok, yang selanjutnya menjadi cikal – bakal Puri Duwur Pangkung.
Ni Desak Putu Bunter,diduga lahir tahun 1925, kawin dengan I Dewa Nyoman Gereh dari Puri Dukuh – Tarukan.
Sementara pewaris puri Rangki yang bernama Ni Desak Made Oka (kawin dengan I Dewa Nyoman Togog dari Puri Kanginan, dengan status “ nyentana / ka sentanin “ menurukan dua putra yaitu :
2.2.1. I Dewa Putu Gede Muscita, diduga lahir tahun 1938.
2.2.2. Ni Desak Made Puri ( Cenong ),diduga lahir tahun 1941, kawin pertama dengan I Dewa Ketut Oka Merta ( Tut Ding ) dari Puri Duwur Pangkung dan lanjut kemudian kawin ke dua dengan Si Kakek yang bernama I Ketut Cekeg dari warga Ampeh Aji ( Puaji ) selaku istri muda yang lokasi rumahnya bersebrangan dengan Puri Batan Wani.
Lanjut kemudian I Dewa Putu Gede Muscita kawin dengan Ni Desak Nyoman Oka ( Kenyet/ Garu atau Garuda ) dari puri Semanggen,menurunkan putri tunggal bernama :
2.2.1.1. Ni Dewa Ayu Putu Juli Musciti, diduga lahir tahun 1965 ,namun dalam usia 11 bulan ditinggal wafat oleh Sang Ayah karena arus situasi masa itu. Kemudian tahun 1982 kawin dengan I Dewa Made Suarta dari Puri Kanginan dengan status “ nyeburin “, menurunkan tiga putra bernama :
2.2.1.1.1. I Dewa Gede Putu Suarembawa, diduga lahir tahun 1985.
2.2.1.1.2. Ni Dewa Ayu Made ………….kawin dengan I ………Alit dari ………warga Bujangga Wisnawa ( soroh Senggu ),dari wilayah Munggu – Badung.
2.2.1.1.3. I Dewa Gede Nyoman ……….( Selin ),diduga lahir tahun1991.
Selanjutnya I Dewa Gede Putu Suarembawa tahun 2010 kawin dengan Ni Dewa Ayu Made ……..( Dek Bit ) menurunkan …..putra bernama :
2.2.1.1.1.1. Ni Dewa Ayu Putu ………., diduga lahir 2 Juni 2011.
KISAH JUAL BALI GONG UNTUK KRAMA BANJAR TARUKAN
Pada tahun 1932 Krama Banjar Tarukan sepakat untuk membeli sebuah GONG atas hasil keputusan rapat Krama Banjar ,yang ketika itu I Wayan Rana ( Nang Lunga ) dari warga Ampeh Aji selaku Kelian Dinas Br. Tarukan ( Kelian dari ketiga Br. Tempekan di Tarukan ). Atas usaha I Wayan Rana ( Kelian Dinas) dibantu oleh panglurah Puri Ubud yakni I Dewa Made Jaksa Besar Puri Rangki, berhasil membeli sebuah Gong milik Cokorda Carang Sari dari Puri Kajanan Ubud . Setelah Gong tersebut dibayar sekadar uang tanda jadi dengan uang kas Banjar seadanya saat itu , lalu itu Gong tersebut di izinkan untuk dibawa ke Tarukan dengan perjanjian bahwa Kelian Dinas Tarukan dan Lurah Ubud bertanggung jawab atas pelunasan Gong dimaksud dalam waktu yang mereka kedua belah pihak sepakati. Setelah Gong berada di Tarukan , Krama Banjarpun bisa terima namun pelunasannya akan dicicil dari iyuran Krama ( papeson Krama ).
Kemudian sampai akhir batas waktu pelunasan tiba, tetapi satupun dari anggota Krama yang telah membayar urunan atau belum ada yang membayar iyuran. Maka dari itu , untuk mendapatkan uang pelunasan Gong dimaksud , lalu diambil kebijaksanaan oleh Kelian Dinas Banjar Tarukan dan Lurah Ubud dengan menggadaikan sawah laba Pura Desa kepada I Dewa Nyoman Lanus ( De Man Sangut ) suami Ni Desak Nyoman Beteg dari Dsn. Pangembungan Desa Pejeng Kangin. Selanjutnya sampai tahun 1937 belum ada anggota Krama yang membayar ituran Gong, ternyata ada kiranya salah seorang anggota Krama yang sangat berambisi untuk dapat mengusahakan Gong dimakasud ,dengan kata lain dia yang ingin menjuali Gong dimaksud. Karena bukan dari dia gong itu dibeli,maka munculah siasat licik dan terselubung adik ipar I Dewa Made Jaksa Besar ( Lurah Ubud) dari Puri Batan Bingin. Dia bersama putra – putranya berusaha dan berhasil mengasut ( mempropokatori) Krama Banjar agar tidak mau membayar iyuran Gong. Akhirnya Krama Banjar memungkiri kesepakatan hasil rapat Krama dan menyatakan tidak ingin membeli gong,malah menuduh Kelian Dinas dan Lurah Ubud telah memanipulasi hasil sawah laba Pura Desa dengan menggadaikan sawah tersebut. Hal demikian diloporkan ke Regent Gianyar sehingga Kelian Dinas dan Lurah Ubud dihukum penjara selama enam bulan dan wajib mengembalikan sawah laba Pura dengan melunasi utang pada orang yang menggadai sawah tersebut . Dari masalah itu , maka Gong dimaksud dijual kembali dengan harga lelang dan dibeli oleh seseorang dari Daerah Siangan. Dari hasil penjualan lelang tersebut ternyata tidak cukup untuk melunasi utang atau kekurangan lagi Rp. 150,- Demi mencukupi pelunasan utang lalu I Dewa Made Jaksa Besar menggadaikan sawah miliknya yang terletak di sebelah timur Pura Subak Naga Sari Tarukan kepada I Dewa Nyoman Lanus dari Pengembungan seharga Rp. 150,- sehingga sawah laba Pura dimaksud dikembalikan oleh I Dewa Nyoman Lanus kepada Lurah Ubud untuk dikembalikan kepada Krama Banjar Tarukan. Kendatipun demikian , Sang adik ipar Lurah Ubud merasa belum cukup dan bersama warga Krama menuntut lagi agar hasil sawah selama digadaikan harus dikembalikan juga, oleh mereka berdua ( Keian Dinas dan Lurah Ubud ).
Karena jumlah hasil sawah yang telah diperhitungkan itu,tidak terbayar oleh mereka berdua,lalu Krama Banjar melakukan perampasan ke rumah mereka. Namun di rumah Lurah Ubud tidak terjadi perampasan karena piutang Lurah Ubud ditanggung oleh Penguasa Ubud atau oleh Puri Ubud. Tapi di rumah Kelian Dinas dilakukan perampasan. Barang – barang yang dirampas adalah ; alat – alat rumah tangga atau alat – alat dapur,samapai lesungpun ( alat menumbuk padi ) dirampas dan ditaruh di Pura Desa hingga akhir tahun 2011 ternyata lesung tersebut masih berada di Pura Desa tida gunanya. Selain itu,bangunan rumah bale semanggen yang sangat megah dengan ukiran dan tercet prade juga dirampas dengan cara semua saka ( tiyang) terukir penuh cat prade dibongkar lalu dilelang, sampai kayu – kayu lambang bangunan nyapun termasuk sebuah patung garuda pada lambang itu ikut dirampas dan dilelang.
Demikialah pristiwa yang menimpa Kelian Dinas Tarukan dan Lurah Ubud dikala itu.
MENDIRIKAN MERAJAN GEDE SATRYA KANDEL PEJENG
Setelah Pejeng dikuasai oleh Ubud dan wilayah Pejeng dipercayakan kepada Cok. Rai Panggul oleh Penguasa Ubud dengan syarat Cok Rai Panggul amanca ke Puri Ubud. Mengetehui satrya – satrya kapiandel Puri Pejeng semuanya ikut nyungsung Merajan Agung Puri Pejeng lalu atas saran Puri Ubud, maka satrya pengabih – pengabih Puri Pejeng diberikan tempat mendirikan Merajan Perkumpulan sesama satrya Pengabih atau satrya Kandel Puri Pejeng,yang lokasinya di jalan simpang tiga menuju Dsn. Tatiapi,yaitu disebelah selatan jalan raya menuju ke Tatiapi. Kemudian pada tahun 1898 dibangunlah merajan sederhana di tempat tersebut oleh satrya – satrya pengabih Puri Pejeng termasuk warga satrya Kabetan Tarukan ikut didalamnya dari biaya iyuran oleh setiap warga penyungsung yang telah bersuami - istri. Bagi warga sameton Merajan Gede Tarukan semuanya ikut kena iyuran , hanya seorang yang tidak mau ikut yalah I Dewa Nyoman Suwe dari Puri Kanginan. Segala biaya apapun untuk iyuran ke Merajan Gede Satrya Kandel Pejeng ,tidak pernah dibayar dan Beliau di hari – hari kemudian , sampai wafat sama sekali tak pernah sembahyang di Merajan Gede Perkumpulan tersebut. Tetapi segala iyuran nya dibayari oleh kakanya I Dewa Made Jaksa Besar dari Puri Rangki,karena rasa malu,kiranya keluarga seorang Lurah Ubud membangkang tidak ikuti titah Penguasa . Selanjutnya merajan Gede Perkumpulan dimaksud disebut MERAJAN GEDE SATRYA KANDEL PEJENG yang di sungsung oleh para Satrya Kandel Puri Pejeng keculi Satrya Ngakan Taman Bali dan Ngakan Gedong Arta serta Ngakan – Ngakan yang lain nya ditambah seseorang dari Tarukan yakni I Dewa Nyoman Suwe.
Di tahun –tahun berikutnya untuk memperbaiki pelinggih – pelinggih di Merajan Gede Satrya Kandel,dilakukan secara ngempon (dibagi). Khusus pembagian bagi anggota dari Tarukan,mendapat bagian memperbaiki Bale Peliangan yang terletak diareal Kaja Kauh di Mandala Utama Merajan. Sudah saatnya merehab bangunan pembagian tersebut ,lalu dipunggutlah iyuran pembangunan yang pemunggutannya iyuran itu dilakukan oleh I Dewa Ketut Lempod dari Puri Batan Bingin, walaupun dia tidak ada yang menunjuk ( menugaskan) melakukan hal itu. Maka dari itu semua anggota dari Tarukan sudah membayar lunas iyuran nya masing – masing,kecuali I Dewa Nyoman Suwe yang tak mau membayar. Karena ketika itu I Dewa Made Jaksa Besar telah tiada atau telah wafat,sehingga untuk iyuran I Dewa Nyoman Suwe tidak ada yang membayari lagi. Oleh karena begitu adanya,hingga semua iyuran yang telah terbayar oleh warga semeton Kabetan tidak disetorkan ke Keian Merajan Gede Satrya Kandel dengan alas an atau laporan bahwa warga sameton Kabetan di Tarukan tidak mau membayar iyuran. Dari alas an tersebut , di para semeton Satrya Kandel yang lain nya terkesan bahwa memang sameton Kabetan Tarukan tidak mau lagi bersama – sama nyungsung Merajan Gede Satyra Kandel Pejeng,. karena sameton Kabetan Tarukan sudah memiliki Merajan Gede di Tarukan.Sesudah itu pada tahun 1953,ketika nemonin puja wali patirtan di Merajan Gede Satrya Kandel Pejeng semua para istri dan juga anak – anak warga sameton Kabetan pada “ maturan” serta sembahyang ke sana. Sampai di Merajan Gede masing – masing aturan dari mereka sudah ditaruh pada tempat menaruh aturan. Dikala itu selaku pemangku di Merajan Gede tersebut bernama I Dewa Ketut Lempod yakni ayah kandung I Dewa Ketut Sura yang masih ada hubungan saudara dengan warga Puri Batan Wani Tarukan. Namun tak disangka oleh para pamedek warga sameton Kabetan Tarukan, ternyata Sang Pemangku Merajan menyatakan tidak mau memberikan toya panglukatan apa lagi mapuja untuk aturan warga sameton Kabetan Tarukan , dengan alas an tidak berani terhadap anggota sameton Satrya Kandel Pejeng yang lain nya, karena memang tidak di izinkan menurut hasil rapat ( peparuman ) anggota petedun Merajan. Karena demikian hal nya maka salah seorang penua ( tua ) dari warga semeton Kabetan Tarukan bernama Ni Wayan Ruket istri dari I Dewa Ketut Ngepeng dari Puri Dauh Telabah, memberanikan diri “ ngayabang” semua aturan para sameton Tarukan dengan sesisir bunga dan sebuah dupa sambil komat – kamit layaknya mengucapkan puja astute,walaupun tanpa mendapatkan toya panglukatan. Sesudah itu lalu semuanya pada melakukan sembahyang sama – sama warga sameton Tarukan. Habis sembahyang juga tidak dapat tirta “ wasuh pada Betara “,lalu masing – masing dari mereka pada mengambil aturan nya sendiri – sendiri dan tak lupa menaruh sebuah canang aturan nya yang berisikan sesari ditinggalkan disana lalu semuanya pulang ke Tarukan. Sampai di rumah , keluarga I Dewa Nyoman Suwe memberitakan kepada Beliau bahwa semua “ aturan “ warga sameton Tarukan tidak mau di pujamentra oleh Pemangku Merajan Gede Pejeng. Dan Beliau I Dewa Nyoman Suwe menjawab singkat katanya : “Ngudiang maturan kema ….. iraga nak Satrya Kabetan ….. suba ngelah Merajan Gede dini. Suwud maturan kema….. dini nak ada ngelah presasti ….. sablilang Saraswati katuran piodalan…… anak di merajan dini mesungsung uling pidan …. bareng ajak Ental Cakepan Usada….e “. Begitulah jawaban I Dewa Nyoman Suwe.
Karena Betara Kawitan ( Prasasti) dan Rontal Pusaka Usada Sakti disimpan dan diupacarai di Merajan Puri Kanginan , maka setiap Hari Raya Saraswati seluruh para warih Satrya Kabetan maturan ke Merajan Puri Kanginan. Kemudian setelah I Dewa Nyoman Suwe wafat dan putranya yang bernama I Dewa Nyoman Togog telah kawin “ nyentanin” ke Puri Rangki,dimana adik – adiknya seperti I Dewa Ketut Diran dan I Dewa Made Sumplit masih jejaka ( belum kawin ),maka atas kesepakatan keluarga Puri Kanginan dan Puri Rangki lalu Betara Kawitan ( Prasasti) disimpan di Merajan Puri Rangki dengan alas an bahwa; dikala puja wali di Merajan Agung bisa lebih dekat dalam mamendak menuju ke Merajan Agung ,lagi pula Puri Rangki lebih berwenang untuk itu. Hanya Pusaka Usada Sakti saja yang masih ditinggalkan di Puri Kanginan. Namun sesudah didirikan Gedong Panyimpenan di Merajan Agung pada tahun 1998 ,lalu Betara Kawitan disimpan di Gedong Panyimpenan di Merajan Agung. Dan untuk selanjutnya Para Warih Kabetan setiap Saraswati, lebih dulu maturan di Merajan Kanginan ( di Pusaka Usada Sakti) ,sudah itu lalu ke Merajan Agung ( ke Betara Kawitan). Demikianlah kisahnya sameton Kabetan Tarukan menarik diri dari Merajan Kandel Pejeng.
CIKAL – BAKAL PURI SOR PURA
Tersebutlah putri pertama dari I Dewa Putu Tunas Besar ( pewaris Puri Rangki ) yang bernama Ni Desak Putu Kompyang kawin dengan I Dewa Putu Tarukan berasal dari Dsn. Cagaan , yang orang tuanya menetap di Tarukan ,dan Beliaupun dilahirkan dan dibesarkan di Tarukan yakni lokasi rumah tinggal orang tuanya di sudut ( pojok ) tenggara Pura Desa /Puseh Dsn. Tarukan. Adapun status perkawinannya “ nyentana “. Setelah kemudian pasangan Ni Desak Putu Kompyang dengan I Dewa Putu Tarukan diberikan tempat tinggal oleh Puri Rangki, berlokasi di sebelah selatan Pura Puseh / Desa Tarukan dan mendirikan Puri yang dinamai PURI SOR PURA,serta pasangan tersebut sebagai cikal – bakal Puri Sor Pura ,menurunkan dua putri bernama :
Ni Desak Putu Besog.
Ni Desak Made Cuklek kawin dengan I Made Pugeg warga Pulasari dari Dsn. Sembuwuk – Pejeng Kaja,tapi tidak menurunkan putra.
Sedangkan Ni Desak Putu Besog kawin dengan I Dewa Made Kali ( adik kandung Ni Desak Putu Keweh cikal – bakal puri Kawan ) dari Dsn, Cagaan dengan status kawin “ nyentana “menurunkan enam putra bernama :
Ni Desak Putu Rawit kawin dengan I Dewa Ketut Pancek dari Puri Batan Bingin (sebelah utara Pura Puseh / Desa Tarukan ) batas tembok panyengker Pura.
Ni Desak Made Rawet kawin dengan I Dewa Nyoman Kantun dari Puri Batan Wani.
Ni Desak Nyoman Rai kawin dengan I Dewa Rai Dukuh dari puri Dukuh Tarukan ( sebelah timur puri Batan Bingin ) , sebagai istri pertama.
I Dewa Ketut Lanus .
Ni Desak Putu Tagel ( Kecek ) kawin pertama dengan I Dewa Ketut Rai Dukuh dari puri Dukuh sebagai istri ke dua ( dimadu lawan kakak kandungnya ). Setelah menurunkan putra satu di Puri Dukuh lalu cerai , dan kemudian Ni Desak Putu Tagel kawin ke dua dengan I Ketut Mita ( Cong Nik ) warga Pasek Salahin, dimana setelah putranya di Puri Dukuh meninggal dalam usia empat tahun.
Ni Desak Made Tanjung kawin dengan I Dewa Ketut Rai Dukuh dari Puri Dukuh ,sebagai istri ke tiga, namun meninggal saat melahirkan putra pertama.
Jadi tiga putri Sor Pura di borong oleh I Dewa Ketut Rai Dukuh. Adapun sistim perkawinan pada zaman itu adalah sistim “ melegandang “ artinya ; sistim tangkap paksa untuk dikawini ( ngejuk ).Juga Ni Desak Putu Rentet ( istri I Dewa Made Lebeng) waktu masih gadis , hampir – hampir juga jadi istri I Dewa Ketut Rai Dukuh. Karena kegalgalan itulah warga puri Dukuh lepas/ keluar “ ma maksan “ dari Mrajan Gede Satrya Kabetan – Tarukan lalu “ ma makasan” di Merajan Gede Satya Kandel Pejeng..
Tersebut kembali putra Puri Sor Pura yang bernama I Dewa Ketut Lanus kawin dengan Ni Desak Putu Pasung ( Sukerti ) dari puri Dauh Telabah, menurunkan dua putra ,tapi putra pertama meninggal waktu lahir dan putra ke dua bernama ;
1.1.1.4.1. I Dewa Made Sujendra ( Kadok Landung ),namun wajahnya tak dikenal oleh Sang Ayah,sebab sebelum si bayi lahir Sang Ayah telah maninggal pada tahun 1967. Setelah dewasa I Dewa Made Sujendra kawin dengan Ni Made ……… ( sapihan kembang ) dari Dsn. Mas – Ubud,menurunkan putra bernama ;
1.1.1.4.1.1. Ni Dewa Ayu Putu………..,dan adiknya meninggal baru lahir di Jero Made ………/seorang Bidan , di rumah pribadainya ( di Belusung ) .
CIKAL - BAKAL PURI KANGINAN
Kembali disebutkan putra Puri Rangki yang bernama I Dewa Nyoman Suwe kawin pertama dengan Ni Wayan Rukti warga Pasek Salahin yang lokasi rumah lahirnya di sebelah barat Pura Panti Salahin delodan ,yang selanjutnya menjadi cikal – bakal Puri Kanginan dan menurunkan empat putra bernama :
Ni Desak Putu Cuklik kawin dengan I Dewa Made Pokel dari Puri Pusat sebagai istri pertama.
Ni Desak Made Dugler kawin pertama dengan I Dewa Nyoman Mendir dari puri Semanggen sebagai istri pertama.
I Dewa Nyoman Togog kawin berstatus “nyentanin “ dengan Ni Desak Made Oka dari puri Rangki ( nyentanin ke puri Rangki ).
I Dewa Ketut Diran pewaris puri Kanginan.
Berikutnya I Dewa Nyoman Suwe kawin ke dua dengan Ni Desak Ketut Alit dari Dsn. Sawa Gunung,namun tidak menurunkan putra. Setelah itu I Dewa Nyoman Suwe kawin ke tiga dengan Ni Wayan Tuki warga Pasek Salahin ( lokasi rumah lahir di sebelah barat pura Griya/ Panti Salahin ) menurunkan se orang putra bernama :
I Dewa Made Sumplit.
Seklumit Kisah Ni Nyoman Sukani Diasuh di Puri Kanginan
Berawal dari pasangan I Wayan Dana warga Pasek Salahin yang rumahnya b
ertetangga dengan Ni Wayan Tuki ( istrinya pertama I Wayan Dana ) dan baru menurunkan dua putra yang bernama ‘’ Ni Wayan Singid dan I Made Pangid( pemangku Pura Puseh/ Desa – Tarukan ),mana kala itu Ni Wayan Tuki sempat memadu kasih dengan I Dewa Nyoman Suwe dari Puri Kanginan ( selingkuh terang – terangan , artinya Sang suami I Wayan Dana tahu hal itu ).Dari hubungan gelap itu lahirlah yang namanya Ni Nyoman Sukani ( dalam arti dari hasil selingkuh suka sama suka ).Setelah lahir Ni Nyoman Sukani dan masih bayi, lalu I Wayan Dana dengan ihklas menyerahkan istrinya ( Ni Wayan Tuki ) kepada I Dewa Nyoman Suwe untuk dijadikan istri ke tiga di Puri Kanginan,serta Sang Bayi diajak pula di Puri Kanginan untuk diasuh dan mendapat kasih sayang ibu. Jadi dari bayi sampai dewasa Ni Nyoman Sukani tetap tinggal bersama Ibunya di Puri Kanginan ,bahkan sampai kawin dengan I Dewa Ketut De dari Puri Kajanan.
Lanjut diceritrakan kembali Puri Kanginan,yakni pewaris Puri yang bernama I Dewa Ketut Diran kawin pertama dengan Ni Nyoman Kondri warga Arya Pemeregan yang lokasi rumah lahirnya di sebelah utara Pura Griya,menurunkan dua putra bernama :
I Dewa Putu Oka Suwardi ( Lindung ).
Ni Dewa Ayu Made Puspa kawin dengan I Gusti Putu Tantri dari Dsn. Timbul – Tegalalang
Tat kala Ni Dewa Ayu Made Puspa berusia 8 bulan,Sang I bu kembali ke rumah orang tuanya ( ngambul) kerena bertengkar dengan mertua ( Ni Desak Ketut Alit ),hingga tak kembali lagi ke Puri Kanginan ( cerai syah). Maka dari itu I Dewa Ketut Diran kawin ke dua dengan Ni Desak Putu Oka Jantuk dari Puri Semanggen menurunkan lima putri bernama :
Ni Dewa Ayu Putu Raka kawin dengan Anak Agung Gede ……..dari Dsn. Tatiapi - Pejeng Kawan.
Ni Dewa Ayu Made ……….kawin dengan I Dewa …… dari Dsn. Pesalakan ( warga Dewa Pesalakan Taman Bali ).
Ni Dewa Ayu Nyoman Candra kawin dengan I Dewa …….dari Br. Peseh – Pejeng ( warga Satrya Kandel Pejeng ).
Ni Dewa Ayu Ketut ………..kawin dengan Mas …….. ( orang Jawa ) yang menetap di Pejeng.
Ni Dewa Ayu Putu ………kawin pertama dengan I Dewa Putu Astawa dari Puri Abing, yang berdomisili di Buleleng. Namun usai upacara pernikahan,pasangan ini berpisah ( cerai ),dimana Sang Suami menetap di Singaraja bersama orang tuanya, tapi Sang Istri yang hamil muda menetap bersama Ibunya di Tarukan, hingga Sang Bayi dalam kandungan lahir dan diberi nama I Dewa Putu ………. ( Berit), serta selanjutnya di asuh oleh neneknya di Puri Kanginan . Setelah I Dewa Putu ……..( Sang Bayi ) berusia 5 tahun,kemudian Sang Ibu ( Ni Dewa Ayu Putu …….. )kawin ke dua dengan I …………….( wang sudra ) dari pulau Lombok.
Kembali pada putra pertama dari I Dewa Ketut Diran yang bernama I Dewa Putu Oka Suwardi kawin dengan Ni Desak Ketut Mudri dari Puri Batan Wani menurunkan putra yakni
4.1.1. I Dewa Gede Putu ……….. ( Cucutan ).
4.1.1. I Dewa Gede Made ………( Bangkok).
Selayang Pandang Kisah Puri Kanginan
Warih Satrya Kabetan diwariskan “ Rontal Pusaka Usada Sakti “ oleh leluhur ( Raja Betara Kawitan ) yang sangat bertuah lagi mujarab. Maka dari itu selaku keturunan ( para warih ) Dewa Kabetan,semestinya wajib melanjutkan/meneruskan menjalankan atau melaksanakan “ makna guna “ dari Rontal Usada Sakti tersebut, dalam usaha menolong sesama,utamanya menjaga keselamatan para warih Dewa Kabetan. Salah satunya yang melanjutkan melaksanakan ke ampuhan / kemujaraban Rontal Usada Sakti tersebut adalah I Dewa Nyoman Suwe. Beliau melanjutkan “ kawisesan,kawagedan “ almarhum ayahnya yakni I Dewa Putu Tunas Besar.Jadi Beliau ( I Dewa Nyoman Suwe ) menjaga para warih Dewa Kabetan di Tarukan dari serangan – serangan ilmu batin ( ilmu hitam ) yang dilancarkan oleh pihak ( kelompok ) warga yang antipasti terhadap warih Satriya Kabetan.
Di pahak lain ada pula tokoh yang sangat wisesa sakti,terutama dalam ilmu hitam atau aji wegig yalah I Gede Bara dari kelompok warga Ampeh Aji ( Puaji ). Warih Dewa Kabetan sering mendapat terror dari kesktian ilmu batin /hitam,bahkan masyarakatpun ikut merasa terterror olehnya. Adapun terror ilmu hitam itu dimaksudkan untuk menjatuhkan citra I Dewa Nyoman Suwe . Dalam hal ini, tak perlu disebutkan secara rinci pristiwa – pristiwa yang pernah terjadi dari kekuatan ilmu hitam yang dilancarkan untuk melaksanakan niatnya, baik melalui pemanfaatan setiap kesempatan sekala (politik be banjaran),baik siang maupun malam atau siasat melancarkan fitnah / kabar palsu demi jatuh citra warih Kabetan . Tapi kesemua itu dapat diatasi ( ditaklukkan) oleh I Dewa Nyoman Suwe.
Karena I Gede Bara merasa diri kewalahan atau tidak mampu/ tak berhasil kawisesan ilmu hitam dan ilmu batinnya maka akhirnya I Gede Barapun pergi dari Dsn. Tarukan bersama semua keluarganya menuju daerah Benawah dan menetap disana, karena takut akan pembalasan I Dewa Nyoman Suwe .
Dengan demikian karang perumahan milik I Gede Bara menjadi kosong adanya. Selanjutnya dari pihak warga Ampeh Aji tidak ada yang berani memasuki /menempati bekas rumah pekarangan I Gede Bara ,karena diduga sangat angker /mestireus ,sebab bekas milik orang sakti,dan memang kenyataannya benar – benar angker dan mengerikan.
Sebab dari itulah, satu – satunya yang berani tinggal disana hanyalah I Dewa Nyoman Suwe. Setelah diupacarai pecaruan ,balik sumpah karang dan sebagai mana mestinya , lalu I Dewa Nyoman Suwe mendirikan Puri baru yang disebut PURI KANGINAN . Sudah barang tentunya sebelumnya bangunan rumah dan sanggah milik I Gede Bara telah dipugar ( dibongkar ) terlebih dahulu.
Kebali diceritrakan putra ke lima dari cikal – bakal Puri Kanginan yang bernama I Dewa Made Sumplit kawin dengan Ni Made Gati warga Ampeh Aji yang lokasi rumah lahirnya disebelah selatan Balai Adat Tarukan (di seberang Pura Puseh / Desa Tarukan) menurunkan empat putra bernama :
5.1 Ni Desak Putu Siti kawin dengan I Dewa Nyoman Subadi ( Sero ) dari puri Pondok.
5.2. I Dewa Made Suarta ( Dodet) kawin dengan Ni Dewa Ayu Juli Musciti dari puri Rangki dengan status perkawinan “ nyeburin “ ke Puri Rangki .
5.3. Ni Desak Nyoman Tirta ( Unyil ) kawin dengan I Dewa Ketut Oka Merta dari puri Duwur Pangkung sebagai istri ke dua.
5.4. Ni Desak Ketut Jaksa kawin dengan I Dewa Made ……..( De Godel ) dari Dsn. Cagaan - Pejeng Kangin.
CIKAL BAKAL PURI SEMANGGEN
Kembali diceritrakan putra bungsu/ ke empat dari I Dewa Gede Tukrukan Besar (puri Kraton Kabetan ) yang bernama I Dewa Gede Ketut Sengkor kawin pertama dengan Ni Desak Putu Anom dari Dsn. Melayang – Pejeng Kaja,yang lokasi rumah lahirnya di sebelah selatan Pura Merajan Agung Melayang pada pekarangan no : 2 dari utara sebelah timur jalan raya. Kemudian pasangan tersebut menempati Puri Semanggen didampingi ( bersama ) kakak Sulungnya yang bernama Ni Dewa Ayu Putu Saplug Kanya. Adapun semanggen itu adalah tempat jenazah / layon, kaerana itu pada mulanya putra bungsu ini menolak diberikan bagian puri di semanggen . Tetapi setelah dibujuk – rayu oleh orang tuanya bersama kakak – kakaknya,akhirnya Beliau mau juga menetap tinggal di Semanggen, karena permintaannya dipenuhi yaitu kakak Sulung Kanya bersedia mendampinginya di Puri Semanggen. Dari pasangan I Dewa Gede Ketut Sengkor dengan Ni Desak Putu Anom menurunkan empat putra bernama :
I Dewa Putu Kandel diduga lahir tahun 1868.
Ni Desak Made Kemul kawin dengan I Dewa Made Rai dari Puri Batan Wani ( menjadi ibu kandung I Dewa Putu Gudug, I Dewa Made Kari , I Dewa Nyoman Kantun ).
I Dewa Nyoman Suta diduga lahir tahun 1875.
I Dewa Ketut Cenikan diduga lahir tahun 1879.
Kemudian I Dewa Gede Ketut Sengkor kawin kedua dengan Ni Desak Made Rai (adik kandung istri pertama) menurunkan dua putra bernama :
I Dewa Made Kenting diduga lahir tahun 1878.
Ni Desak Ketut Gendor diduga lahir 1881, kawin dengan I Dewa Made Badoh ( menjadi cikal – bakal Puri Pondok ).
Tersebutlah putra pewaris puri Semanggen yang bernama I Dewa Putu Kandel kawin pertama dengan Ni Desak Nyoman Kelemis dari Dsn Melayang, yang lokasi rumah lahirnya sama dengan rumah lahir Sang mertuanya ( Ni Desak Putu Anom tersebut di atas ),menurunkan lima putra bernama ;
1.1 I Dewa Putu Binder.
1.2. I Dewa Nyoman Mendir.
1.3. I Dewa Ketut Wari diduga lahir tanun 1912.
1.4. I Dewa Putu Kalik ( Bakir ).
1.5. Ni Desak Made Gembrong kawin dengan I Dewa Ketut Pater dari puri Pondok,yang selanjutnya menjadi cikal – bakal Puri Madya.
Kemudian I Dewa Putu Kandel kawin ke dua dengan ipar tirinya yaitu Ni Desak Made Rai ( janda dari I Dewa Made Kenting Puri Dauh Telabah ) menurunkan putri tunggal bernama :
1.6. Ni Desak Ketut Menter kawin dengan I Dewa Putu Gudug dari Puri Batan Wani ,sebagai istri ke dua. Adapun istri pertama ( Ni Desak Ketut Longker ) cukup lama tidak menurunkan putra, namun setelah istri ke dua menurunkan dua putri ,ternyata istri pertamapun menurukan empat putri.
Kembali disebutkan putra pertama dari I Dewa Putu Kandel dengan Ni Desak Nyoman Lelemis , yang bernama I Dewa Putu Binder kawin pertama dengan Ni Desak Made Munek dari Puri Kajanan, tapi bercerai sebelum menurunkan putra.Karena demikian I Dewa Putu Binder kawin ke dua dengan Ni Desak Ketut Gedor dari Puri Pusat ,menurunkan tiga putri yang bernama :
1.1.1. Ni Desak Putu Oka Jantuk kawin dengan I Dewa Ketut Diran dari Puri Kanginan sebagai istri ke dua.
Ni Desak Made Rai Jantak kawin dengan I Dewa Made Asta ( De Pak ) dari puri Dauh Telabah.
Ni Desak Nyoman Jantik ( Suci ) kawin dengan I Made Jati dari Br. Guliang – Pejeng ( warga Pulasari ).
Sementara I Dewa Nyoman Mendir kawin pertama dengan Ni Desak Made Dugler dari Puri Kanginan,menurunkan dua putra bernama:
1.2.1. I Dewa Putu Togog Mudra.
1.2.2. I Dewa Nyoman Lasta ( Jadag ).
Berikutnya I Dewa Nyoman Mendir kawin ke dua dengan Ni Desak Nyoman Ceper dari Puri Pusat ( mantan istri Cok. Buta dari Puri Tanggu – Ubud ,hal mana dikala menjadi rabi di Puri Tanggu ,bercerai sebelum menurunkan putra )lalu pasangan tersebut menurunkan putri tunggal bernama ;
1.2.3. Ni Desak Nyoman Oka Kenyet kawin dengan I Dewa Putu Gede Muscita dari Puri Rangki.
Rersebutlah putra I Dewa Nyoman Mendir yang bernama I Dewa Putu Togog Mudra kawin dengan Ni Desak Nyoman Natar dari Puri Batan Bingin,menurunkan tiga putra bernama :
1.2.1.1. I Dewa Putu Muscita.
1.2.1.2. I Dewa Made Tisna
1.2.1.3. I Dewa Gede Nyoman Artawa.
Selanjutnya I Dewa Putu Muscita kawin pertama dengan Siti gadis Banyuwangi ( Jatim) menurunkan se orang anak bernama ;
1.2.1.1.1. Ni Dewa Ayu Citra,dimana dalam usia 8 bulan ditinggal wafat oleh ibunya karena kec elakaan lalu lintas, lalu Sang Bayi ( Ni Dewa Ayu Citra) diasuh oleh Kakek – Neneknya di Tarukan. Setelah berusia 18 tahun Ni Dewa Ayu Citra mengalami nasib yang sama dengan Ibunya,wafat karena kecelakaan lalu – lintas.
Kemudian sakeng jemunya menduda lalu I Dewa Putu Muscita kawin ke dua dengan Ni Putu ………. Dari Dsn . ………( warga Bujangga / Senggu ) menurunkan putra bernama :
1.2.1.1.2. Ni Dewa Ayu Putu ……….
Sedangkan I Dewa Made Tisna kawin dengan Ni Gusti Ayu Setiawati ( Tu Nik ) dari tetangga sebelah selatan Puri Semanggen ( keturunan mantan “sedan “ Belahbatuh yang hampir terpidana mati),menurunkan dua putra bernama :
1.2.1.2.1. I Dewa Gede Putu ……….( Botak ).
1.2.1.2.2. Ni Dewa Ayu Made ……(Cendol ).
Namun I Dewa Gede Nyoman Artawa kawin dengan Ni Dewa Ayu Putu Astiti (Membo ) dari Puri Batan Wani,menurunkan dua putra bernama :
1.2.1.3.1. Ni Dewa Ayu Putu ……..( Ema ).
1.2.1.3.2. I Dewa Gede Made …….( Popo ).
Tersebut kembali putra ke dua dari I Dewa Nyoman Mendir yang bernama I Dewa Nyoman Lasta ( Jadag ) kawin dengan Ni Nengah Nadri dari Br. Bendul – Klungkung,menurunkan enam putra bernama :
1.2.2.1. Ni Desak Putu Tirta kawin dengan I Dewa Made Ruspawan dari Dsn. Lumajang – Tabanan.
1.2.2.2. I Dewa Made Budiarta ( Jableg ).
1.2.2.3. Ni Desak Nyoman Sucita ( Kecet ) kawin dengan I Gede ……dari Dsn. Banyuning – Singaraja warga Bujangga / Senggu ).
1.2.2.4. I Dewa Ketut Widiarta ( Genggong ).
1.2.2.5. I Dewa Putu Sudiarta ( Berit ).
1.2.2.6. I Dewa Made Suarta ( Botak ).
Selanjutnya pasangan I Dewa Nyoman Lasta dengan Ni Nengah Nadri mendirkan Puri di RT. Kali Baru – Singaraja sebagai cikal – bakal puri Kali Baru – Singaraja. Kemudian putranya yang bernama I Dewa Made Budiarta kawin dengan Ni Wayan Tantri dari Dsn.Banyuning – Singaraja ( warga Bujangga / Senggu ) menurunkan putra bernama
1.2.2.2.1. I Dewa ……….
1.2.2.2.2. Dewa ………..
Sementara I Dewa Ketut Widiarta kawin dengan Ni Desak Nyoman …….. ( Nik)dari Dsn . Banjar – Singaraja menurunkan putra bernama :
1.2.2.4.1. I Dewa ……….
1.2.2.4.2. ……………
Sedangkan I Dewa Putu Sudiarta kawin dengan Ni Gusti Agung Ayu …….dari Negara (warga I Gusti Agung Maruti ) menurunkan putra bernama :
1.2.2.5.1. I Dewa ……
1.2.2.5.2. ………….
Berikutnya I Dewa Made Suarta kawin dengan Ni …… ……… dari Dsn. ….. - ………. Menurunkan putra bernama :
1.2.2.6.1. Dewa …….
1.2.2.6.2. Dewa ………
CIKAL BAKAL PURI CAMPUHAN UBUD.
Tersebut kembali putra ke tiga dari pasangan I Dewa Putu Kandel dengan Ni Desak Nyoman Kelemis yang bernama I Dewa Ketut Wari kawin dengan Ni Gusti Agung Ayu Rai Caklek dari Dsn. Lingkungan Ubud Kelod , Kec. Ubud ( warga I Gusti Agung Maruti ) yang lokasi rumah lahirnya di Perumahan no : 2 dari utara di Belakang Pasar Ubud, sebelah barat jalan, menurunkan lima putra bernama;
1.3.1. I Dewa Putu Arsa ( Icu ).
1.3.2. Ni Desak Made Arsi ( Kelempung / Koli ) kawin dengan I Made Darmana ( Nugri ) dari Dsn. Tohpati - Badung ( warga Arya Wang Bang Pinatih yang nyineb wangsa ).
1.3.3. Ni Desak Nyoman Lungid Kanya ( sakit ingatan ).
1.3.4. I Dewa Ketut Putrawan ( Toklok / Jata Sawitur ).
1.3.5. Ni Desak Putu Raka ( Gobleh) kawin dengan I Gusti Agung Ngurah KK dari Campuhan – Ubud / Dsn. Lingkungan Ubud Kelod ( warga I Gusti Agung Maruti ).
Selanjutnya I Dewa Putu Arsa kawin dengan Ni Wayan Gasir ( Jero Menuh ) dari Delod Peken Br.Lingkungan Ubud Kelod (di jalan jurusan belakang Pasar Ubud ) menurunkan tiga putra bernama ;
1.3.1.1. I Dewa Putu Sonta , kawin dengan Ni Desak Ketut Puspasari dari Puri Semanggen - Tarukan.
1.3.1.2. Ni Desak Made Juli Artini ( Jengki ).
1.3.1.3. I Dewa Nyoman Astawa ( Nggung) kawin dengan Ni Desak Nyoman ……..dari Dsn . Jukut Paku – Tebongkang – Ubud ( warga Dewa Sekahet ) menurunkan putra bernama :
1.3.1.3.1. Ni Dewa Ayu Putu ……..
Berikutnya I Dewa Ketut Putrawan ( Toklok Jata Sawitur ) kawin dengan Ni Desak Putu Nasih ( Bunter ) dari Puri Batan Wani ( Tarukan ) warga Dewa Undisan – putra Dewa Pagedangan, menurunkan tiga putra bernama :
1.3.4.1. I Dewa Gede Putu Widhi Astu ( Sempol ) lahir 2 Desember 1972.
1.3.4.2. Ni Dewa Ayu Made Widya Asti ( Jengki ) lahir 15 Juni 1975 ,kawin dengan I Dewa Gede Made Parwata ( Sempol ) dari Dsn. Pangembungan – Pejeng Kangin ,menurunkan dua putri.
1.3.4.3. I Dewa Gede Nyoman Dharma Suasta.
Adapun upacara perkawinan Jata Sawitur dengan Ni Desak Putu Nasih dilangsungkan di Puri Semanggen – Tarukan tanggal 2 Maret 1972 ,dan sejak itu Jata Sawitur menetap di Puri Semanggen - Tarukan,
Kemudian putra pertama dari Jata Sawitur yang bernama I Dewa Gede Putu Widhi Astu kawin dengan Ni Wayan Rini ( Jero Padma ) dari warga Arya Pameregan ( keturunan I Made Putih yang ngiring I Dewa Kompyang Besar sampai di Kusamba ) menurunkan dua putra bernama :
1.3.4.1.1. I Dewa Gede Putu Wari Jiwa Arsa ( Dogi ).
1.3.4.1.2. I Dewa Gede Made Wari Praneka ( Dego) .
Namun I Dewa Gede Nyoman Dharma Suasta ( Mang Bak ) kawin dengan Ni Desak Gede Ariningsih ( Gedong ) dari Dsn. Sampalan – Nusa Panida , warga Dewa Kaleran – Gedong Arta ) menurunkan dua putra bernama ;
1.3.4.3.1. I Dewa Gede Putu Wari Sujata.
1.3.4.3.2. Ni Dewa Ayu Made Wari Utami.
SECUIL KISAH PURI CAMPUHAN - UBUD
Sejak tahun 1947
Disebutkan kembali putra ke tiga dari I Dewa Putu Kandel yang bernama I Dewa Ketut Wari sejak usia 14 tahun sudah menjadi abdi ( parekan ) di Puri Kantor Ubud, yaitu pada Cok. Oka Kinceng ( Cok. Aji Badung ) sebagai pengasuh tunggal (panginte ) putri Cok . Oka Kinceng yang bernama Anak Agung Istri Putra ( Gung Ti Gede ). Disamping itu I Dewa Ketut Wari disekolahkan pula oleh Cok. Aji Badung di S.R I Ubud dan tamat dengan Ijazah S.R pada tahun 1935.
Kemudian tahun 1947 se orang mantan tentara Belanda bernama Rudolf Bonnet,menyewa penginapan di Puri Kantor. Selama R, Bonnet tinggal di Puri Kantor, I Dewa Ketut Wari sangat rajin membersihkan kebun bunga di halaman penginapan,menyapu ruangan sampai halaman,merapikan tempat tidurnya R . Bonnet, membersihkan kamar mandi dan W.C kamar itu.
Melihat rajin dan kreatifnya I Dewa Ketut Wari,maka R. Bonnet sangat tertarik ingin mengajaknya sebagai karyawan (Kuli ) dengan dijanjikan gaji tiap bulan.Lalu R. Bonnet bertanya : “ Ketut !!...mau kerja pada saya ?,menjadi koki (tukang masak ) saya ? I Dewa Ketut Wari menjawab dengan lugu dan jujur :” Maaf Tuan !...saya tidak berani sama Cok. Aji, silakan Tuan minta langsung pada Cok. Aji , bila di izinkan saya bersedia “. Dan saran I Dewa Ketut Wari itupun dilakukan oleh R. Bonnet. Setelah mendapat izin dari Cok. Aji , lalu bekerjalah I Dewa Ketut Wari sebagai kooky pada R. Bonnet mulai tahun 1947 dengan gaji Rp.12,- per bulan.
Dikala itu I Dewa Ketut Wari sudah berkeluarga dengan empat putra,dimana perkawinannya dengan Ni Gusti Agung Ayu Rai Caklek ( “adik sepupu dari istri Cok. Raka Sukawati / umum disebut Cok Raka Jawa yaitu Presiden N.I.T yang bernama Ni Gusti Agung Ayu Putu Gunik yang rumah lahirnya di belakang Pasar Ubud “) pada tahun 1938. Hal mana pada masa gadisnya Ni Gusti Agung Ayu Rai Caklek adalah sebagai abdi ( panyeroan) di Puri Kantor selaku beby sister putra Ni Gusti Agung Ayu Putu Gunik atau Cok. Raka Jawa. Jadi sama – sama sebagai abdi di Puri Kantor dengan Sang Suami.
Sementara itu I Dewa Ketut Wari bersama Istri dan putra – putranya tinggal nompleng ( numpang ) di belakang pasar Ubud yakni di rumah mertuanya ( di rumah Sang Istri ).
Kemudian tahun 1946 diberikan sebidang tanah pekarangan seluas 48 are oleh Cok. Presiden N.I.T. dengan status “ penyakap “ yang berlokasi di Babakan – Campuhan – Ubud. Selanjutnya di sanalah I Dewa Ketut Wari dan Istrinya mendirikan Puri yang disebut PURI CAMPUHAN – UBUD ,dan pasangan Beliau I Dewa Ketut Wari dengan Ni Gusti Agung Ayu Rai Caklek sebagai cikal – bakal Puri Campuhan.
Setelah empat tahun menghuni Puri Campuhan, malapetakapun datang menimpa Ibunda Ni Gusti Agung Ayu Rai Caklek yaitu menghembuskan nafas terakhir ,tepatnya tahun 1950 dan meninggalkan lima orang putra ,dimana putra bungsu ( Ni Desak Putu Raka / Gobleh ) saat itu baru berusia dua tahun atau delapan bulan bali ( setelah putus disusui ) dan putra sulung baru naik kelas IV S. R ( S . D ). Selanjutnya untuk sementara waktu , putra Almarhum dijaga oleh kakak – kakak iparnya dari Delod Peken terutama kakak sulung yang bernama Ni Gusti Agung Ayu Putu Dibleg ( panggilan Iwa Nik ) bersama suaminya yang bernama I Gusti Agung Gede Krebek ( panggilan Iwa Gede ). Kemudian putra sulung diajak bersama di rumahnya R . Bonnet karena sudah bisa membantu bekerja , misalnya : menyapu, cuci piring dan menjaga rumah ( ngijeng ). Sedangkan ke empat adik – adiknya yang usianya dibawah sepuluh tahun , dititipkan di rumah kelahiran Ayahnda yaitu di Tarukan – Pejeng , dengan pengasuh ( yang mengajak ) adalah : Ni Desak Made Arsi yang berusia sebilan tahun , diasuh oleh I Dewa Putu Kalik dengan diberikan tegalan kelapa (bagian untuk I Dewa Ketut Wari ) agar dihasili guna sekadar biaya hidup putra ke dua tersebut. Namun Ni Desak Nyoman Lungid dititipkan pada Ni Desak Made Gembrong ( cikal – bakal Puri Madya ) dengan diberi menggarap sawah hadiah dari R. Bonnet yang terletak di Subak Belong – Tarukan. Putra ke empat dan ke lima ( bungsu ) dititipkan pada penguasa Puri Semanggen ( Kakek I Dewa Putu Kandel ) yakni : putra bungsu ( Gobleh ) di asuh ( di ajak) I Dewa Putu Binder ( penggarap karang - catu ) . Tapi putra ke empat ( Toklok Jata Sawitur ) tinggal bersama Kakek. Selanjutnya sakeng kaliwat nakalnya putra ke empat ,sehingga tinggalnya maupun pengasuhnyapun tidak jelas atau tak tentu “ hidup semau guwe “ seperti binatang liar, namun semua sameton atau semua Puri perhatian terhadap Si Toklok , terutama dalam urusan makan. Seringnya diberi makan oleh pemilik Puri Rangki ( Niang Desak Putu Tombong). Dan berikutnya pada tahun 1953 Jata . S . di ajak kembali ke Ubud, karena sering sakit perut akibat cacingan yang sangat parah, dimana perutnya besar ( buncit ) badan sangat kurus tak terlihat ada pantat,dan dititipkan di Delod Peken – Ubud , pada Sang Nenek Ni Gusti Agung Ayu Krepetan. Kala kemudian setelah Jata berusia 7 tahun dan telah berani berjalan sendiri menuju tempatnya Bonnet yang berlokasi di depan Hotel Campuhan ( kala itu Hotel merupakan tempat pameran lukisan – lukisan anak buah Bonnet ),untuk menemui Sang Ayah .Hal demikian sering terulang oleh Toklok Jata . S,maka dari itu lalu Jata diajak bersama dirumahnya R. Bonnet menemani kakak sulung. Memang Jata anak yang nakal , sering berbuat ulah bikin Ayah rasa tak enak terhadap Bonnet ,maka Jata pun dititipkan pada Iwa Nik yang “ memondok “ perisis di tempat Gusti Agung Landung sekarang . Sekalipun demikian Jata sering pula menemui Ayah ingin dapatkan makanan . Dari hal itu Jata.S. lagi diajak bersama Sang Ayah di rumah R. Bonnet , namun sikap kenakalan Jata masih saja dilakukan (tak berubah) . Sebab itu makanya Jata lagi dititipkan pada Ibunya I Gusti Agung Ngurah KK ( Iwa Ni Desak Putu Gedegan) di Babakan yang berlokasi di pekarangan Puri Campuhan ( milik Ayah I Dewa Ketut Wari ). Berselang beberapa bulan tinggal bersama ( Iwa Ni Desak Putu Gedegan ) ,kemudian Jata kembali diajak bersama di rumah Bonnet dan mulai bersekolah di S.R No : 2 Ubud yang lokasi Sekolahnya di belakang Pasar Ubud (dikala itu tahun 1955 di depan Sekolah adalah lapangan sepak bola ( alun – alun ) dan sebelah barat alun-alun, adalah Pasar Ubud.
Selanjutnya R . Bonnet dipulangkan oleh Negara R . I tahun 1957 dan Jata kala itu sedang duduk di kelas II S . R . Sedangkan pri hal kontrak rumahnya Bonnet saat itu meninggalkan sisa kontrak lagi 10 tahun ( kontrak tanah yang di bangun rumah berakhir tahun 1967 ). Dan sisa kontrak tersebut dilanjutkan oleh Ayah I Dewa Ketut Wari guna disewakan sebagai penginapan dibantu sebagai “ house ceeping” oleh Pak Adur dari Penestianan Kelod.
Sementara keadaan di Tarukan yakni ; dimana Sak Koli , Lungid dan Gobleh se usai Sang Ibu wafat yang dimakamkan di Ubud , hidup mereka sangat menderita dan menyedihkan . Tiap malam mereka tidur berkumpul di bale dangin Puri Semanggen bersama Kakek tuli ( bongol). Kala itu Gobleh tiap malam menangis ( asih – asih ) karena masih perlu dapat asuhan kasih sayang Ibu . Dari keluarga yang lain tak ada yang peduli sebab mereka pun harus merawat dan mengasuh putra – putranya yang sebaya juga dengan putra-putra Dewa Wari, lagi pula isi perut Si Anak yatim dari Ubud tidak terurus pasti karena pada zaman itu untuk sesuap nasi ukuran di Tarukan sangatlah sulit. Jangankan nasi beras , nasi penuh ketelapun sangat sulit. Dan acap kali makan nasi cacah berek tanpa beras, nasi nangka ,nasi usam bahkan nasi daun jepun ( bunga kamboja ). Selain itu namanya tinggal pada orang lain ,jelasnya beda dengan tinggal bersama orang tua kandung . Pada umumnya tinggal pada keluarga Ibu lah mirip sesuai dengan tinggal bersama Ibu kandung , yang mana kasih sayangnya sama dengan kasih sayang Ibu ,bahkan terkadang lebih dimanjakannya karena rasa iba hati melihat anak yang ditinggal Ibunya ( ubuh ). Namun pada keluarga Ayah pada umumnya , rasa iba itu agak kurang dan sering diperlakukan sebagai pembantu rumah tangga bahkan terkadang serba salah serta malam harinya bisa – bisa menahan perut lapar. Begitulah keberadaan tiga saudara perempuan dari Jata . S di Tarukan, cukup menderita dan sengsara .
Selanjutnya menjelang R.Bonnet pulang kembali ke Negerinya , yaitu pada tahun 1957 ke tiga saudara perempuan tersebut pergi diam – diam dari Tarukan ,dengan berjalan kaki mengikuti jalan raya , melalui Br. Pedapdapan – Pejeng - Bedulu lalu belok kanan melewati Goa Gajah - Dsn . Teges – Br. Kalah – Peliatan - Br.Ambengan ( Pengadangan ) lalu belok kiri melewati Dsn. Tebesaya dan Kutuh - Tukad Mussen - Dsn. Padangtegal dan Taman - sampailah di kelahiran Sang Ibu (di Belakang Pasar Ubud sekarang, tapi dulu tahun 1957 sebelah selatan alun – alun. Dalam perjalanan pulang tiga saudara perempuan tersebut , sampai di Br. Kalah dijumpai oleh Beli Kunter ( tetangga rumah kelahiran Ibu ) yang kala itu Beli Kunter naik sepeda gayung. Sakeng kasihannya melihat Dsk. Putu Raka ( Gobleh ) berjalan sangat lusu sambil menangis – nangis kecil berusaha membuntuti ke dua kakaknya. Kala itu Gobleh berusia 9 tahun dan Koli baru naik ke kelas V . S . R . Demi rasa kasihannya “ Beli Kunter “ melihatnya lalu Gobleh dibonceng oleh Beli Kunter ( goncengan dibelakang ). Karena Desak Putu Raka belum pernah bonc engan sepeda , tanpa disadari tumitnya digilas roji sepeda hingga terkelupas berdarah. Semenjak itu ke lima putra Cikal – bakal Puri Campuhan berada di Ubud yakni Dsk. Nyoman Lungid dan Koli tinggal di rumah kelahiran Ibu . Pada masa itu Bapa Tua ( I wa ) I Gusti Agung Nyoman Gerinding sebagai abadi (parekan ) di Puri Kelodan Ubud , dan Beliau hidup menduda bersama dua orang putri yang usianya sebaya dengan Koli dan Lungid . Disanalah pada tiap malam sekitar pukul delapan , Iwa pulang dari Puri Kelodan membawa sebungkus nasi ( bagian nasinya yang hendaknya dimakan di Puri , namun tidak dimakan di sana ,tapi dibawa pulang buat makan empat orang anak yatim . Dan Jata pun pernah menginap di sana , maka ikut pula mendapat bagian nasi ( nasi yang biasanya dibagi empat lalu dibagi lima ).
Sedang putri bungsu ( Gobleh ) tinggal bersama Iwa Nik / Iwa Gede di Pondok yang lokasinya tepat di rumahnya Gusti Agung Landung. Namun Putra Sulung ( Icu ) dan Toklok Jata Sawitur tinggal bersama Ayah di rumah R.Bonnet . Jata saat itu duduk di kelas II S.R .
Setelah Bonnet pulang , dengan menyisakan kontrak tanah rumahnya 10 tahun lagi, maka dari itu 10 tahun sisanya itu diserahkan kepada Dewa Wari untuk melanjutkan guna disewakan sebagai penginapan, dan Jata tetap bersama Ayah ,tapi Kakak sulung melanjutkan sekolah ke S.M.A ( Sekolah Menengah Atas ) di Denpasar ( in the kous pada Embok Tamped - Kaliungu Kaja ). Sedangkan Koli dan Lungid tinggal di Puri Campuhan Ubud sambil buka jualan ( warung kopi ) di depan bawah Puri Campuhan atau di depan pintu gerbang S.M.P.Santi yoga Campuhan.
Dimana kala itu Embok Ni Made Warsi ( dari Ubud Kelod di belakang rumah kelahiran Sang Ibu anak yatim Puri Campuhan ) pada masa itu bertugas sebagai guru S.R. di Dsn. Sayan , dan tiap hari kerja jalan kaki menuju tempat tugas ( S.R Sayan) se orang diri . Karena Embok Warsi masih gadis remaja ,dan kebetulan Koli dimasa buka warung kopi waktu itu putus sekolah di kelas V S.R .maka oleh Embok Warsi ditawarkan melanjutkan sekolahnya walaupun tahun ajaran sudah lewat beberapa bulan ,namun Embok Warsi siap menerimanya , karena Dia mengajar di kelas V , dengan harapan , biar ada diajak bersama – sama berjalan kaki melewati Dsn .Panestianan menuju sekolah tempat tugasnya. Begitulah prihalnya maka Ni Desak Made Arsi berhasil memiliki Ijazah S.R. Berikutnya Koli melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di Denpasar dan tinggal di tempatnya Embok Tamped / Beli Mileh. Karena tanggungan biaya makan serba terlambat bahkan terkadang kurang / tak cukup, terpaksa Koli ikut membantu Embok Tamped dalam bekerja ,terutama kerja cuci pakaian ,karena Beli Mileh adalah tukang penatu ( laundry sekarang ). Selanjutnya , belum kenaikkan kelas Koli berhenti sekolah ,lalu kembali ke Campuhan Ubud . Karena Ayah ( Apah ) tak bekerja ( kala itu belum ada Hotel Campuhan /masih bangunan tempat pameran lukisan ) maka Koli dan Lungid memeras keringat mencari kepentingan dapur dengan berjualan batu kali ( dagang pilah ) bersama Enbok Ni Made Danti , Ni Gusti Nyoman Korsi dari Taman dan yang lainya. Adapun pilah diambil dan diangkut /dijunjung dari sungai Campuhan untuk dikumpulkan di pinggir jalan raya siap dijual .
Pada suatu hari dilihat oleh Cok. Agung Saren ( raja Ubud terakhir / Ayahnya Cok. Aca ) dan dikenalinya Koli adalah putra I Dewa Ketut Wari, lalu beliau berkata : “ Bihh….Bihh…I Bongol…… ! I Bongol !! Sing ngelah Ijazah nyi Ngoll…? tanya Cok . Agung Saren , lalu Koli menjawab :” Ngelah tu….. Ijazah S.R…. tu “. Cok . Agung lagi tanya :” Nyak… nyi magai……. suwud madagang pilah….. , di tu di Musium dadi penjaga Miusium !” Koli matur :” Inggih tu ..! “. Kemudian Koli berkerja di Musium Ubud. Belum lewat dua bulan kerja di Musium , kemudian Koli matur lagi menghadap Cok .Agung Saren seraya matur :” Ten demen tityang di Musium tu, bengong - bengong ngundap tu “ . Cok Agung menjawab :” Men….men….. dija men Nyi magae ? “. Jawaban Koli :” Yen polih …… mangde di Badung tu “. Cok . Agung menjawab sambil tertawa :” He…he…he…. Di Badung…..nah…nah ! “. Selanjutnya Koli bekerja di Perpustakaan Rakyat yang berlokasi di sebelah timur terminal Kereneng , dan menetap tinggal di Puri Blaluan milik Cok . Oka Kinceng ( Cok. Aji Badung ). Belum lewat tiga bulan kerja di Perpustakaan Rakyat ,lagi Koli menghadap pada Cok. Agung Saren ,karena di Puri Blaluan Koli mendengar kabar bahwa Kepala Kantor Agama ,adalah Cok . Rai Sidarta dari Puri Tanggu Ubud. Koli matur :” Ten demen tityang di Perpustakaan Rakyat tu “ . Cok . Agung menjawab :” He..he…he…. di ja Nyi demen ? “ . Koli menjawab :” Irika…tu.. ring Kantor Agama tu “. Akhirnya Koli pun kerja di Kantor Agama berstatus P.N.S. dengan lamaran Ijazah S .R . Saat itu pegawai di Kantor Agama tidak ada yang ber ijazah S.R. Adapun ijazah terendah adalah Ijazah S. M. A. ,bahkan sebagian besar berijazah B.A /Sarjana. Maka itu ,setelah Koli diangkat ,lalu oleh Cok. Rai , Koli dikursus ngetik di dekat Kantornya ,dengan jangka waktu kursus tiga bulan. Kursus berlangsung baru sebulan lebih beberapa hari ,Koli minta sendiri agar dia segera di uji . Mungkin petugas kursus kenal baik dengan Cok . Rai,maka kKoli pun di uji . Setelah ujian Koli pun minta pada guru kursus :” untuk tutup mata nilai pitu tiyang baang Pak ! “ Tiyang sube megai …. , nyin ditu Kantor tiyang kel nyaluhang ngetik “ . Begitu lah halnya Koli diangkat segai tukang ketik di Kantor Agama ,artinya seolah – olah Cok .Rai dikala itu memerlukan tenaga ketik. Dan selanjut Koli tinggal di Sanglah bersama Gung Ti Gede ( putra Cok . Oka Kingceng ) .
I Dewa Ketut Wari “ up nama “ di R.S.U. Sanglah Juni 1964.
Pada suatu hari Apah sedang menjemur diri di natar pekarang Campuhan ,dengan maksud agar keluar keringat,lalu datang Cok. Agung Saren bersama Cok . Agung Mas menghampiri Apah yang sedang jemur diri di halaman rumah seraya berkata :” Ngol…ngol…..ngolll …. kengken Ci …ngol…., gelem Ci ngol….. beneh Ci sing taen ngenah di bencingah. Kema jemak baju e , ajaka ma ubad !’. Apah menjawab :” Inggih tu “ seraya memakai baju dan Jata yang kebetulan berada di rumah saat itu ,juga ikut bersama Apah . Dengan kendaraan sedan warna hitam yang dikemudi oleh Cok. Mas ,menuju Kereneng Badung ke tempat Prakteknya Dr, Murdowo ( kepala R.S.U.Sanglah ). Terlihat Dr. Murdowo sedang memeriksa pasien ,tapi pasiennya ditinggal menyambut dan Pak Dokter tergopoh - gopoh Cok . Agung Saren. Cok . Agung berkata :” Wo….wo….. wo neng priksa jeleman saya e …… ken - ken ja ia ne “ . Setelah dipriksa Dr. Murdowo memberikan selembar kertas kecil kepada Cok . Agung lalu segera menuju R.S.U.Sanglah dan setelah sampai di Rumah Sakit Apah di up nama disana dan ditunggu oleh Jata , namun tiap harinya Jata tinggal bersama Koli di rumah Gung Ti Gede ,dengan tugas membawakan makanan tambahan dari Gung Ti Gede . Di Rumah Sakit Apah dikunjungi oleh banyak pejabat – pejabat yang berasal dari Ubud.
Kembali dilanjutkan putra ke empat dari I Dewa Putu Kandel ( pewaris Puri Semanggen – Tarukan ) yang bernama I Dewa Putu Kalik kawin dengan Ni Gusti Nyoman Keres ( Kerti ) dari Dsn. Tebesaya – Ubud( warga Arya Pinatih ) menurunkan enam putra bernama :
1.4.1. I Dewa Putu Tantra.
1.4.2. I Dewa Nyoman Mudra ( Bona ).
1.4.3. I Dewa Putu Darmawan ( Merpati ).
1.4.4. I Dewa Made Suryadarma (Merdah).
1.4.5. I Dewa Nyoman Putrawan ( Gareng) .
1.4.6. Ni Dewa Ayu Ketut Suwarni ( Tut Geg ), kawin dengan I Dewa Putu Gede Mataram dari Puri Pusat.
Selanjutnya I Dewa Putu Tantra kawin dengan “ Sumilah “ dari Kediri ( Jateng ), menurunkan enam putra bernama :
1.4.1.1. I Dewa Gede Putu Agus Artawan .
1.4.1.2. Ni Dewa Ayu Made Ariati , kawin deng an I Komang …….dari Dsn . ……. Karangasem.
1.4.1.3. Ni Dewa Ayu Nyoman Tirta Wati ( Miming ).
1.4.1.4. Ni Dewa Ayu Ketut Puspasari kawin dengan I Dewa Putu Sonta dari Puri Campuhan Ubud .
1.4.1.5. Ni Dewa Ayu Putu Indra sari ,kawin dengan I Gusti Ngurah ……..dari Dsn. Sempidi - Badung.
1.4.1.6. I Dewa Gede Made Artantok .
Setelah putra pertama dewasa yakni I Dewa Gede Putu Agus Artawan kawin dengan Ni Desak Putu Debi dari Puri Bucu Br. Tarukan Tengah.
Kemudian putra ke dua dari I Dewa Putu Kalik yang bernama I Dewa Nyoman Mudra ( Bona ) kawin dengan gadis Dayak bernama “ Kurniatini “ ( Tini ) dari Daerah Bontok ( Kalteng ) menurunkan tiga putra bernama :
1.4.2.1. Ni Dewa Ayu Putu Yuni Astuti ( Tutik ) kawin dengan Samsuri dari Jember ( Jatim ).
1.4.2.2. I Dewa Gede Made Agus Sudarsa kawin dengan Ni Dewa Ayu ……..dari Dsn . Sekaan - Bangli .
1.4.2.3. Ni Dewa Ayu Nyoman Triatini kawin dengan I Kadek ……….dari Dsn . Gemeh - Denpasar.
Berikut putra ke tiga dari I Dewa Putu Kalik yang bernama I Dewa Putu Darmawan kawin dengan Ni Gusti Ayu Made Laksmini dari Dsn. ……., Kab. Negara menurunkan tiga putra bernama :
1.4.3.1. Ni Dewa Ayu Putu Widyadnyani kawin dengan Ari …….dari Semarang ( Jateng ) beragama Kristen .
1.4.3.2. I Dewa Gede Made Widyadnyana.
1.4.3.3. I Dewa Gede Nyoman Triadnyana.
Sedangkan putra ke empat yang bernama I Dewa Made Surya Darma kawin dengan Ni Desak Nyoman Suasti ( Coblong) dari Br. Puseh - Pejeng ( warga Satrya Kandel Pejeng ) menurunkan dua putra bernama :
1.4.4.1. I Dewa Gede Putu Surya Pramana Arta.
1.4.4.2. Ni Dewa Ayu Made Indah Pramana Dewi.
Namun putra ke lima yang bernama I Dewa Nyoman Putrawan kawin dengan Ni Putu Sukarwini dari Krambitan – Samsam - Tabanan, menurunkan tiga putra bernama :
1.4.5.1. Ni Dewa Ayu Putu Putri Dewantari.
1.4.5.2. I Dewa Gede Made Agus Putra Mahayana .
1.4.5.3. I Dewa Gede Nyoman Agus Doni Darma Putra .
Tersebut kembali I Dewa Putu Kandel kawin kedua kalinya dengan Ni Desak Made Rai adalah janda dari I Dewa Made Kenting ( adik tiri dari I Dewa Putu Kandel ) menurunkan se orang putri bernama Ni Desak Ketut Menter yang kemudian kawin dengan I Dewa Putu Gudug dari Puri Batan Wani selaku istri kedua.
CIKAL BAKAL PURI PARWA
Diungkap kembali putra ke tiga dari I Dewa Gede Ketut Sengkor ( Puri Semanggen ), yang bernama I Dewa Nyoman Suta kawin dengan Ni Desak Ketut Monteg dari Puri Rangki menurunkan empat putra bernama :
3.1. I Dewa Putu Gug ( jejaka tua / brahmacari ).
3.2. I Dewa Nyoman Sonolan.
3.3. I Dewa Ketut Kotogan wafat dalam usia jejaka ( truna ).
3.4. I Dewa Made Lebeng.
Kemudian I Dewa Nyoman Suta bersama putra – putranya pindah dari Puri Semanggen dan mendirikan puri di sebelah utara Puri Kanginan ( puri Kanginan dibagi dua bagian ) yang disebut PURI PARWA ,serta pasangan I Dewa Nyoman Suta dengan Ni Desak Ketut Monteg sebagai cikal – bakal Puri Parwa.
Setelah dewasa putra ke dua I Dewa Nyoman Suta yang bernama I Dewa Nyoman Sonolan kawin pertama dengan Ni Desak Putu Kompyang dari Puri Abing menurunkan putra tunggal bernama ;
3.2.1. I Dewa Putu Tambrin. Tetapi kemudian pasangan tersebut cerai , dimana Ni Desak Putu Kompyang kembali pulang ke orang tuanya bersama putra tunggalnya yang masih kanak – kanak. Karena menduda lalu I Dewa Nyoman Sonolan kawin ke dua dengan Ni Desak Made Pendet dari Puri Semanggen ( Putri dari I Dewa Ketut Cenikan ) menurunkan tiga putra bernama :
3.2.2. Ni Desak Made Suji kawin dengan I Dewa Putu Kanca dari Dsn. Melayang yang lokasi rumah tinggalnya di sebelah selatan Pura Penataran ( pekarangan no : 2 dari Pura Penataran - Melayang ).
3.2.3. I Dewa Nyoman Samba.
3.2.4. I Dewa Ketut Rata ( Lelung) , wafat usia 23 tahun yaitu tahun 1999 ).
Selanjutnya putra pertama dari I Dewa Nyoman Sonolan yang bernama I Dewa Putu Tambrin kawin pertama dengan Ni Nyoman ……..dari Dsn. ……….. Kab. Karangasem menurunkan enam putra bernama :
3.2.1.1. I Dewa Gede Putu Artawan ( Jontol ) , wafat usia 22 tahun.
3.2.1.2. I Dewa Made Darmawan ( Kijem) .
3.2.1.3. I Dewa Nyoman Sugiawan ( Kebo ).
3.2.1.4. Ni Desak Ketut …….. kawin dengan I ….. dari ……..
3.2.1.5. Ni Desak Putu …… kawin dengan I …….. dari …….
3.2.1.6. Ni Dewa Ayu Nyoman ………. ( buta ) karena salah obat ketika terserang sakit merah waktu masih bayi . Pada saat putri bungsu ( Si Buta ) ini dilahirkan , Ibunya wafat melahirkan dan Si Buta diasuh oleh Pamannya ( I Dewa Nyoman Samba ).
Sakeng tidak tahan menduda lalu I Dewa Putu Tambrin kawin ke dua dengan Ni Ketut Tangi dari Dsn . Beteng - Buleleng menurunkan dua putra bernama :
3.2.1.7. I Dewa Putu Sudi Artawa .
3.2.1.8. I Dewa Made Suteja.
Selanjutnya putra ke dua dari I Dewa Putu Tambrin yang bernama I Dewa Made Darmawan ( Kijem ) kawin dengan Ni Wayan Mudiani dari Dsn. Kendran - Tegalalang menurunkan putra bernama :
3.2.1.2.1. I Dewa Gede Putu ……… wafat usia 5 tahun.
3.2.1.2.2. Ni Dewa Ayu Made ………
Kemudian putra ke tiga dari I Dewa Putu Tambrin yang bernama I Dewa Nyoman Sugiawan ( Kebo ) kawin dengan Ni ……. Dari ……….. menurukan putra bernama :
3.2.13.1. Ni Dewa Ayu ……..
3.2.1.3,2, ………….
Kembali pada putra ke empat ( bungsu ) dari I Dewa Nyoman Suta ( Puri Parwa ) yang bernama I Dewa Made Lebeng kawin dengan Ni Desak Putu Rentet dari Puri Dangin Telabah ( warga dari Dukuh - Pejeng ) menurunkan empat putra bernama :
3.4.1. I Dewa Putu Tama kawin dengan ……..( agama islam ) dari Pelangka Raya ( Kalteng) dan Sang Suami ( Dewa Tama ) mengikuti Agama Sang Istri ( Agama Islam ).
3.4.2. I Dewa Made Sudira ( De Pus ).
3.4.3. I Dewa Made Widiasa .
3.4.4. Ni Desak Nyoman Ngeping kawin dengan Erik ( Agama Kristen ) dari Pulao Rote ( N.T.T. ).
Kemudian I Dewa Made Sudira kawin dengan …………. Dari Jawa ……. ( beragama Islam ) menurunkan putra bernama :
……….
……
Selanjutnya I Dewa Made Widiasa kawin dengan Ni Desak Putu …….( Tu Badung ) dari Puri Dauh Telabah ,menurunkan putra tunggal bernama :
3.4.4.1. I Dewa Gede Putu ………. dan sayang baru ber umur 5 bulan Sang Bayi ditinggal oleh Sang Ibu karena Ibunya wafat ,lagi pula belum di upacara “ ma pajati /ma jauman “.
Diceritrakan kembali putra ke empat ( bungsu ) dari I Dewa Gede Ketut Sengkor ( Puri Semanggen ) yang bernama I Dewa Ketut Cenikan kawin dengan Ni Desak Kompyang Jering dari Dsn . Melayang – Pejeng Kaja yang lokasi rumah lahirnya di sebelah selatan Pura Mrajan Agung - Melayang ( selat tembok panyengker Mrajan Agung ),menurunkan dua putra bernama :
4.1. I Dewa Putu Goyor.
4.2. Ni Desak Made Pendet kawin dengan I Dewa Nyoman Sonolan dari Puri Parwa sebagai istri ke dua.
Setelah dewasa I Dewa Putu Goyor kawin dengan Ni Desak Putu Rai Belad ( janda ) dari Puri Kajanan , adalah mantan istri I Dewa Made Kari dari Puri Batan Wani, menurunkan dua putra bernama :
4.1.1. I Dewa Nyoman Wija ( Man Celeng ).
4.1.2. Ni Desak Ketut Suci kawin dengan I Dewa Made Kaca dari Puri Batan Wani sebagai istri ke dua.
Selanjutnya I Dewa Nyoman Wija dalam usia 55 tahun tahun 1999 kawin dengan gadis usia 21 tahun bernama Ni Made …….. warga Pameregan dari Br. Tarukan Kelod menurunkan tiga putra bernama :
4.1.1.1. Ni Dewa Ayu Putu ……. ( Elen ) .
4.1.1.2. I Dewa Gede Made ……. ( Dek Guar ).
4.1.1.3. I Dewa Gede Nyoman ………..
CIKAL BAKAL PURI DAUH TELABAH
Tersebutlah putra istri selir dari I Dewa Gede Ketut Sengkor ( Puri Semanggen ) yang bernama I Dewa Made Kenting kawin dengan Ni Desak Made Rai dari Dsn Melayang - Pejeng Kaja yang lokasi rumah lahirnya bersebrangan ( numbak marga ) dengan Pura Mrajan Agung – Melayang atau pekarangan no: 2 dari utara ( delod pangkung ) menurunkan empat putra bernama :
5.1. Ni Desak Putu Tunas ( Gebreg ) kawin dengan I Dewa Putu Liyep dari Dsn. Cagaan - Pejeng Kangin yang lokasi rumahnya (dajan pangkung) di seberang Balai Banjar ( Mrajan Gede Cagaan ).
5.2. I Dewa Ketut Ngepeng.
5.3. I Dewa Made Sadia.
5.4 . Ni Desak Nyoman Lenok wafat dalam usia 19 tahun karena sakit “ bebai “.
Selanjutnya pasangan I Dewa Made Kenting dengan Ni Desak Made Rai pindah dari Puri Semanggen dan mendirikan Puri Dauh Telabah ( bertetangga dengan Puri Kawan ) yang disebut PURI DAUH TELABAH ,serta pasangan Beliau sebagai cikal – bakal nya.
Lama kemudian setelah Ni Desak Made Rai menjanda ,lalu dikawini lagi oleh ipar tirinya yang tertua dari Puri Semanggen , yang bernama I Dewa Putu Kandel sebagai istri ke dua menurunkan putri tunggal yakni Ni Desak Ketut Menter ( istri ke dua I Dewa Putu Gudug , Puri Batan Wani ).
Selanjutnya putra ke dua Puri Dauh Telabah yang bernama I Dewa Ketut Ngepeng kawin dengan Ni Wayan Ruket warga Pameregan yang lokasi rumah lahirnya di pojok barat laut Br. Tarukan Kaja menurunkan lima putra bernama :
5.2.1. I Dewa Made Asta ( De Pak ).
5.2.2 Ni Desak Nyoman Riyed kawin dengan I Dewa Made Cakra dari Puri Dukuh Tarukan ( warga dari Dukuh Pejeng Kawan )
5.2.3. I Dewa Ketut Rata ( Tut Kolok ).
5.2.4. Ni Desak Putu Pasung kawin pertama dengan I Dewa Ketut Lanus dari Puri Sor Pura, dan kemudian setelah menjanda kawin ke dua dengan I Wayan Mering warga Pameregan yang rumah lahirnya ( selat tembok penyengker dengan Panti Salahin )sebelah utara Pura Panti.
5.2.5. I Dewa Made Merta ( De Nik ).
Selanjutnya putra pertama dari I Dewa Ketut Ngepeng yang bernama I Dewa Made Asta kawin dengan Ni Desak Made Rai Jantak dari Puri Semanggen menurunkan dua putra bernama :
5.2.1.1 Ni Dewa Ayu Putu …….. ( Demlem) kawin dengan I Dewa ………. Warga Satrya Taman Bali dari Dsn. Grokgak - Buleleng .
5.2.1.2. I Dewa Made ……… ( Dek . Lung ) kawin dengan Ni Desak ……….. warga Taman Bali dari Dsn. Kusamba - Klungkung menurunkan putra bernama :
5.2.1.2.1. I Dewa Gede Putu ………..
Berikutnya putra ke tiga dari I Dewa Ketut Ngepeng yang bernama I Dewa Ketut Rata kawin dengan Ni Desak Made Ari ( Mundeh ) dari Puri Batan Wani , menurunkan empat putra bernama :
5.2.3.1. Ni Dewa Ayu Putu …… ( Tu Badung ) kawin dengan I Dewa Made Widiasa dari Puri Parwa.
5.2.3.2. I Dewa Made ……. ( Yusup) kawin dengan Ni …….. dari Br. Tiyingan – Bayuwatis – Seririt - Buleleng.
5.2.3.3. Ni Dewa Ayu Nyoman ……… kawin dengan Ida Bagus ……. Dari Dsn. Sanur - Badung sebagai istri ke dua.
5.2.3.4. I Dewa Ketut ………
Sedangkan putra ke lima dari I Dewa Ketut Ngepeng yang bernama I Dewa Made Merta ( De Nik) kawin dengan Ni Gusti Ayu Sulastri dari Dsn . Sedang - Badung menurunkan dua putra bernama :
5.2.5.1. I Dewa Gede Putu …….. kawin dengan ………….. dari Dsn ……… Kab….
5.2.5.2. I Dewa Gede Made ……….
Disebutkan kembali putra bungsu dari I Dewa Made Kenting yang bernama I Dewa Made Sadia kawin dengan Ni Desak Made Kulajen dari Dsn. Melayang Pejeng Kaja ( adik kandung dari Ni Desak Putu Kompyang Jering / ibu I Dewa Putu Goyor Puri Semanggen ) menurunkan dua putri bernama :
5.3.1. Ni Desak Made Sari ( Kanya / tak kawin ).
5.3.2. Ni Putu Jantuk ( Kanya / tak kawin ) ,wafat dalam usia 50 tahun yaitu tahun 2003.
KISAH WARGA PURI ABING IKUT TEDUN MAKSAN DI MERAJAN AGUNG
Sameton Puri Abing tedun maksan di Merajan Agung Satrya Kabetan mulai tahun 1983 ,dimana ketika itu wafatnya I Dewa Putu Karsa Puri Abing di Buleleng dan dimakamkan di Tarukan. Karena wafatnya tergolong “ mati salah pati” maka bagi keluarganya terkena “sebel” selama 42 hari ( a bulan pitung dina ). Dikala itu beberapa minggu lagi “ panemon wali” di Merajan Agung Tarukan, dan masih dalam situasi sebel karena wafatnya I Dewa Putu Karsa ( belum lewat a bulan pitung dina ). Jadi dalam peparuman sameton Merajan Agung timbul kontradiksi ,hal mana sebagaian sameton berpendapat “ wodalan “tak perlu dilanjutkan karena sameton ‘ nyaluk sebel”. Dan sebagian lagi berpendapat ‘ wodalan tetap dilanjutkan “ karena I Dewa Putu Karsa dan saudara – saudaranya bukan termasuk “ memaksan” di Merajan Agung. Kemudian dalam pembahasan saat itu,yang mana bila wodalan tetap di lanjutkan , sebagian besar dari sameton akan luput karena sebel karena hubungan puri Kajanan dengan Puri Abing yakni karena Ni Desak Putu Munik istri I Dewa Putu Baruk Puri Abing. Puri Parwa dengan Puri Abing yakni karena Ni Desak Putu Kompyang Puri Abing istri dari I Dewa Nyoman Sonolan. Puri Batan Wani dengan Puri Abing yakni karena Ni Desak Putu Ngenes istri I Dewa Made Glibeg Puri Abing. Di Puri Semanggen yakni Ni Desak Putu Rai Belad adik kandung dari Ni Desak Putu Munik. Puri Bucu dengan Puri Abing yakni Ni Desak Putu Raka Nyempeng istri I Dewa Ketut Mita Puri Abing. Dari karena begitu adanya , lalu diambil sikap bahwa Pengurus Merajan Agung mengadakan pendekatan dengan keluarga Puri Abing untuk menindak lanjuti permohonan warga Puri Abing sebelumnya yang pernah mereka ajukan bahwa ;mereka ingin ikut “ tedun memaksan “ di Merajan Agung dengan alas an ; Hubungan warga Puri Abing dengan seluruh sameton Kabetan dalam sehariannya sudah menyatu dalam segala situasi dan kondisai apapun,baik dalam upacara adat Agama maupun dalam rasa ikatan sameton, bahkan dalam upacara pitra yadnyapun sudah “ sumbah – kesumbah”. Lalu dalam pendekatan mereka menyatakan siap ikut “tedun maksan” sesuai harapan nya, kecuali I Dewa Ketut Puja ( Tut Patokan) yang menetap tinggal di Singaraja karena memang tiada niatnya untuk kembali ke Tarukan.
Jadi karena keluarga Puri Abing sudah menyatakan siap untuk tedun dan siap menerima “ aran” ( pemberitahuan perintah kewajiban maksan), maka wodalan di Merajan Agung kala itu tidak dilanjutkan karena semua warga sameton Merajan Agung “ kesebelan”.
Demikianlah kisah awal masuk petedun Merajan Agung.Namun sebenarnya dikala tahun itu mereka belum mendirikan Puri Abing dan masih berstatus nompleng tinggal di Puri Bucu.
KENANGAN MANIS i Dewa Putu Sempol puri Semanggen dengan warga Puri Batan Wani pada tanggal 25 September 1996 di halaman Puri Pusat sampai ke halaman Puri Semanggen ,sekitar jam 5 .00 sore menjelang mandi. Berawal dari putra I Dewa Made Surya Darma kehilangan sepeda gayong di hari nyaga – nyaga Nyepi dan sudah ditemukan. Bermasalah benang merah di bulan September 1996.
JANGAN TERLUPAKAN.
KISAH PURI BATAN WANI (mohon doa restu pakulun Dewa Hyang Leluhur Puri Batan Wani Atas niat baik hamba sujud bakti kehadapan Paduka ,dan hati nurani hamba menuntut JANGAN LUPAKAN leluhur Batan Wani yang tak pernah bermasah dengan penulis. Semoga tak ada halangan).
Tersebutlah orang yang namanya I Dewa Putu Undisan bersama istrinya dari Daerah Petak yang bernama Ni Desak Nyoman Petak dan empat orang putranya yang bernama :
1. Ni Desak Nyoman Tarken.
2. I Dewa Putu Undisan ( sama dengan nama ayahnya ).
3. I Dewa Made Kalis .
4. I Dewa Gede Nessa.
Mereka datang ke Tarukan setelah setahun Puri Kraton Dewa Kabetan berdiri. Kedatangan mereka memang menyusul kedatangan I Dewa Gede Oka Besar di Tarukan. Adapun mereka berpisah dengan keluarganya yang menetap di Pejeng selaku pengabih andel – andel Puri Soma Negara Pejeng, yang lokasi Purinya disebelah selatan Griya Sandin g
Setibanya di Tarukan lalu I Dewa Putu Undisan mendirikan rumah disebelah utara Puri Kraton Kabetan ( selat tembok panyengker Puri). Jadi berdampingan dengan I Dewa Gede Oka Besar.
Beberapa lama kemudian I Dewa Putu Undisan kawin kedua dengan Ni Luh Wayan Dawan dari warga Puaji yang lokasi rumah diseberang jalan raya berpapasan dengan Puri Batan Wani dan menurunkan dua putra bernama ;
5. Ni Desak Putu Dawan kawin dengan I Dewa Ketut Gesaiuh dari Puri Pusat Tarukan
6. I Dewa Made Rai.
Kemudian putra pertama yang bernama Ni Desak Nyoman Tarken kawin ke Dsn, Sawa Gunung,namun tidak menurunkan pertisentana.
Selanjutnya putra kedua dari I Dewa Putu Undisan dengan Ni Desak Nyoman Petak yang bernama I Dewa Putu Undisan ( sama dengan nama ayahnya ) kawin pertama dengan Ni Desak Ketut Lengser menurunkan dua putra bernama:
2.1 I Dewa Made Molog.
2.2. I Dewa Ketut Kacung.
Adapun perkawinan mereka berlangsung di Dsn Melayang Pejeng Kaja , karena I Dewa Putu Undisan memang sejak muda jejaka telah merantau di Melayang. Sehingga untuk seterusnya mereka itu menetap di Melayang .
Lama kemudian I Dewa Putu Undisan kawin kedua dengan ( TAK TERINFORMEN ) menurunkan dua putra bernama:
2.3. I Dewa Putu Sugrug.
2.4 I Dewa Made Kandel Kannya ( tak kawin ).
Disebutkan putra pertama yang bernama I Dewa Made Molog kawin dengan Ni Desak Nyoman Tupli dari Melayang ,yang selanjutnya mereka merantau ke Daerah Busungbiyu – Buleleng,. menurunkan tiga putra bernama :
2.1.1. I Dewa Putu Patra.
2.1.2. I Dewa Nyoman Krempeng .
2.1.3. I Dewa Ketut Bawa .
Kemudian I Dewa Putu Patra kawin dengan ......... menurunkan putra :
2.1.1.1..............
2.1.1.2
Sedangkan I Dewa Nyoman Krempeng kawain dengan ..........menurunkan putra bernama :
2.1.2.1.......
2.1.2.2
Namun I Dewa Ketut Bawa kawin dengan Ni Desak Nyoman Ledang dari Melayang adalah sepupunya di Melayang dan menurunkan putra bernama ;
2.1.3.1...........
2.1.3.2.
Kembali disebutkan putra kedua dari I Dewa Putu Undisan dengan Ni Desak Ketet Lengser yang bernama I Dewa Ketut Kacung kawin dengan Ni Desak Putu Kompyang Plesir dari Puri Abing Tarukan adalah janda dari I Dewa Nyoman Sonolan Puri Parwa Tarukan , namun tidak menurunkan putra.
Sementara putra I Dewa Putu Undisan dengan istri tak terinformen yang bernama I Dewa Putu Sugrug kawin dengan tak terinformen menurunkan putra bernama ;
2.3.1. I Dewa Putu Mandra.
2.3.2. I Dewa Made Kisid.
Kemudian I Dewa Putu Mandra kawin dengan Ni Warsi ( jero Warsi ) menurunkan tiga putra bernama ;
2.3.1.1. Desak Nyoman Ledang kawin dengan I Dewa Ketut Bawa ( Busungbiyu).
2.3.1.2. I Dewa Ketut Jasa.
2.3.1.3. I Dewa ............
Tersebut I Dewa Ketut Jasa kawin dengan ....... menurunkan putra ; belum terinformen.
Sedangkan adiknya yang bernama I Dewa.......kawin dengan ........
Begitu pula halnya I Dewa Made Kisid kawin dengan Ni Desak Made Munek dari Dsn , Belusung menurunkan tiga putra bernama :
2.3.2.1. I Dewa Putu Togog kawin dengan ........
2.3.2.2. Ni Desak Made ..........kawin dengan ......
2.3.2.3. I Dewa Nyoman ....... kawin dengan ........
KEMBALI diceritrakan Putra ketiga dari I Dewa Putu Undisan dengan Ni Desak Nyoman Petak yang bernama I Dewa Made Kalis semenjak usia muda telah tak pernah pulang ke Tarukan ,yang mana Beliau merantau ( ngalu) di Dsn . Sawa Gunung tinggal bersama di rumah suami Kakak tertua yang bernama Ni Desak Nyoman Tarken sampai akhirnya kawin dengan Ni Desak Putu Randat dari Sawa Gunung, Hal mana pernikahannya dilangsungkan di Sawa Gunung dengan meminjam tempat pernikahan pada suami Kakak tertuanya., serta untuk sementara waktu Beliau bersuami – istri langsung numpang tinggal di sana.
Berikutnya atas desakan Puri Pusat , maka Pewaris Puri Batan Wani bersama Pewaris Puri Pusat berhasil mengajak I Dewa Made Kalis dan istrinya , kembali pulang ke Tarukan dan di izinkan mendirikan rumah di sudut jalan simpang empat ( rurung dauh) Tarukan. Maka itu Purinya kita namai PURI BUCU..
Setelah tinggal di Puri Bucu lahirlah seorang putri bernama Ni Desak Putu Santer , kawin dengan I Dewa Putu Tagel dari Puri Batan Bingin dengan status nyentanin,
Pasangan Ni Desak Putu Santer dengan I Dewa Putu Tagel menurunkan seorang putra bernama I Dewa Kompyang Gading.
Namun berikutnya I Dewa Putu Tagel kawin kedua dengan Ni Desak Nyoman Berasut dari Dsn Manik Tawang – Tampaksiring,menurunkan seorang putri bernama Ni Desak Putu Raka Nyempeng kawin dengen I Dewa Ketut Mita Puri Abing.
Lanjut diceritrakan I Dewa Kompyang Gading kawin dengan Ni Desak Made Cuklek dari Puri Pusat menurunkan enam putra bernama ;
1. I Dewa Putu Raka Kertas.
2. Ni Desak Made Martini ( Kalam ) kawin dengan I Dewa Made Besar dari Puri Kawan.
3. I Dewa Ketut Wija ( Nyangluh ).
4. Ni Desak Putu Oka Jarak kawin dengan Engki orang Ambon agama Kristen.
5. I Dewa Made Berata.
6. I Dewa Nyoman Berati Kanya.
Kemudian putra pertama dari I Dewa Kompyang Gading yang bernama I Dewa Putu Raka kawin dengan Nyi Nelly orang Ambon menurunkan tiga putra bernama ;
1.1. Ni Desak Putu Sri kawin dengan I Dewa Putu Darta dari Puri Tanggu.
1.2..I Dewa Made Putra ( Pal lik) kawin dengan Ni Gusti Ayu dari Dsn, Taman – Ubud warga Arya Wang Bang Pinatih,menurunkan putra :
1.2.1 ...........
1.2.2...........
Sedangkan putra ketiga dari I Dewa Kompyang Gading yang bernama I Dewa Ketut Wija ( Nyangluh) kawin dengan Ni Desak Putu Raka ( Obeng) dari Puri Duwuran Pejeng keturunan dari saudara leluhur cikal – bakal Puri Batan Wani yang lokasi rumahnya di sebelah selatan Griya Sanding – Pejeng,serta menurunkan dua putra bernama
3.1. Ni Desak Putu Debi kawin dengan I Dewa Putu Agus Artawan dari Puri Semanggen.
3.2. I Dewa Made Rama kawin dengan Si ......dari Jawa,menurunkan putra ;
3.2.1. ........
3.2.2.
Namun putra ke lima dari I Dewa Kompyang Gading yang bernama I Dewa Made Berata kawin dengan Nyonya Cina yang bernama ........ dari Ambon menurunkan putra :
5.1.
5.2.
Kembali diceritrakan putra bungsu dari I Dewa Putu Undisan dengan Ni Desak Nyoman Petak yang bernama I Dewa Gede Nessa ,beliau wafat sebelum kawin karena fitnah sehingga terhukum mati di Setra Pejeng
Kemudian putra I Dewa Putu Undisan dengan Ni Luh Wayan Dawan yang bernama I Dewa Made Rai selaku pewaris tunggal Puri Batan Wani,kawin dengan Ni Desak Made Kemul dari Puri Semanggen menurunkan tiga putra bernama :
1. I Dewa Putu Gudug.
2. I Dewa Made Kari.
3. I Dewa Nyoman Kantun.
Adapun I Dewa Made Rai berstatus pewaris tunggal,karena semua saudara tirinya tidak ada yang menetap di Puri Batan Wani, halmana sebelum putra Ni Luh Wayan Dawan menginjak dewasa,mereka telah pada merantau mengadu nasib masing – masing. Pada awalnya setelah Ni Desak Nyoman Petak dimadu, mulailah Beliau sakit sampai akhirnya wafat meninggalkan empat orang putra. Semenjak Sang Ibu almarhum meninggal dunia sepertinya empet putra tersebut kurang perhatian dari Sang Ibu tiri. Maka dari itu Ni Desak Nyoman Tarken selaku putra tertua dari mereka berusaha menjamin isi perut adik – adiknya sebagai pengganti Sang Ibu almarhum. Namun sakeng tidak betahnya tinggal bersama Ibu tiri ,lalu Beliau kawin dengan orang dari Sawa Gunung warga Satya Taman Bali ,tapi sayang tak menurunkan sentana. Semenjak Sang Kakak tertua kawin, I Dewa Putu Undisanpun merasa kehilangan orang yang menjamin hidupnya ,sehingga akhirnya mengadu untung di Dsn Melayang.Disanalah I Dewa Putu Undisan mendapat jodoh dan lanjut menetap di Melayang,karena merasa lebih mendapat perhatian dari keluarga istrinya.Begitu pula halnya dengan I Dewa Made Kalis pergi meninggalkan Puri Batan Wani dan ikut bersama Kakak tertua di Sawa Gunung sampai akhirnya disana mendapat jodoh warga Satrya Taman Bali. Semenjak empat bersaudara tersebut meninggalkan puri Batan Wani, mereka sangat jarang sekali pulang ke Puri Batan Wani,bahkan Ni Desak Nyoman Tarken hingga wafat di Sawa Gunungpun sama sekali tak pernah pulang,sehingga warga Puri Batan Wani yang mewarisi Puripun, sampai – sampai tidak mengenalnya. Begitu pula keturunan I Dewa Made Kalis terkesan tidak ada hubungan darah keturunan dengan warga Puri Batan Wani. Terlebih lagi I Dewa Putu Raka Puri Bucu pernah memperkenalkan dirinya bahwa mereka warga Puri Bucu,adalah warga Satrya Taman Bali.Sedangkan keturunan I Dewa Putu Undisan Melayang,sebagian merasa ada hubungan darah hanya dengan warga Puri Bucu ,dan sebagian merasa bercikal –bakal dari Puri Batan Wani. Setelah abad ke 20 an ,barulah diantara keturunan empat bersaudara tersebut menyadari bahwa cikal – bakal para Lingsirnya berpusat di Puri Batan Wani Tarukan. Memang kiranya di masa-masa dahulu itu,yang namanya anak tiri, barangkali biasa seperti dalam ceritra - ceritra dongeng maupun ceritra dalam film – film yang pernah kita dengar dan yang pernah kita lihat. Bahkan lakon-lakon tari arjapun kebanyakan mengisahkan tentang ” Ibu tiri, anak tiri, istri yang dimadu memperebutkan hak waris bagi putra kandung masing – masing dengan segala cara.
KEMBALI DICERITRAKAN putra pewaris tunggal Puri Batan Wani yang bernama I Dewa Made Rai setelah menurunkan tiga putra,dimana putra pertama yang bernama I Dewa Putu Gudug kawin pertama dengan Ni Desak Ketut Longker dari Puri Pondok. Karena lama tidak menurunkan putra,lalu I Dewa Putu Gudug kawin kedua dengan Ni Desak Ketut Menter dari Puri Semanggen,menurunkan dua putri bernama :
1.1. Ni Desak Putu Ngenes kawin dengan I Dewa Made Glibeg dari Puri Abing.
1.2. Ni Desak Nyoman Rai ( Rombe) kawin dengan I Dewa Made Men dari Puri Tanggu.
Setelah istri kedua ( Ni Desak Ketut Menter )menurunkan dua putra,lalu kemudian istri pertama ( Ni Desak Ketut Longker) juga menurunkan empat putri bernama;
1.3. Ni Desak Putu Suwarni ( Leket ) Kanya.
1.4. Ni Desak Made Ari ( Mundeh) kawin dengan I Dewa Ketut....Rata (Tut Kolok) dari Puri Dauh Telabah.
1.5. Ni Desak Nyoman Lungid kawin dengan I Dewa Nyoman Purdi dari Puri Batan Bingin.
1.6. Ni Desak Ketut Nadri ( Tut Pongek) kawin dengan sepupunya satu halaman rumah yang bernama I Dewa Nyoman Subrata,menurunkan dua putra bernama:
1.6.1. Ni Desak Putu Astiti ( Membo) kawin dengan I Dewa Gede Artawa dari Puri Semanggen.
1.6.2. I Dewa Made Oka ( Dek Lengoh)kawin dengan Ni Wayan Yuniari ( Luh Kandik) warga Puaji dari Pondok dangin tukad Tarukan ,menurunkan......
Sementara putra kedua pewaris tunggal Batan Wani yang bernama I Dewa Made Kari kawin dengan janda I Dewa Nyoman Mendir Puri Semanggen,yang bernama Ni Desak Made Dugler,menurunkan tiga putra bernama :
2.1. Ni Desak Putu Nasih ( Bunter) kawin dengan Toklok Jata Sawitur dari Puri Semanggen.
2.2. I Dewa Made Wirata ( Topi)
2.3. Ni Desak Nyoman Kerti ( Man Cina) kawin dengan orang Maumere beragama Kristan Katolik yang bernama Isshak Viator,menurunkan tiga putra bernama:
#.Nong Putu Botha.
#. Made Botha.
#. Ketut Wiwik
Sedangkan putra kedua yang bernama I Dewa Made Wirata kawin dengan Ni Desak Ketut Alit dari Puri Pondok,menurunkan dua putra bernama:
2.2.1. Ni Desak Putu ....... ( Unyil) kawin dengan I Dewa .......dari Batubulan,keturunan I Dewa Kamasan Bitra,soroh Dewa Meregan,warga Dewa Manggis Kuning Beng/ Gianyar.
2.2.2. I Dewa Made ....... ( Dek Kobar).
Namun putra ketiga dari pewaris tunggal Batan Wani yang bernama I Dewa Nyoman Kantun kawin dengan Ni Desak Made Rawet dari Puri Soor Pura,menurunkan delapan putra bernama:
3.1. I Dewa Made Kaca.
3.2. I Dewa Nyoman Subrata.
3.3. I Dewa Ketut Samba.
3.4. Ni Desak Putu Wenten kawin dengan I Dewa Ketut Lara dari Puri Kajanan.
3.5. I Dewa Nyoman Mudra ( Lembut).
3.6. Ni Desak Ketut Mudri kawin dengan I Dewa Putu Suardi ( Lindung) dari Puri Kanginana.
3.7. I Dewa Putu Darma.
3.8. I Dewa Made Sudira ( Dek Kung).
Kemudian putra pertama dari I Dewa Nyoman Kantun dengan Ni Desak Made Rawet yang bernama I Dewa Made Kaca kawin pertama dengan Desak Sumur dari Busungbiyu Buleleng menurunkan se orang putra bernama:
3.1.1. I Dewa Putu Sumardika ( Pacul),dimana baru berusia dua bulan, lalu dipisahkan dengan Si Ibu dan menetap di Tarukan bersama Sang Ayah,namun Sang Ibu ditinggal di Busungbiyu dan Sang Ayah tak pernah rujuk lagi dengan Ibu Si Pacul. Selanjutnya I Dewa Made Kaca kawin kedua dengan Ni Desak Ketut Suci dari Puri Semanggen menurunkan dua putra bernama :
3.1.2. I Dewa Putu Dwiaryana ( Pacal).
3.1.3 I Dewa Made Triaryana ( Polan) kawin dengan Ni Wayan ........dari Badung menurunkan putra bernama:
3.1.3.1 Dewa Putu .......
3.1.3..2. Desak Made .......
Sementara putra kedua dari I Dewa Nyoman Kantun dengan Ni Desak Made Rawet yang bernama I Dewa Nyoman Subrata kawin dengan sepupunya yang bernama Ni Desak Ketut Nadri menurunkan dua putra bernama:
3.2.1. Ni Desak Putu Astiti ( Membo) kawin dengan I Dewa Gede Komang Artawa dari Puri Semanggen.
3.2.2. I Dewa Made Oka( Dek Lengoh ) kawin dengan Ni Wayan Yuniari ( Luh Kandik).
Namun putra ketiga dari I Dewa Nyoman Kantun yang bernama I Dewa Ketut Samba kawin dengan Ni Desak Made Wati ( Katek) dari Puri Pusat menurunkan tiga putra bernama:
3.3.1. I Dewa Putu ........( Upik)
3.3.2. Ni Desak Made .....( Upek) kawin dengan .......dari .......
3.3.3. Ni Desak Nyoman .....( Mang Cis)kawin dengan i Dewa Gede Putu Mahendra dari Puri Pusat.
Sedangkan putra kelima dari I Dewa Nyoman Kantun yang bernama I Dewa Nyoman Mudra ( Lembut)kawin dengan Ni Dewa Ayu Putu Lilik Puspa dari Puri Pusat menurunkan putra bernama:
3.5.1. I Dewa Putu Agung,meninggal usia 15 tahun.
3.5.2. Ni Desak Made .....
Begitu pula putra ke tujuh dari I Dewa Nyoman Kantun yang bernama I Dewa Putu Darma kawin dengan Ni Desak Made .....dari Puri Abing,menurunkan putra bernama:
3.7.1. I Dewa Putu ........
3.7.2. I Dewa Made ......
Berikutnya putra bungsu dari I Dewa Nyoman Kantun yang bernama I Dewa Made Sudira ( Dek Kung ) kawin dengan Ni ......... dari Badung.
CIKAL BAKAL PURI DUKUH.
Tersebutlah seorang pria jejaka muda dari Dsn. Dukuh Pejeng pergi meninggalkan Dusun nya karena suatu masalah di Dsn. Dukuh dan menetap segagai abdi ( pengangon bebek) pada seorang sudra Wangsa di Dsn. Tengkulak.
Suatu hari I Dewa Gede Made Sedan Besar pulang dari berjudi ( matajen) di jaba Pura Batan Pole Mas – Ubud melihat seorang bocah sedang menangis tersedu – sedu duduk di bawah sebuah pohon kelapa yang belum pernah berbuah ( nyuh tubuh ) Lalu anak itu dihampiri dan ditanya mengapa
INSKLOPEDI PURI BATAN BINGIN
Rangkuman khabar berita yang didengar dari orang – orang masyarakat Tarukan dan semua cerita dari mereka bernada sama. Namun disini ditulis hanya beberapa nama dari mereka yang pernah berc erita kepada si penulis ( sebagai nara sumber informen) adalah :
*. Men Nari (warga pameregan ), Nang Koyon (warga Pameregan), Nang Rata (warga Pasek Salahin), I Wayan Jemet ( warga Ampeh Aji ), Nang Cekeg ( warga Ampeh Aji ),Men Pindah ( Warga Ampeh Aji ), Mangku Puaji, Mangku Lingga ( Mangku Pura Kaja ), Ni Desak Ketut Losin (warih Puri Batan Bingin),Niang Gunung ( Puri Kanginan),Kak Tut Diran ( Puri Kanginan), Niang Tu Rai Belad (Puri Semanggen ),Niang Mangku dan Kak Mangku ( Puri Rangki), Dewa Made Asta Pugig ( Puri Pusat),Kak Kari dan Kak Kantun ( Puri Batan Wani), Mangku Timbal ( Mangku Pulasari / Pura Jro Agung ), dan yang lain – lainnya.
RANGKUMAN KISAH – KISAH warga Puri Batan Bingin yang TER ADOPSI khabar beritanya.
#. TENTANG masalah ngambul dan menetap di Dsn. Pedapdapan. Khabar sebagai berikut ;
Cikal – bakal Puri Batan Bingin adalah pasangan I Dewa Ketut Lempod dengan Ni Wayan Melok. I Dewa Ketut Lempod lahir dan dewasa di Puri Dukuh.Diberitakan bahwa dimasa mudanya sering menimbulkan pertengkaran keluarga di Puri Dukuh. Dalam suatu perang mulut ,dia I Dewa Ketut Lempod dengan berani nya membakar salah satu bangunan rumah yang ada di Puri Dukuh ( di Puri Kelahirannya ).Setelah itu dia pergi meninggalkan rumah orang tuanya ( rumah kelahirannya) dan tinggal di Dsn. Pedapdapan pada rumah seorang Pekaseh yang lokasinya di sebelah utara jalan simpang tiga menuju Pura Jero Agung ( Pulasari) di Dsn Pedapdapan. Kurang – lebih hampir setahun tinggal disana,lalu I Dewa Ketut Lempod diantar kembali ke Puri Dukuh oleh Sang Pekaseh bersama Sang Kelian Dinas Pedapdapan, lantaran Sang Pekaseh setiap ada pertemuan Pekaseh di Kantor Perbekel Pejeng , sempat me loby dengan I Dewa Kompyang Dukuh kakak kandung I Dewa Ketut Lemlod yang tatkala itu selaku Pekaseh Subak Belong Tarukan. Dalam perjalanan ke Tarukan , kedua belah tangannya kiri kanan dipapah( dirangkul) oleh Pak Kelian dan Pak Pekaseh serta dibelakangnya puluhan kerabat sepergaulannya dari Dapdapan mengikuti ( ngiring) sambil masing – masing mikul cangkul dibahunya. Sepanjang perjalanan , cangkul mereka dipukulnya sendiri dengan sebuah batu sebesar buah apel sedemikian rupa,seperti mengikuti suatu sistim hingga suaranya terdengar ramai namun enak didengar, mirip tabuh bleganjur. Sampai di Puri Dukuh diterima oleh keluarganya dengan baik dan senang hati. Selanjutnya setelah Kak Lempod bersuami – istri,lagi –lagi berulah masalah keluarga hingga dia bersama Sang istri nekat mendirikan rumah di tanah kosong sebelah utara Pura Desa atau sebelah utara pohon beringin yang sangat besar. Konon pohon beringin tersebut adalah POHON BERINGIN PACEK JAGAT milik (duwe ) Pura Desa. Disanalah di depan rumah orang tuanya sendiri bikin rumah pekarang dengan pintu keluar ke arah selatan dan purinya dinamai Puri Batan Bingin,dimana dibatas utara akar bingin ada lorong ( gang buntu) hanya menuju pintu keluar Puri Dukuh.
Sesudah lahir banyak putra ,kemudian pada akar bingin setiap hari di isi tabunan ( dedak padi yang kasar di isi api) hingga apinya membara siang malam namun tidak menyala. Hal itu dilakukan secara rutin dan terus - menerus hingga akhirnya bingin itupun mati pelan – pelan. Petugas pengisi tabunan adalah putri bungsunya yang bernama Ni Desak Ketut Losin,yang kira – kira usianya saat itu sekitar 9 tahun bersama I Wayan Lingga (kelak disebut Mangku Lingga ) yang sebaya dengan Sang Bungsu, halmana dimassa itu I Wayan Lingga sebagai juru empu ( baby sister) cucu Sang cikal – bakal puri.
Selanjutnya sesudah putranya yang bernama I Dewa Ketut Pancek punya istri kedua yang bernama Anak Agung Oka Sepek dan pohon bingin matipun sudah habis termakan rayap,lalu mereka suami –istri mendirikan warung kopi di atas bekas bingin mati tersebut. Lama – makin lama ,dimana masyarakat tak ada yang hirau ( cuwek),maka dari warung kopi berubah jadi perumahan keluarga. Begitu pula lorong buntu menuju pintu keluar Puri Dukuh ditutup oleh warga Batan Bingin serta membuka pintu keluar baru mengarah ke barat (mengarah ke jalan raya) dan lorong menuju Puri Dukuh dipindahkan ke tepi tembok panyengker Pura Desa. Lanjut kemudian di pinggir jalan raya sebelah selatan Pura Desa ditanami pohon bingin oleh I Dewa Putu Kupit ( putra sulung Kak Lempod) pada tahun 1956 dengan maksud sebagai ganti bingin yang dimatikan.
#. TENTANG kaul sesumbar. Disuatu hari usai ” sangkep” krama Tarukan ( bubar sangkepan ) I Dewa Ketut Lempod se olah – olah mengumumkan bahwa: bila nanti dia meng upacarai putra – putranya dalam upacara POTONG GIGI , seluruh krama Banjar Tarukan yaitu tempek kelod, tengah dan kaja akan dijamu minum KE KOMOH (ramuan bahan adonan kekalas lawar bali dicampur darah babi segar ) serta Balai Banjar Tarukan dihias pakai IDER-IDER GUBAH BABI (gubah = kulit babi dengan lemak/muluknya……ider –ider = hiasan kolong atap rumah ). Akhirnya sampai putranya satu persatu pulang ke sunya loka ,dan hanya masih tinggal Sang Bungsu yang sudah sangat tua renta, kira – kira berusia 75 tahun,namun janji kaul dimaksud belum dipenuhinya.
#.TENTANG celeng – celengan dari tiyang atau saka Bale Banjar. Pada zaman Belanda uang recehan dari bahan campuran tembaga yang biasa disebut “ pis kelenting” dengan nilai mulai dari terkecil : pleser …,sen,…bengol,… limang sen,…. ketip,…. talen,… suku,…. rupiah,…. Ringgit dan seterusnya. Atas idie warga Puri Batan Bingin, segala uang pemasukan Banjar , hendaknya dikumpulkan sebagai kas Banjar dan disimpan didalam saka balai banjar yang terbuat dari bambu ( tiying lepung) jadi celengan tak terpindahkan. Kemudian Hari Raya Nyepipun tiba,lalu seorang putra Batan Bingin mengumumkan peraturan yaitu ; Hari Penyepian TENGET artinya sama sekali tak boleh keluar rumah selama seharian penuh. Peraturan itupun dipatuhi / ditaati oleh seluruh warga masyarakat Tarukan. T E T A P I besoknya setelah hari ngembak ternyata celengan saka bambu sudah terbongkar dan uangnya menguap tanpa bekas. BAIKNYA dihari selanjutnya tak segelintir penduduk Tarukanpun tiada yang memasalahkan apalagi menuntut/menggugat atau menanyakan diperum rapat bahkan sepi seperti tiada masalah apa- apa,hanya diluar perum ( di warung maupun dijalanan) saling bisik- bisik satu dengan yang lainya menggunjingkan uang celengan saka bambu Balai Banjar hilang dibobol orang tepat di Hari Raya Nyepi Tenget,dengan pakrimik ;”Tumben nyepi jani ada siar NYEPI TENGET”.
#. TENTANG beli gong untuk karma banjar dan Pak Kelian Dinas bersama Pak Lurah Ubud jadi korban mendekam di penjara serta lesung Pak Kelian jadi barang purbakala di Pura Desa , geser sana – geser sini selama b e r puluh – puluh tahun.Mungkinkah akan sampai b e r ratus – ratus tahun????
#. TENTANG jemput Dalang Pacung , catatan dan uang ongkos wayang hanyut. Pada suatu wodalan petirtan di Pura Desa dimana Krama Desa Tarukan sepakat untuk mencari ilen –ilen yaitu Wayang kulit.Dari kesepakatan itu I Dewa Putu Kupit warih Batan Bingin tanpa diberitugas mengumpulkan dananya dan mencari Dalang yang dimaksud. Setelah hari malam tiba untuk pertunjukan Wayang kulit , ternyata pertunjukan Wayang dibatalkan dengan alas an jumlah uang dana persiapan untuk Wayang itu yang dibungkus dengan kertas daftar nama –nama pembayar iyuran wayang, terjatuh di sungai Pakerisan lalu hanyut dibawa air banjir subgai itu. Memang dimasa itu kebetulan musim hujan mulai Wali di Pura Dalem sampai lanjut wali di Pura Dalem. Namun bagusnya , satupun diantara pembayar dana Wayang tak ada yang merasa keberatan, apa lagi mengkelah. Hanya banyak yang basak – bisik dibelakang punggung bertegang urat leher menyatakan keberatan ,tapi di perum rapat bungkam , dan bertatap muka merendah serta memuji. Konon menurut kabar burung ( kabar angin ),katanya darah warga disana memakai alat mejik “ penangkeb gumi” hingga setiap yang berhadapan dengan nya merasa takut dan merendah.
#. TENTANG upeti pohon kelapa. Bagi setiap orang – orang yang “ nyakap “ tanah tegalan milik Puri Ubud sampai di tanah pekarangan penduduk petani miskin dan bodohpun , kecuali warga sameton Satrya , diwajibkan menyerahkan hasil sebatang pohon kelapa kepada De Pekak Huda…..huda ….huda….. dengan alas an untuk bayar pajeg ke Puri Ubud. Maka dari itu dipilihnya salah satu pohon kelapa ( Si Korban) yang paling lebat buahnya untuk diambil buahnya.
#. TENTANG leluhur ( Kakek dari I Wayan Jemet warga Puaji) ngaturang propolis (sarang) lebah ke Puri Ubud. Memang Sang Kakek tersebut talah sering dan biasa “ ngaturang” sarang lebah ( nyawan) ke Puri Ubud , sesolah – olah mendapat tugas tetap dari Puri Ubud. Suatu hari Sang Kakek tersebut diperintahkan oleh De Kak Huda….huda ….!hari esoknya Sang Kakek harus segera ngaturang sarang lebah ke Puri Ubud,atas perintah Puri Ubud. Maka besoknya Sang Kakek berangkat ngaturang sarang lebah ke Ubud melalui jalan yang terbiasa dilalui yaitu melalui jalan setapak berjurang curang lagi sangat dalam di dekat Pura Bukit Buwung wilayah Banjar Sale Pejeng. Di jurang tersebut memang sudah terkenal tempat yang bagus dan aman rahasia untuk melakukan pembunuhan gelap. Semenjak hari tersebut Sang Kakek tidak pernah kembali pulang ke Tarukan selama – lamanya.
#. TENTANG bikin “ejotan “ daging babi guling. Pada suatu hari Nang Koyon “ ninggungan” dan lungsuran nya sudah adat kebiasaan dibagi- bagi untuk “ejotan” yaitu sedekah bagi saudara sekeluarganya ( penyamane). Namun De Kak Hude …hude…. tanpa diundang datang pula kerumahnya Nang Koyon. Sampai disana langsung mewakili si pemilik rumah dalam membagi daging guling lungsuran ninggungan tersebut sejumlah saudara Nang Koyon plus sejumlah putra –putra De Kak Hude….hude .Dalam hal itu sudah barang tentunya pembagian saudara Nang Koyon berbeda dengan pembagian putra –putra,karena memang dibagi sedemikian rupa olehnya. Pada zaman itu apabila tiada hubungan darah keluarga,umumnya orang malu berbuat seperti itu. Sebab perhitungan jumlah yang akan diberi ejotan ditentukan oleh pemilik dan orang – orang yang diberi ejotanpun menurut keinginan pemilik berdasarkan ada hubungan keluarga atau tidak.
. TENTANG belin pengorokan ( ongkos potong).Di Bali sudah umum setiap hari Penampahan Galungan dan Kuningan orang – orang “ mepatung” daging babi. Maka dari itu di Tarukan juga terjadi hal seprti itu. Setiap seokor Babi yang disembelih dikenakan ongkos ( pemelin pengorokan) oleh De Kak Hude dengan cara ; setiap se ekor babi biasanya dibagi menurut jumlah orang yang memesan (mepatung).Jadi untuk pemelin pangorokan harus dibikinkan satu pembagian lagi untuk pemelin pengorokan.Pembagian pemelin pengorokan itulah diambil oleh De Kak Hude yang daging tersebut dimiliki sendiri, sehingga dia tak perlu mepatung lagi karena sudah tinggal ambil “duman” ( pembagian ). Pada hari Penampahan Galungan untuk mencukupi kepentingan daging babi di masyarakat Tarukan , bisa –bisa sampai puluhan ekor babi ,mati terpotong ( tersembelih). Dari hal itu kiranya semua putra – putra De Kak tak perlu mepatung ,bila dibagi – bagikan kepadanya.
#. TENTANG Tanah G.G . Di Subak Belong dipinggir jalan raya jurusan Tampaksiring ada sisa tanah orang yang digunakan untuk pembuatan jalan raya dimaksud yaitu sebelah timur jalan raya atau dibatas barat sawah milik Nang Lilir atau berseberangan dengan sawah milik I Dewa Made Badoh ( ayah kandung I Dewa Nyoman Goyoh). Lalu tanpa status kepemilikan ( tak punya surat tanah ) tanah sisa tersebut digarap oleh De Kak Hude dijadikan miliknya sendiri tanpa surat – surat. Karena dikit demi sedikit terjadi longsor hingga tanah sisa dimaksud makin sempit luasnya,dan sampai tahun 2011 luasnya tinggal seluas pundukan sawah. Anehnya dari pewarisnya tak pernah ada keluhan apalagi mengkelah keadaan tanah sisa tersebut. Seolah – olah dianggap sebagai kehilangan celana kolor saja.
#. TENTANG NANG BAKTA kena denda “ ngingu banjar. Tanah tegalan milik Batan Bingin terletak sebelah barat Puri Pondok/Puri madya. Tanah tersebut ditanami bun ketela rambat oleh pemiliknya. Setelah cukup umur tanaman , lalu digembur ( ngebet) cari umbinya sedikit demi sedikit untuk dimasak campuran campuran beras pada nanak nasi zaman itu. Setelah kebun ketelanya tergembur ( di e bet)sebagian dan sebagian lagi masih utuh. Tatkala itu Nang Bakta seorang keluarga miskin tak punya tanah garapan juga tak punya sawah garapan mencari sisa – sisa umbi ketela ( ngawagin ) di tanah bekas gemburan ketelanya De Kak Hude . Dari hasil ngawagin itu dia dapatkan umbi yang terbesar umbiny kira – kira sebesar ibu jari kaki, namun yang banyak didapat sebesar kelingking. Bagi Nang Bakta umbi sebesar itu sudah cukup untuk dibuat nasi untuk dicampur dengan “usam” terkadang pusuh dan daun singkong, bagi makanan anak – anaknya. Sakeng miskin nya yang namanya beras sangat sulit bagi mendapatkannya. Hal melakukan “ ngawagin” itu dapat oleh De Kak Hude , maka Nang Bakta dituduh mencuri ketela miliknya, dan dilaporkan ke Kelian Banjar Tarukan untuk mendapat sangsi. Sangsi krama pada Zaman itu yakni bagi si pencuri dikenakan denda berupa “ ngingu” atau menjamu anggota banjar dengan Nang Bakta harus mengeluargkan beras , itik, kelapa, dan bumbu secukupnya untuk sarana ngingu Banjar. Karena Nang Bakta sagat – sangat miskin, demi tadak terhukum di usir dari Desa Tarukan ,maka oleh saudara – saudaranya dikumpulkan sarana untuk ngingu tersebut untuk diserahkan oleh Nang Bakta ke Banjar. Setelah itu Krama Banjarpun mulai “mebat” untuk pesta pora semua anggota Banjar di Balai Banjar. Demikianlah masahnya dulu.
#. TENTANG I Dewa Gede Nessa dari Puri Batan Wani terhukum mati. Suatu hari I Dewa Gede Nessa datang dari “ metajen” di Pura Dalem Melayang yang saat itu wodalan di pura tersebut. Pulangnya melalui jalan pintas melewati persawahan Subak Naga Sari. Dalam perjalanan I Dewa Gede Nessa iseng memetik buah padi untuk dikasi makan beberapa ekor burung gelatik yang dia pelihara di rumahnya. Padi itupun dia bawa pulang hanya sebesar lingkaran ibu jari dengan telunjuk ( a cekel). Sambil berjalan pulang bulir padi ditangannya dimakan ( melisi). Sampai dijalan raya Tarukan , dia lewat di depan Puri Batan Bingin dan terlihat oleh Kak Hude I Dewa Gede Nessa membawa padi sambil melisi datang dari persawahan Subak Naga Sari, pada hal I Dewa Gede Nessa diketahui tidak punya sawah garapan di persawahan sebelah barat Desa Tarukan ( dauh Tarukan). Lalu hal itu dilaporkan ke Puri Pejeng ( kepada “ penguwasa wilayah Pejeng “ ). Kemudian oleh penguasa Wilayah bagi I Dewa Gede Nessa dikenakan hukuman mati ,karena memang begitu hukuman penjahat pada zaman kerajaan. Lalu I Dewa Gede Nessa digiring dibawa ke Setra Pejeng untuk di exsekusi. Sebelum dibunuh dia sempat memohon kepada pelaku exsekusi agar dia dibunuh oleh keluarganya yang ada di jero Duwuran Pejeng. Yang dimaksud Jero Duwuran adalah puri saudaranya yang berlokasi sebelah selatan Griya Sanding atau sebelah barat Puri Agung Pejeng ( selat jalan raya). Begitulah adanya dulukala.
#. TENTANG catatan iyuran pembangunan gedung Kepela Desa Pejeng Kaja hilang. Pada tahun 1982 wilayah Pejeng dimekarkan menjadi lima Kepala Desa. Untuk Banjar Tarukan termasuk Desa Pejeng Kaja. Dari hal itu Desa Pejeng Kaja harus segera mendirikan gedung Kepala Desa, yang danany a swadaya dari Dsn. Tarukan,Belusung, Sembuwuk, Umahanyar,dan Melayang. Sampai bangunan sudah 90 persen finis ,namun Tarukan belum melunasi iyuran ,bahkan hanya beberapa puluh rupiah saja. Dari hal itu I Dewa Made Besar Kepala Desa Pejeng Kaja pertama terpilih ,menyampaikan di depan peparuman Krama Banjar agar iyuran Tarukan harus segera dilunasi karena hanya Tarukan saja yang belum lunas. Maka dari penyampaian itulah masyarakat Tarukan baru menyadari bahwa iyuran yang mereka bayar pada aparat Banjar belum disetor. Dalam perum rapat Banjar itu ada beberapa masyarakat menanyakan daftar jumlah anggota Banjar yang sudah bayar iyuran pembangunan Kantor Desa kepada Kelian Dinas Tarukan yaitu I Dewa Made Raka ( Dewa Made Merjan ) dari Puri Batan Bingin bersama I Nyoman Kerdik selaku pembantunya. Namun dijawab , lupa karena catatan nya telah hilang dan jumlah uangnya sudah disetor semuanya sebanyak yang mereka dapat pungut. Begitulah adanya .
# . TENTANG gulung tikarnya Andil padi . Pada tahun 1966 sameton Satrya yang ada di Tarukan membentuk Sekehe Andil Padi ( koperasi simpan pinjam padi ). Dasar pembetukan Sekehe Andil adalah menghidari agar tidak terus – menerus keluarga sameton di isap oleh lintah darat zaman itu. Dimana pada musim paceklik anggota minjam padi di Andil dan setelah musim panen mengembalikannya dengan bunga yang sangat ringan berupa padi juwa. Dari hal demikian padi di Andil makin tahun makin tambah banyak, dan anggota peminjampun tabah banyak dapat meminjam padi di musim paceklik. Adapun padi Andil disimpam di sebuah Kerumpu di Puri Kawan. Selaku petugas pencatat nama peminjam dan jumlah pinjaman adalah I Dewa Putu Darmawan ( Dewa Putu Merpati) Puri Semanggen.Lalu kemudian pada tahun 1974 datanglah I Dewa Made Rai Puri Batan Bingin baru tamat sekolah di Ambon tanpa ada persetujuan anggota ,dengan percaya dirinya menggantikan I Dewa Putu Merpati selaku pencatat langsung menimbang keluar masuknya padi Andil tersebut ( membagikan dan menerima). Sejak itu kas padi di Adil sepertinya jalan ditempat tiada penambahan padi. Akhirnya dapat disadari setelah anggota pemimjam tanpa sengaja berbagi berita dengan yang lainya , yang mana dengan berat padi pinjaman yang sama beratnya menurut catatan ,namun hasil beras yang didapat bagi warga Batan Bingin 2 : 3 dengan warga yang bukan Batan Bingin. Karena demikan sistimnya maka makin tahun makin berkurang kas padi di Lumbung Andil dan akhirnya bubar tanpa syarat bagaikan asap rokok mengepul di udara. Demikilah pristiwanya.
#. TENTANG jual beli sawah I Dewa Ketut Asta. Kakak kadung I Dewa Katut Asta bernama Ni Desa Made Rosi istri I Dewa Made Toplo Batan Bingin ,menjual sawah miliknya yang didapat dari menggarap tanah redist kepada adik kandungnya bernama I Dewa Ketut Asta ketika dia telah menjanda. Transaksi penjual belian berlangsung di depan Notaris dengan saksi – saksi warga laki – laki Batan Bingin kecuali I Dewa Made Raka Merjan dan kelurganya tidak ikut tahu hingga tak ikut menanda tangani saksi. Namun akibatnya sawahpun tidak bisa keluar Sertifikat . Lalu kemudian pada tahun 1999 tanah tersebut dipermasalahkan oleh I Dewa Made Rai Puri Batan Bingin hingga akhirnya pada tahun 2011 sawah termaksudpun dijual kembali oleh I Dewa Made Rai kepada pembali yang baru . Penjualan kali ini sudah melalui persetujuan dan kesepakatan seluruh keluarga Batan Bingin termasuk Warga Dewa Made Merjan, dimana uangnya akan dibagi -bagi bersama keluarganya ( menurut perjanjian mereka di keluarganya).
Nah demikianlah kridibelitas warga disana yang pernah didengar dan terceritrakan orang kepada penulis. Berita inipun ditulis hanya yang umum – umum dan lumrah – lumrah saja yang sering digunjingkan orang – orang Tarukan dibelakang warga disana.
KISAH PURI DUKUH
Tersebutlah seorang pria jejaka muda bernama I Dewa Putu Jental dari Dsn. Dukuh Pejeng Kawan, pergi meninggalkan Dsn Dukuh karena suatu masalah,sehingga tak berani lagi kembali ke Dsn. Dukuh dan menetap sebagai abdi ( pengangon bebek) pada seorang sudra wangsa di Dsn Tengkulan. Pada suatu hari I Dewa Gede Made Sedan Besar dari Puri Pusat Tarukan pulang kembali dari berbain judi ( matajen) di jaba Pura Batan Pole - Mas - Ubud , dalam perjalanan pulang melihat seorang bocah sedang menangis tersedu – sedu duduk di bawah sebuah pohon kelapa yang belum pernah berbuah ( tubuh). Lalu bocah itu dihampiri dan ditanya. Bocah pria jejaka tersebut menjelaskan dengan detail pristiwa yang dialami,mulai bermasalah di Dsn Dukuh sampai terpaksa bersedia sebagi juru ngangon bebek pada seorang sudra wangsa di Dsn Tengkulak,kendatipun hampir setiap dia kena marah serta dicaci maki olah Tuannya,namun apa boleh buat, dia harus berusaha bertahan demi sesuap nasi.
Mendengar keluhan anak itu sambil menangis terisak – isak membuat I Dewa Gede Made Sedan Besar merasa hiba hatinya,lalu ditawarkan anak itu untuk ikut dengan Beliau ke Puri Pusat Tarukan, katanya: ” Nah.....yen suba keto.....Cening nak mekulit adane a klamad bawang, sing luwung dadi parekan sig anak jaba,apa buin nyin baanga munyi patiklatu menek tuwun,pradene tuara keketo nyin masi tong pantes Cening nongos jumah anak jaba ”. Yen Cening enyak mai ka Tarukan ajak Bapa. Ditu bareng lacur jumah Bapa di Tarukan. Apa ja lebeng baan Bapa, kanggwang keto waregan bareng – bareng ajak pianak Bapane di jero”. Anak itu menjawab dengan anggukan lalu bangun mengikuti I Dewa Gede Made Sedan Besar tanpa pamitan dengan Tuannya di Tengkulak.
Setelah berada di Puri Pusat, ternyata I Dewa Putu Jental sangit rajin membantu kerja sawah dan memelihara sapi. Dengan demikian I Dewa Gede Made Sedan Besar makin sayang terhapnya,lalu diberikan tugas tetap yaitu memelihara sapi.Dengan tugas itu I Dewa Putu Jental makin betah dan hampir tiap hari jarang pulang makan siang ,sehingga dibawakan nasi oleh Ni Dewa Ayu Nyoman Menuh putri bungsu dari I Dewa Gede Made Sedan Besar. Maklumlah anak gadis dengan pemuda ,karena selalu bergesekan akhir kedua remaja tersebut saling mencintai. Karena diketahui oleh I Dewa Gede Made Sedan Besar bahwa putrinya memadu kasih dengan I Dewa Putu Jental ,maka kemudian mereka dinikahkan di puri Pusat Pusat dengan status nyentana. Pernikahan berlangsung sampai melakukan upacara ngunyo/ majauman/mapejati. Ketika ngunyo, perjalanan melalui lorong setapak di sebelah selatan Puri Bucu,melewati jembatan dua potong pohon pinang,sampai di persawahan Subak Tubuh terus menuju pura Jati langsung ke arah selatan melalui Dsn .. Banjar Sala akhirnya sampai di Dsn. Dukuh.Situasi saat itu cukup meriah ukuran zaman itu, yang mana perjalanan ngunyo di ikuti tabuh gong suling dari warga Pamaksan Pameregan. Sekembalinya dari Dsn . Dukuh, kembali melalui jalan tadinya. Tiba di jembatan pohon pinang, terlihat lorong setapak penuh dengan duri – duri pohon kem, canging,pandan dan bandil.Melihat hal itu,lalu segera para pengiring dari warga Pameragan yang badan nya tinggi - tinggi lagi besar dan kekar maju serta membuang semua duri – duri penghalang jalan setapak ke sungai di bawah jembatan pohon pinang.
Selanjutnya sebab di Puri Pusat telah ada putra pewaris puri,maka pasangan I Dewa Putu Jental dengan Ni Dewa Ayu Nyoman Menuh diberikan tegak karang dan catu yang lokasi karang nya terletak di sudut timur laut Pura Desa Bale Agung atau di sebelah timur tanah kosong milik pura Desa sebelah uatara Pura Desa ,dan selanjutnya Purinya kita sebut PURI DUKUH.
Kemudian pasangan I Dewa Putu Jental dengan Ni Dewa Ayu Nyoman Menuh menurunkan enam putra bernama :
1. Ni Desak Putu Tombong kawin dengan I Dewa Made Jaksa Besar dari puri Rangki.
2. Ni Desak Made Gero kawin dengan Anak Agung Rai Tarukan dari Banjar Pande - Pejeng.
3. I Dewa Nyoman Gereh.
4. I Dewa Ketut Lempod.
5. I Dewa Putu Tagel.
6.Ni Desak Made Tiles kawin denga I Dewa ............ warga Satrya Kandel Pejeng dari Br. Puseh Pejeng.
Berikutnya I Dewa Nyoman Gereh kawin dengan .......... dari .........menurukan lima putra bernama :
3.1. I Dewa Kompyang Dukuh.
3.2 . I Dewa Ketut Rai Dukuh.
3.3. I Dewa Made Cakra.
3.4. I Dewa Nyoman Sena.
3.5. I Dewa Ketut Ngurah Kanya.
RENCANA PERSIAPAN MELENGKAPI “ BABAD “ DEWA KABETAN di TARUKAN
Menggunakan Bahasa Bali Kepara .
ISI BUKU ; 1.Lontar cakepan pertama merupakan pokok cikal – bakal Dewa Kabetan di Tarukan dan penambahan pertisentana selanjutnya hanya para warih yang pernah memegang jabatan pemangku dan pengurus seperti kelihan , sekretaris dan bendahara yang sudah di upacara NGASTI ( sudah masekar – jepun).
2..Lontar cakepan kedua hanya mencantumkan lelintihan Puri Pusat yang dipetik dari lontar cakepan pertama dan penambahan pertisentana selanjutnya dapat dicari pada buku PRANA TATWA DEWA KABETAN.
3. Lontar cakepan ketiga hanya mencantumkan lelintihan Puri Rangki yang dipetik dari lontar cakepan pertama dan penambahan pertisentana selanjutnya dapat dicari pada buku PRANA TATWA DEWA KABETAN.
4. Lontar cakepan ke empat hanya mencantumkan lelintihan Puri Semanggen yang dipetik dari lontar cakepan pertama dan penambahan pertisentana selanjutnya dapat dicari pada buku PRANA TATWA DEWA KABETAN.
CATATAN : Para warih yang boleh dicantumkan pada lontar cakepan babad hanya bagi para warih yang sudah diupacara NGASTI.
No comments:
Post a Comment